NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13

“Dok… dokter Jodi! Bangun, dok!” seru suster Risa pelan tapi panik, sambil menepuk lembut bahu sang dokter yang masih duduk di tepi ranjang pasien.

Jodi tersentak, matanya langsung terbuka. “Iya, Sus, kenapa?” suaranya serak, seperti baru terbangun dari tidur yang dalam.

Risa tersenyum canggung, matanya melirik sekilas ke arah Miranda yang tertidur lemah. “Dokter nggak pulang? Ini sudah lewat jam sebelas malam, loh.”

Jodi spontan menoleh ke jam di pergelangan tangannya. Jarumnya memang sudah menunjuk pukul sebelas lebih sedikit. Ia mendesah pelan, kaget sekaligus malu.

“Ya Tuhan… saya ketiduran, Sus.”

Risa hanya menunduk, menahan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Sorot matanya sempat menangkap sesuatu, tangan dokter Jodi yang masih menggenggam jemari Miranda dengan erat.

Menyadari itu, Jodi segera menarik tangannya pelan, seolah baru sadar akan apa yang sedang ia lakukan. Ia menegakkan tubuhnya, berdeham canggung, mencoba menutupi sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tak mampu jelaskan.

Jodi berdiri sambil merapikan jas dokternya, suara lembut tapi tegas keluar dari bibirnya,

“Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Sus. Tolong awasi Miranda baik-baik. Kalau terjadi apa pun… hubungi saya segera.”

Nada suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya, seperti masih enggan benar-benar meninggalkan ruangan itu.

Suster Risa menegakkan tubuhnya, lalu mengangguk cepat. “Siap, Dok. Dokter Jodi tenang saja, saya akan menjaga Miranda.”

Namun di balik suaranya yang profesional, ada senyum kecil yang tak bisa disembunyikan, senyum yang seolah berkata ‘Aku tahu, Dok… kamu sebenarnya belum rela pergikan.’

Jodi menatap sekali lagi ke arah Miranda yang tertidur, matanya melembut. “Tidur yang nyenyak, Mira…” gumamnya lirih, sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruang isolasi.

Langkah Jodi baru saja menapaki koridor ketika dari ujung lorong muncul sosok Bu Ratna, kepala perawat yang dikenal tegas namun keibuan. Perempuan itu menatap heran begitu melihat Jodi masih berada di sana.

“Lho, Dokter Jodi?” serunya sambil melangkah mendekat. “Saya kira dokter sudah pulang dari tadi. Kenapa masih di sini?”

Jodi refleks mengusap tengkuk lehernya, tersenyum kikuk. “Hehe… iya, Bu Ratna. Tadi saya sempat ketiduran di ruang isolasi,” jawabnya jujur dengan nada sedikit canggung. “Sekarang baru sadar, jadi mau langsung pulang.”

Bu Ratna mengangkat alis, menatapnya lekat seolah membaca sesuatu dari wajah Jodi. “Ketiduran di ruang isolasi?” ulangnya pelan, nada suaranya menggantung, antara heran dan curiga. “Ngapain dokter Jodi sampai ketiduran di ruang isolasi?” batinnya merasa aneh.

Jodi hanya tersenyum kecil, berusaha menutupi kegugupan yang samar. “Iya, kebetulan pasiennya sedang tenang… jadi saya duduk sebentar, eh malah ketiduran.”

Bu Ratna tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Jodi pelan. “Ooh… Kalau begitu hati-hati di jalan, Dok. Jangan terlalu capek. Rumah sakit ini memang suka ‘bikin betah’ kalau sudah larut malam.”

Nada terakhirnya terdengar ringan, tapi menyimpan sesuatu yang sulit ditebak, entah gurauan, atau peringatan halus..

Jodi hanya mengangguk pelan, membalas senyum tipis Bu Ratna. “Terima kasih, Bu,” ucapnya singkat.

