Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KELAHIRAN
Hari berganti, bulan pun tak terasa sudah menapak di bulan ke-9 kehamilan Livia. Herannya, di kehamilan tuanya, sosok Livia justru terlihat semakin menarik. Tubuhnya tetap ramping semampai, hanya perutnya saja yang membuncit.
Wajahnya memancarkan aura kecantikan alami dengan kulit kuning langsat yang berkilau saat tertimpa sinar matahari pagi.
Pagi itu, Livia berjalan kaki mengitari komplek rumahnya ditemani Elis, seperti biasa.
"Bi Elis, kita sarapan bubur yang di ujung jalan itu!"
Tunjuk Alline pada tempat yang dari tampilannya terlihat sangat bersih.
"Ibu mau makan bubur? Ayok."
Elis menggenggam tangan Livia, membawanya ke tempat tukang bubur. Jalan Livia kini memang semakin berat. Langkahnya sudah tak bisa secepat ketika dia tidak sedang dalam keadaan hamil.
"Wah, ramai sekali, Bu. Sepertinya kita tidak kebagian tempat duduk," kata Elis sambil memanjangkan lehernya, mencari ke setiap meja dan kursi yang memenuhi tenda. Tak ada yang kosong.
Tiba-tiba, seorang pria bule paruh baya yang masih
Terlihat bugar dan gagah, berdiri. Dengan keramahan yang bersahaja, ia mempersilakan Livia duduk.
"Silakan, kasihan sedang hamil," katanya dengan logat bahasa Indonesia yang sedikit kaku, sambil memamerkan senyumnya yang menarik.
"Oh, terima kasih, Pak. Lalu Anda sendiri bagaimana?"
Livia merasa senang tapi juga tak enak hati.
"Tidak apa-apa, saya bisa take away. My house is around here," katanya, masih tetap dengan senyumnya yang ramah.
Livia pun duduk, sementara Elis masih berdiri di sampingnya.
Tak lama kemudian, lelaki bule itu menerima pesanannya. Dua porsi bubur untuk dibawa pulang. Sebelum pergi, ia sempat berpamitan pada Livia. Dan hanya diangguki Livia sambil tersenyum sopan.
"Itu mister sederhana banget, ya. Padahal kamu tahu nggak, dia itu pemilik beberapa vila, hotel bintang lima, dan resort mewah. Tapi dia tetap bersahaja, gak pernah pamer kekayaannya," bisik seorang wanita dewasa kepada temannya sambil menyuap buburnya.
"Iya, dia bule Italia, tapi udah lama tinggal di Indonesia," timpal temannya.
"Udah berumur, tapi masih tetap keren." Kata yang lainnya sambil cekikikkan
"Sayang udah punya istri. Dan istrinya juga cantik banget. Mana seorang dokter lagi. Sedangkan kita apa? Cuma remahan dari roti sarapan mereka."
Ucapan itu diiringi derai tawa mereka. Sementara Livia hanya tersenyum simpul mendengar kasak-kusuk lucu, mereka.
Saat giliran buburnya dan bubur Elis siap, beruntung orang yang duduk di sebelah Livia baru saja selesai makan, sehingga Elis pun bisa duduk dan makan di sampingnya.
Usai makan, Livia langsung mengajak Elis pulang ke rumah. Ada perasaan tak enak yang mengganggunya. Ia merasakan perutnya menegang dan mulai muncul rasa sakit.
"Bi, kita ke rumah sakit. Sepertinya perutku mulai kontraksi," ucap Livia sambil mengatur napas. Saat itu mereka baru saja tiba di rumah.
"Iya, Bu. Saya ambilkan tas yang sudah dipersiapkan."
Livia mengangguk, lalu segera memesan taksi online.
Dengan susah payah, ia berdiri sambil menahan sakit di perutnya yang mulai terasa hebat. Rasa nyeri itu datang berkali-kali lipat lebih kuat dari sebelumnya, ditambah luka batin yang masih terasa.
Namun Livia berusaha tegar. Ini adalah langkah yang ia ambil demi harga diri. Demi membungkam mulut orang-orang yang telah berlaku dzalim padanya.
Sesampainya di rumah sakit, seorang suster segera
Menanganinya. Livia langsung dibawa ke ruang inap karena hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia baru bukaan satu.
Elis memandang majikannya dengan rasa iba bercampur kagum. Wanita muda ini begitu kuat. Ia berani menghadapi persalinan seorang diri, tanpa didampingi suami seperti kebanyakan perempuan hamil lainnya.
Meski rasa sakit terus mendera, Livia tetap tampak tegar, tidak menunjukkan penderitaannya secara berlebihan.
Sementara itu, nun di Jakarta sana di sebuah rumah sederhana, terlihat tengah ada kesibukan. Sepertinya akan diadakan sebuah acara penting.
Seorang gadis kecil tengah berceloteh riang, sambil menatap ibunya yang sedang dirias oleh tim make-up artist.
