"Kalian siapa? Kenapa perut kalian kecil sekali? Apa kalian tidak makan?" tanya seorang perempuan dengan tatapan bingungnya, dia adalah Margaretha Arisya.
"Matanan tami dimatan cama cacing," ucap seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya.
"Memang tami ndak dikacih matan cama ibu," ceplos seorang bocah laki-laki satunya yang berwajah sama, namun tatapannya sangat tajam dan ucapannya sangat pedas.
"Astaga..."
Seorang perempuan yang baru bangun dari tidurnya itu kebingungan. Ia yang semalam menyelamatkan seorang wanita paruh baya dari pencopet dan berakhir pingsan atau mungkin meninggal dunia.
Ternyata ia baru sadar jika masuk ke dalam tubuh seorang perempuan dengan status janda bernama Naura Arisya Maure. Setelah menerima keadaan, ia berupaya mengubah semuanya. Namun kedatangan orang-orang di masa lalu pemilik tubuh ini membuat semuanya semakin rumit.
Bagaimakah Arisya bertahan pada tubuh seorang janda dengan dua orang anak? Apakah Arisya bisa kembali ke tubuh aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eli_wi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Numpang Makan
"Aku lapar," ucap Ricko yang kini dengan seenaknya duduk di kursi ruang makan.
Bahkan Ricko berucap seperti tengah merengek pada Ibunya. Padahal ia bisa memesan makanan lewat online, namun sepertinya otak Ricko sedang tidak beres.
Apalagi seharian ini ia sangat sibuk dengan urusan perusahaan dan rumah sakit. Rasanya ia lebih memilih meminta makanan setelah dapurnya porak poranda karena mencoba memasak sendiri.
"Terus apa hubungannya denganku? Kan tadi kamu sudah pinjam teflon milikku. Tapi malah balikinnya dalam keadaan gosong begitu. Kami jadi susah bikin telur mata sapinya," seru Arisya yang menyalahkan Ricko atas insiden teflon gosong miliknya. Lebih tepatnya teflon itu berkerak hitam.
"Aku ganti itu teflonnya. Tapi buatkan aku makanan dulu, perih banget nih perutku." Ricko menyerahkan sebuah dompet tebal di depan Arisya dan Gheo. Ricko memegang perutnya seperti orang tengah kesakitan.
"Catu juta buat catu telul mata capi. Cepat cini, bayal ke kacilna." Gheo segera meminta uang satu juta kepada Ricko sebagai imbalan jika Arisya harus menggoreng telur mata sapi lagi. Gheo berpura-pura menjadi kasir seperti di restorant, membuat Arisya hanya bisa menahan senyumnya.
"Gheo, Ibu bukan penjual matanan." Theo protes terhadap apa yang dilakukan oleh kembarannya itu.
Sttt...
"Ini bisnis, Theo. Lumayan kan uangna? Bica buat kita beli telul banak-banak. Kita ndak akan kekulangan bahan matanan ladi," Gheo berbisik pada Theo yang berdiri di sampingnya.
"Mahal sekali. Lebih baik aku beli telur dadar di restorant depan," gerutu Ricko yang sedikit kesal karena merasa dimanfaatkan oleh Gheo.
"Talo ndak mau ya cudah. Kami juda ndak lugi. Ini mahal kalna citu datangna malam-malam. Telus teflonna dibikin gocong. Cudah tahu ndak bica macak, sok-sokan pinjam teflon." Gheo menyindir Ricko yang terlalu percaya diri bisa menggoreng telur.
"Sudah, hentikan perdebatan kalian. Ibu sudah lelah baru pulang, masa harus menghadapi hal beginian. Duduk semuanya, biar Ibu goreng lagi satu telur untuk perjaka tua yang malam-malam datang ini."
"Apa kamu bilang? Perjaka tua? Aku masih muda," seru Ricko sambil mendelikkan matanya.
"Diam atau aku goreng itu matamu buat jadi toping telur mata sapi," seru Arisya membuat Ricko kicep dengan ancamannya.
"Kejam juga nih janda," gumam Rico bergidik ngeri.
Akhirnya Arisya membuatkan Ricko telur mata sapi yang sama dengan kedua anaknya. Tubuhnya sangat lelah untuk berdebat dengan orang. Bahkan ia belum sempat membersihkan diri dan langsung memasak. Drama hari ini, ingin sekali ia akhiri segera.
***
"Sudah kenyang kan? Silahkan pintu keluar ada di sebelah sana," Setelah melihat Ricko menyelesaikan makannya, Arisya segera memintanya agar pergi. Ia ingin segera membersihkan diri dan tidur.
"Sebentar, biar makanannya turun dulu. Ini masih nyangkut di kerongkongan," Ricko memberi alasan untuk berada lebih lama di apartemen Arisya. Rasanya di apartemen ini begitu ramai, tak seperti berada di tempat tinggalnya.