Begitu Bu Ratna berbalik, langkahnya cepat menjauh di sepanjang koridor, suara sepatunya bergema lembut di lantai rumah sakit yang kini mulai sepi. Jodi menatap punggung perempuan itu sesaat sebelum akhirnya menarik napas panjang.

Dengan gerakan tergesa, ia mempercepat langkah menuju lift. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dengan bunyi denting pelan, dan Jodi segera masuk, menekan tombol menuju basement.

Sesampainya di bawah, udara lembab menyambutnya. Suara dengung mesin dan tetes air dari pipa di langit-langit membuat suasana semakin sunyi. Ia berjalan cepat melewati deretan mobil, matanya sedikit sayu, tapi pikirannya masih dipenuhi bayangan wajah Miranda yang menangis memanggil namanya. Jujur saja sebenarnya ia merasa tidak tega meninggalkan Miranda. Bagaimana kalau nanti Miranda terbangun dan dirinya sudah tidak disampingnya. Sejenak ia ingin kembali lagi, namun urung dilakukan. Dirinya harus pulang. Ia teringat kalau Alin dirumah sedang menunggunya.

Tangannya meraih kunci mobil dari saku jas putihnya, namun sejenak ia berhenti, menoleh ke arah belakang tanpa tahu mengapa. Lorong basement tampak kosong, tapi entah kenapa Jodi merasa seperti ada sepasang mata yang mengawasinya dari balik gelap.

Ia menggeleng pelan, mencoba menepis perasaan aneh itu, Ia segera meraih gagang pintu mobil dan masuk ke dalam. Begitu pintu tertutup, dunia di luar mendadak terasa sunyi. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar di ruang sempit itu.

Jodi menyalakan mesin, suara deru mobil memecah keheningan basement yang lembab. Lampu depan mobil menembus gelap, memantulkan bayangan tiang-tiang beton yang berdiri kaku seperti penjaga malam.

Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia menginjak pedal gas. Mobil melaju meninggalkan rumah sakit jiwa itu.

Sepanjang perjalanan, Jodi menekan pedal gas lebih dalam dari biasanya. Mobil melaju kencang menembus jalanan malam yang lengang, lampu-lampu kota berlarian di kaca depan seperti kilasan waktu yang ingin segera ia tinggalkan.

Tangannya mencengkeram setir erat, sementara pikirannya sibuk berputar. Bayangan wajah Miranda, lemah, pucat, namun menatapnya dengan mata penuh permohonan, masih terbayang jelas di pelupuk matanya.

Ia mengembuskan napas berat, berusaha mengusir bayangan itu, namun justru wajah Alin yang muncul berikutnya.

Alin. Ia pasti sedang menunggu di rumah.

Jodi melirik sekilas jam di dashboard mobil, hampir tengah malam. Sial. Ia berjanji akan pulang cepat tadi sore, tapi waktu seolah melesap tanpa ia sadari.

“Maaf, Lin…” gumamnya pelan, suara nyaris tenggelam oleh deru mesin. “Aku gak bermaksud… tapi entah kenapa, aku gak bisa ninggalin dia begitu aja.”

Mobil terus melaju membelah gelapnya malam, menembus jalanan yang mulai diselimuti kabut tipis. Deru mesinnya berpacu dengan detak jantung Jodi yang tak juga tenang.

Begitu roda mobil berhenti di depan rumah, Jodi langsung menarik napas panjang. Lampu teras masih menyala, menandakan seseorang di dalam belum tidur. Ia menatap rumah itu sejenak.

Tanpa menunggu lebih lama, ia membuka pintu mobil dan turun dengan tergesa.

Dengan cepat, Jodi merogoh kunci dari saku celananya. Jemarinya sempat gemetar saat mencoba memasukkannya ke lubang kunci, entah karena lelah atau apa. Suara klik terdengar pelan, pintu pun terbuka.

Tanpa berpikir panjang, Jodi melangkah masuk, langkahnya terhenti di depan pintu kamar. Ia mengetuk pelan, suaranya lirih, nyaris berbisik.

