Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Pertama Kali Merawat Tuan Muda
Leon kembali menolak dengan keras ketika sang mama mencoba membujuknya.
"Aku sudah bilang, aku tidak butuh perawat!" seru Leon dengan nada tegas dan dingin.
Gaby menghela napas pelan, tapi tidak menyerah. Ia melangkah mendekati Leon dan menatap putranya dengan penuh keteguhan.
"Lalu bagaimana dengan kejadian tadi? Kamu baru saja jatuh dari kursi roda di kamar. Kalau tidak ada Paman Juan, mungkin kamu sudah tergeletak lebih lama. Itu bukti kamu butuh bantuan, Leon," ujarnya lembut namun penuh tekanan.
Leon hanya mendengus. Ia memutar kursi rodanya, kembali menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan halaman belakang rumah. Pandangannya menerawang jauh, seakan tak ingin melibatkan siapa pun dalam duniannya yang penuh luka.
Gaby tak menyerah. Ia mengikuti langkah kursi roda putranya dan kini berdiri di samping Leon.
"Berikan gadis itu kesempatan untuk membantu mama merawatmu, nak. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu berharga bagi mama," bisik Gaby dengan suara menggetarkan hati.
Leon menahan napasnya, lalu mengalihkan wajah. "Sudah aku bilang, aku tidak mau, Mam."
Saat itu, tanpa sengaja tangan Leon menghantuk sandaran kursi rodanya karena gerakan menghindar dari sentuhan Gaby. Ia meringis pelan. Rasa nyeri itu seolah menyambar ke seluruh lengan kanannya.
Melihat kejadian itu, Nayla yang sejak tadi diam berdiri di dekat pintu, spontan melangkah maju.
"Maaf, Tuan, tangan Anda bengkak. Bolehkah saya memeriksanya?" ucap Nayla dengan sopan dan tenang.
Leon menoleh dengan tatapan tajam. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya.
Namun Nayla tidak mundur. Ia dengan perlahan menggenggam tangan Leon yang terluka dan mulai memijitnya pelan. Sentuhannya lembut, tetapi cukup memberi tekanan pada titik-titik tertentu.
"Aduh..." Leon meringis, mencoba menahan rasa sakitnya, namun tidak menarik tangannya. Ia tampak bingung sendiri, antara ingin melawan atau menyerah pada kenyamanan yang tak disangka-sangka.
"Kamu sok tahu! Siapa suruh kamu menyentuhku?!" bentak Leon lagi.
Nayla tetap tenang. "Maaf, Tuan. Tapi dari posisi jatuhnya tadi, kemungkinan tangan Anda terkilir karena tak mampu menopang tubuh sepenuhnya. Saya hanya ingin membantu. Ini mungkin sedikit sakit, tapi tolong ditahan sebentar saja."
Leon mendengus keras, tapi tetap tidak menarik lengannya. Pijatan itu, entah kenapa, memberi rasa nyaman yang tak ingin ia akui.
"Aku tidak butuh bantuanmu," kilah Leon.
"Saya tahu, Tuan. Tapi tubuh Anda berbeda dengan mulut Anda. Kalau benar tidak butuh, tangan Anda pasti sudah saya lepas dari tadi," jawab Nayla tanpa melihat ke arah Leon.
Gaby yang menyaksikan dari sisi lain ruangan hanya tersenyum kecil. Hatinya sedikit lega. Ini pertama kalinya Leon membiarkan seseorang menyentuhnya tanpa mengamuk berlebihan.
Dengan isyarat lembut, Gaby memberi aba-aba pada Bibi Eli dan Paman Juan untuk meninggalkan kamar. Gaby pun menyusul mereka, meninggalkan Nayla sendiri bersama Leon.
Setelah beberapa saat, Nayla bertanya, "Apakah tangan Tuan masih terasa sakit?"
Leon tak langsung menjawab. Ia hanya berdehem pelan, wajahnya datar, tapi tidak mengusir Nayla.
"Sebaiknya saya oleskan minyak urut agar bengkaknya berkurang," ucap Nayla lagi.
Leon menoleh ke arah pintu dan berseru, "Bibi Eli, ambilkan—" Namun ia terdiam seketika saat menyadari kamar telah kosong dan hanya meninggalkan mereka berdua.
Ia menghela napas berat, lalu berkata dengan malas, "Ada di dalam laci meja samping ranjang."
"Izinkan saya mengambilnya, Tuan," jawab Nayla sambil berjalan ke arah meja dan membuka laci, menemukan minyak urut yang dimaksud.