"Mama, jadi papa Alex mau jadi papa beneran Echa, ksn?" Tanyanya dengan suara cempreng dan sedikit cadel.
Ishana tersenyum lembut. Lalu mengangguk kecil sambil tak henti menebar senyum bahagia.
"Iya nak, nanti papa Alex akan menjadi papa Echa. Kamu senang, nak?"
Keysha mengangguk cepat. Anak kecil itu lalu berlari ke depan saat mendengar di depan ada ribut-ribut. Ternyata Alex sudah datang dengan hanya ditemani Rahman, sahabatnya. Tak ada keluarganya, satupun.
Entah mereka tahu atau tidak acara penting ini.
"Yeayyy... papa Alex udah datang."
Ia memeluk kaki panjang Alex dengan ceria. Begitu juga Alex. Ia berjongkok dan membawa balita itu dalam gendongannya. Rasanya dia sudah seperti ayah kandung bagi Keysha.
Rahman hanya menatap tingkah sahabatnya. Tapi satu hal. Dia tak yakin kalau Alex benar-benar mencintai Ishana dan sudah move on dari Livia.
Ishana terlihat anggun dengan kebaya pastel yang membingkai tubuh mungilnya. Bukan kecantikan yang mencolok yang membuatnya menarik, tapi ada kelembutan alami, wajah keibuan yang terpancar dari setiap senyumnya. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali menatap Keysha yang berlari kecil sambil tertawa, memanggil-manggil "Papa Alex."
Make-up artist menepuk-nepuk pipinya ringan, memastikan riasannya tetap sempurna. Tapi tak ada yang tahu, di balik senyumnya yang kalem, jantung Ishana berdegup kencang. Hari ini ia akan resmi menjadi istri Alex. Sosok yang selama ini hadir sebagai penolong, ayah pengganti untuk putrinya.
Sementara itu, di ruang tamu yang disulap jadi tempat akad, Alex duduk bersila menghadap penghulu. Di belakangnya berdiri Rahman, satu-satunya sahabat yang hadir. Ruangan itu sederhana, tapi penuh haru. Semua tamu tampak menahan napas, menanti detik penting.
Penghulu bersuara mantap.
"Saudara Alex Chanda Wiguna bin Pratama Wiguna, saya nikahkan engkau dengan Ishana Larasati Tohir, binti almarhum Ridwan Tohir, dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."
Alex mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang.
Dan pada saat yang bersamaan...
Di rumah sakit betsalin, Livia mengejang keras di ranjang bersalin. Tangannya mencengkeram erat pinggiran tempat tidur, keringat membanjiri wajah pucatnya.
"Ayo Bu, sekali lagi dorongannya!" seru lembut sang dokter kandungan paruh baya dengan nada mendesak. Tapi tetap penuh kesabaran.
Livia mengatupkan rahang. Tubuhnya menggigil menahan rasa sakit yang begitu hebat. Tapi ia tak mengeluh. Tak ada suara teriakan histeris darinya. Hanya air mata yang jatuh perlahan dari sudut matanya, menetes ke bantal rumah sakit.
Ia sendirian. Tanpa tangan suami yang menggenggam tangannya. Tanpa pelukan keluarga. Tanpa siapa-siapa, kecuali Elis yang memegang pundaknya dari samping dengan mata dan pipi yang basah. Tak kuasa menahan tangisnya.
Dan tepat ketika Alex mengucap dengan suara lantang di hadapan penghulu:
"Saya terima nikahnya Ishana Larasati Tohir, binti Ridwan Tohir, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Tangis bayi memecah di ruang bersalin.
Tangis nyaring itu seakan menusuk hati Livia. Ia menatap tubuh mungil yang baru keluar dari rahimnya. Putra kecilnya, lahir ke dunia tanpa tahu bahwa ayahnya kini sedang mengikat janji suci dengan wanita lain.
"Selamat ya, Bu. Bayinya laki-laki. Sehat dan sempurna."
Dokter wanita itu meletakkan sang bayi tampan di dadanya. Livia memeluknya erat. Air matanya tumpah deras kali ini, tanpa bisa dibendung. Perihnya luka pasca-melahirkan bahkan kalah jauh dari perih di dadanya.
"Maaf ya, Nak..." bisiknya pelan. "Mommy nggak bisa kasih kamu keluarga utuh. Tapi Mommy janji, kamu takbakan kekurangan kasih sayand. Dan Mommy akan jadi pelindungmu, selamanya."
Di ruang akad, para saksi menjawab serempak, "Sah."
Tepuk tangan pelan terdengar. Tangis haru Ishana pecah. Keysha memeluk mereka berdua dengan penuh
Tawa. Alex tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Ishana.
Tapi di balik senyuman itu, ada sesuatu yang kosong.
Entah apa.
Mungkin jiwa yang tertinggal.
Mungkin sebuah firasat yang tanpa dia sadari, ada seorang wanita yang baru saja berjuang bertaruh nyawa.
Demi untuk melahirkan darah dagingnya.