"Alacan caja ini olang. Hati-hati cama ini olang, Bu. Ciapa tahu dia mau culi panci, cepatula, atau alat macak lainna." Theo memandang Ricko dengan tatapan curiga. Apalagi sedari tadi Ricko terus mencuri pandang ke arah Arisya.
Sebenarnya Arisya ingin sekali segera istirahat, namun kehadiran Ricko membuatnya berusaha tetap terjaga. Ricko yang sedari awal pertemuan sudah menuduhnya tidak-tidak, tiba-tiba saja berada di sini. Hal itu semakin membuat Arisya curiga. Arisya khawatir kalau Ricko ini sedang merencanakan sesuatu yang buruk untuknya dan kedua anaknya.
"Woh... Celain penculi hati janda, dia juda mau culi alat macak? Kele apa ini olang? Cemuana kok mau diculi," ucap Gheo dengan tatapan polosnya membuat Arisya menahan tawanya.
"Makanya kalau ngomong di depan anak kecil tuh jangan asal. Jadi dibahas terus kan?" ucap Arisya dengan pelan.
"Pergi sana. Anda itu orang kaya, nggak cocok lah berada di rumahnya janda kumal begini." usirnya pada Ricko.
Ish...
"Orang lagi istirahat bentar juga. Omongannya pada pedas-pedas amat ya? Padahal tadi nggak makan cabai sama sekali," ucap Ricko sambil mendengus sebal.
Ricko beranjak dari duduknya kemudian mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan meletakkan di atas meja. Ia segera pergi tanpa berpamitan sama sekali. Sebenarnya ini untuk menutupi rasa malunya karena menumpang makan di apartemen Arisya. Padahal siang tadi, ia sudah curiga dan memaki Arisya namun malamnya meminta tolong.
Woah...
"Uangna banyak cekali," Gheo mengambil lembaran uang yang diletakkan Ricko di atas meja makan. Gheo menghitungnya dengan raut wajah seriusnya.
"Ada dua puluh lembal uang melah. Jadina ini belapa latus libu?" tanyanya pada Theo. Pasalnya Gheo belumlah bisa menghitung jumlah uang dengan nominal lumayan banyak.
"Dua juta," jawaban Theo itu membuat Gheo membulatkan matanya.
"Bica buat beli loti ulangtahun ndak?" tanyanya pada Theo dan Arisya.
"Kue ulangtahun? Buat apa? Ciapa yang ulangtahun?" tanya Theo dengan tatapan penasarannya.
Aarggghhh....
Bukan aku yang ambil kue ulangtahun Mita,
Bukan salahku,
Aaaaa...
Ibu...
Tiba-tiba saja Arisya berteriak kesakitan sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan. Sontak saja Theo dan Gheo berdiri mendekati Arisya. Keduanya panik dan takut terjadi sesuatu pada Arisya. Padahal hanya membahas tentang ulangtahun, namun Arisya langsung kesakitan.
"Gala-gala kamu nih. Bahas ulangtahun cegala, bikin Ibu kecakitan." Theo menyalahkan kembarannya karena membahas ulangtahun di hadapan Arisya.
Brugh...
Ibu...
"Ibu pingcan ini, Theo. Gimana dong?" Gheo tampak ketakutan melihat Arisya pingsan.
Tiba-tiba saja Arisya pingsan membuat kedua anaknya terkejut. Mereka panik dan takut dengan pingsannya Arisya seperti waktu itu. Mereka khawatir kalau Arisya tidak bangun dalam waktu yang lama. Gheo sudah menangis dengan menopang kepala Arisya di paha kecilnya.
"Aku cali peltolongan dulu," Theo mencoba tenang dan berpikiran jernih walaupun ia juga sama paniknya dengan Gheo.
"Janan tindalin Gheo cendili. Gheo takut," seru Gheo saat melihat Theo akan pergi meminta bantuan.
"Cebental caja, Gheo. Memangna kamu mau Ibu tidul telus,"
"Minta tolong Om penculik hati janda caja, Theo. Janan jauh-jauh, Gheo takut." Gheo menatap Theo dengan tatapan permohonan. Ia tak mau ditinggal jauh oleh kembarannya. Apalagi Arisya dalam kondisi pingsan.
"Iya,"
"Tayak gini caja takut. Talo liat duit, ndak ada tuh takut-takutna." gerutu Theo sambil berjalan pergi keluar apartemen.
Ibu, banun dong.
Pingcan melulu, ndak capek apa?
Apa Ibu pingcan gala-gala liat duit dua juta? Macak ditu caja pingcan sih.
Halusna kan cenang,
Mana yang pingsan?
Ayo bawa ke rumah sakit.
Kami ndak ada uang buat ke lumah cakit,
Nggak usah pikirkan itu. Yang penting si janda yang sebentar lagi bukan janda itu sadar,
Eh...
Makcudna, Om?
KOK ISO²NE DADI MANG OJEK TO KOOOOOOOOO RICKOOOO
lucu banget theo dan gheo
lanjut thor please
ke SKAK sama anak kecil iniJUDULNYA👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