“Alin… sayang, kamu sudah tidur?”

Sunyi. Tak ada jawaban. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.

Perlahan, Jodi memutar kenop pintu dan membukanya. Di balik cahaya redup lampu tidur, tampak Alin terbaring menyamping, wajahnya tenang seperti sedang bermimpi.

Melihat itu, Jodi menarik napas panjang, lega sekaligus lelah. Ia menaruh tas kerjanya di atas meja, kemudian melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Beberapa menit kemudian, Jodi keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk yang melilit di pinggangnya. Uap hangat masih menempel di kulitnya, sementara helaian rambutnya yang basah meneteskan air hingga ke dada dan bahunya.

Aroma sabun dan sampo menyebar memenuhi kamar, segar, dan menenangkan. Dengan satu gerakan ringan, Jodi mengibaskan rambutnya, dan butiran air memercik ke cermin di depan meja rias, memantulkan bayangan dirinya yang tampak letih namun tetap memikat.

Sekilas, senyum tipis terbit di bibir Jodi ketika menyadari Alin ternyata belum tidur, sepasang mata itu diam-diam menatapnya dari balik selimut.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Jodi pura-pura tak tahu. Ia melangkah pelan mendekati ranjang, lalu naik dan berbaring di samping istrinya. Gerakannya tenang, namun penuh arti.

Dengan lembut, ia melingkarkan lengannya di pinggang Alin, menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Sayang…” bisiknya pelan di telinga Alin, suaranya berat dan hangat. “Mas tahu, kamu belum tidur, kan? Kamu masih nungguin mas kan?”

Hembusan napasnya menyapu kulit leher Alin, membuat perempuan itu meremang tanpa sempat menahan diri.

Alin menggeliat pelan, berpura-pura malas menanggapi. “Siapa bilang aku nungguin mas…” gumamnya dengan nada manja, tapi ujung bibirnya tersenyum malu-malu.

Jodi terkekeh kecil, mempererat pelukannya. “Iya, iya… bukan nungguin ko. Cuma kebetulan aja kamu belum tidur, ya?” godanya.

Alin menoleh sedikit, menatap wajah Jodi yang begitu dekat, lalu menyentuh pipinya yang masih hangat setelah mandi. “Hmm… mas Jodi jahat. Janji mau pulang cepat, tapi malah ninggalin aku sendirian. Pesan gak dibalas, telpon juga gak diangkat.”

“Maaf, sayang…” suara Jodi menurun lembut, nyaris seperti bisikan. “Tadi mas ada pasien yang harus ditangani. Terus ponsel mas, mati.”

Alin mendengus kecil, lalu memejamkan mata, masih dalam pelukan Jodi. “Pokoknya besok mas harus ganti rugi. Aku mau seharian ditemenin.”

Jodi tersenyum, menatap wajah manja istrinya yang kini bersandar di dadanya. “Deal. Tapi sekarang, boleh mas tebus salahnya dengan cara lain dulu?”

Alin membuka matanya perlahan, menatap Jodi dengan senyum menggoda di wajahnya. “Terserah mas aja… malam ini aku nurut,” ucapnya lembut, matanya berbinar. Entah kenapa ia tidak bisa marah pada Jodi. Seharusnya kan dia marah-marah, ngambek. Kenapa malah seperti ini.

Jodi tersenyum lembut, menatap wajah Alin sejenak. Lalu Ia menunduk perlahan, jemarinya menyentuh pipi sang istri, hangat, halus, dan membuat dadanya bergetar pelan.

Alin memejamkan mata saat bibir Jodi menyentuh lembut bibirnya. Sentuhan itu sederhana, namun makin lama makin menuntut. Dan itu membuat seluruh tubuhnya bergetar pelan. Hawa panas tiba-tiba memenuhi kamar, seolah udara dari pendingin ruangan pun ikut kalah oleh panas yang merambat diantara mereka..

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Yup .. Taukan akhirnya seperti apa!!

🙈🙈

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!