Leon menatapnya sesaat. "Kalau begitu, aku ingin diurut sambil berbaring. Aku tak mau duduk seperti ini terus."
Nayla mengangguk sopan. "Baik, Tuan. Saya bantu berpindah ke ranjang."
Ia pun mendorong kursi roda ke arah tempat tidur. Saat hendak memapah Leon, Nayla baru menyadari betapa berat tubuh pria itu.
Ya Tuhan, badannya berat sekali... batinnya, berusaha menahan suara napasnya yang memburu.
Leon melihatnya dengan sudut matanya dan menahan tawa kecil. Sok-sokan mau merawatku, baru bantu pindah ke ranjang saja sudah megap-megap, ejeknya dalam hati.
Namun Nayla tak menyerah. Dengan sekuat tenaga, ia memapah tubuh Leon dan berhasil membaringkannya di ranjang. Setelah itu, ia mengangkat kaki Leon satu per satu.
Saat melihat kondisi kaki Leon yang juga tampak membengkak, Nayla berkata, "Kaki Tuan juga tampaknya terkilir. Saya akan bantu mengurutnya juga nanti."
Leon tak menanggapi. Ia terlalu nyaman dalam posisi berbaring.
Tiba-tiba, suara Leon terdengar pelan tapi penuh perintah, "Bukakan kemejaku. Bagaimana kau bisa mengoleskan minyak kalau aku masih memakainya?"
Nayla sempat terdiam. Ia bergumam dalam hati, Kenapa tidak buka sendiri saja? Kan yang lumpuh cuma kakinya, bukan tangannya...
Namun saat Leon menatapnya dengan sorot tajam, Nayla hanya bisa mengangguk canggung.
"Baik, Tuan..."
Tangannya perlahan bergerak membuka satu persatu kancing kemeja Leon. Setiap kancing terasa seperti membuat jantung Nayla berdetak lebih kencang. Ketika kemeja itu akhirnya terbuka sepenuhnya, Nayla tak kuasa menyembunyikan keterkejutannya.
Ya ampun... batinnya terpana.
Tubuh Leon begitu sempurna. Dada bidang, otot yang terukir rapi, dan perut kotak-kotak yang membuat Nayla nyaris lupa bernapas.
Pantas saja pacarnya dulu nempel. Tapi bodohnya kenapa malah pergi ya? pikir Nayla cepat-cepat sebelum menepis pikiran itu.
Ia membantu membuka kemeja dari tubuh Leon, dan karena posisi Leon berbaring, otomatis jarak mereka semakin dekat. Nayla harus menunduk, dan tubuhnya nyaris menyentuh Leon.
Dan membuat Nayla semakin Tidak bisa bernafas dengan benar, nafasnya seperti tercekat karena begitu dekat dengan tuan mudanya.
Sementara itu, mata elang Leon tak lepas mengamati wajah polos gadis muda itu. Ada sesuatu yang berbeda. Bukan hanya keberanian, tapi juga ketulusan yang memancar dari sikapnya.
"Apa kamu sengaja berlama-lama agar lebih dekat denganku?" sindir Leon tiba-tiba, suaranya rendah namun menggoda.
Nayla kaget. Ia buru-buru mundur sedikit dan berkata tanpa menatap langsung, "Tidak, Tuan. Saya hanya berusaha menjalankan tugas saya."
Leon tersenyum kecil, tentunya tanpa terlihat oleh Nayla.
Nayla pun mulai mengoleskan minyak ke tangan Leon dengan gerakan lembut namun mantap. Meski diam, Leon sesekali mengerutkan kening saat tekanan tepat menyentuh titik nyeri.
Sementara Nayla, meski terlihat tenang, dalam hatinya terus mengingat satu hal: Sabar... Nayla...sabar, demi gaji besar...
Setelah mengurut tangan Leon yang bengkak dan melihatnya sudah agak mendingan, kini Nayla berpindah mengurut bagian kaki. Karena bagian kaki Leon lumpuh, jadi Leon tidak merasa kan sakit, walaupun kakinya juga mengalami bengkak.
Hari pertama dan baru saja menginjakkan kaki nya dirumah ini, Nayla sudah menghadapi tuan Leon yang memang harus memiliki sabar seluas samudera.
Namun satu hal tak bisa ia pungkiri—semakin lama bersama Leon, semakin kuat debar jantungnya yang tak bisa dikendalikan...