Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berdiri lagi
Setelah berhari-hari, berminggu-minggu rasanya kaya robot, kerja rodi, ditekan sana-sini, dibanting luar dalam... akhirnya, aku bisa merasakan hidup lagi.
Aaaaaa... Ya Allah, lega banget.
Tarik napas dalam-dalam... nikmati... hembuskan perlahan...
Huuuhhh... Daan jangan lupa bahagia...
Ternyata definisi bahagia itu sesederhana ini…
Nggak muluk-muluk amat.
Nggak harus punya istana megah, kendaraan mewah, atau helikopter di tengah sawah...
Cukup...
Ada yang perhatian,
Ada yang pengertian,
Ada yang nguatin mental..
pas lelah,
pas capek,
pas lagi terpuruk...
Sesederhana itu, tapi sebegitu berharganya.
Tapi... setelah kupikir-pikir lagi, pelajaran paling berharga dari musibah ini ya justru ternyata datang dari rasa sakit itu sendiri.
Aku jadi benar-benar tahu, mana yang tulus dan mana yang cuma pura-pura peduli.
Kadang... keluarga yang kita kira akan selalu ada, justru perlahan menjauh saat kita jatuh atau lagi susah.
Dan anehnya, orang yang bahkan nggak punya hubungan darah, yang mungkin baru kenal sebentar, bisa jadi lebih peduli, lebih hadir, dan lebih menguatkan dibanding mereka yang kita anggap "keluarga sendiri".
Ya Allah... ternyata ujian itu bukan cuma tentang sabar, tapi juga tentang membuka mata.
Hari-hari terus bergulir, aku menjalani semuanya bersama keluarga kecilku. Yaitu pak Su, Leo, dan si bungsu Xavier.
Alhamdulillah… meski fokus utamaku sekarang adalah merawat dan mendampingi penyembuhan Pak Su, kebutuhan sehari-hari, termasuk jajannya dua bocil, tetap tercukupi.
Yang bikin hati hangat, keluarga besarku benar-benar hadir di saat sulit. Saudara-saudaraku, sepupu-sepupuku… mereka care banget.
Mereka nggak biarin aku memikul beban ini sendirian.
Walaupun jarak memisahkan, bahkan ada yang di seberang pulau, tapi perhatian mereka nyampe setiap hari. Mereka selalu nanyain kabar, pantau perkembangan Pak Su… dan itu lebih dari cukup buat bikin aku kuat.
Udah lebih dari sebulan pak Su sakit, sekitar lima minggu lah, sekarang pak Su mulai bisa geser-geser badan sendiri. Tapi yang aktif baru sisi kirinya aja kaki kiri dan tangan sebelah kiri. Kaki kanan masih kaku total, jadi tiap geser posisi ya kaki kanan itu cuma selonjoran aja, nggak ngikut gerak, bisa pindah itu antara di tarik atau di dorong.
Kadang dia geser badan sambil narik kaki kanan pelan-pelan, atau dorong pakai tangan kirinya. Sering juga minta bantuanku buat narik kaki kanannya yang ketinggalan.
Jujur ya, kalau dilihat sekilas kadang ada lucunya, antara gemes dan haru, tapi aku tahan banget biar nggak ketawa di depan dia. Bisa gawat kalau ketahuan, bisa-bisa aku diusir dari kamar, hahaha.
Karena merasa sudah terlalu lama belum bisa bangun, Pak Su mulai merasa jenuh juga... Tiap hari cuma ngesot, ya wajar sih kalau bosan, beliau kan bukan suster ngesot.
Akhirnya, Pak Su pun mulai memaksakan diri... mencoba berdiri, meskipun badan belum sepenuhnya siap.
“Yu… bantu aku berdiri ya, aku pingin coba berdiri. Masa iya udah selama ini belum bisa berdiri…”
Aku pandangin dia, setengah ragu, setengah kagum.
“Yakin, mbeeb? Kaki kananmu masih kaku lho…”
“Nggak papa, coba dulu aja. Bismillah…” katanya penuh semangat, mata bersinar-sinar kaya dapet harapan baru.
Aku pun bersiap di sampingnya, siapin posisi, pegang badannya…
Di saat-saat kayak gini, semangat dan doa memang jadi kunci.
Aku tahanin badannya dari sebelah kanan, sementara tangan kirinya erat narik pegangan tiang. Gerakannya kaku banget, bener-bener kaya robot lowbat baru di-charge setengah.
Setiap usaha buat tegak berdiri, keliatan banget penuh perjuangan, keringet ngucur, napas ngos-ngosan, tapi tekadnya kuat banget.
Sampai akhirnya… berdiri juga. Tapi ternyata belum stabil, badannya goyang, karena yang kuat cuma sisi kiri, sementara sisi kanan masih lemes belum ada tenaganya, tapi kaku, dan belum bisa diajak kompromi.
Berasa kaya berdiri di atas satu kaki di tengah angin ribut, nggak seimbang, oleng ke sana ke mari. Tangan kirinya pegangan erat pada tiang.
"Alhamdulillah, Yu… aku bisa berdiri lagi…!"
Serunya sambil senyum lebar, matanya berkaca-kaca, kaya nggak percaya sama dirinya sendiri.
Tangannya masih gemetar, tapi semangatnya luar biasa.
Aku pun langsung peluk dia sebentar, “Masya Allah mbeeb… kamu hebat banget… pelan-pelan ya, insya Allah sebentar lagi makin kuat.”
Di momen itu, capekku rasanya lunas. ada rasa haru juga... akhirnya dia bisa berdiri lagi, meski setengah badan aja yang nurut.
Namun ternyata, kebahagiaan itu nggak berlangsung lama, dia mulai teriak-teriak panik, “Ayuuuu! Aku jatuh! Ayuuuu!”
Tubuhnya gemetar, takut limbung, nggak bisa nurunin badan buat duduk lagi.
Dia panik, gemeteran hebat seluruh badannya.
Nafasnya nggak teratur, matanya celingukan nyari pegangan. Tangannya yang sebelah kanan ngeremas lenganku sebisa-bisa dia, sementara tubuhnya mulai nggak seimbang.
"Ayu.... Aku mau duduk lagi aja... Aduuh gimana ini cara duduknya.. yu.. Gimana aku duduknya.... Ngga bisa duduk yu..."
Aku langsung rangkul dari belakang, “Tenang mbeeb... tarik nafas dulu pelan-pelan... aku di sini.”
Kupeluk lebih erat, tahan supaya dia nggak jatuh.
Deg-degan sih, tapi aku harus lebih tenang dari dia. Dalam hati aku bisik, “Ya Allah, bantuin kami...”.
Sebenernya hatiku juga jedag-jedug nggak karuan…
Aku nahan badannya sekuat tenaga, padahal badanku cuma setengah dari badannya.
Kalau sampai dia jatuh dan keseleo, yang repot bukan cuma dia, aku juga bisa ikut tumbang.
Tapi di saat-saat kayak gini, aku harus tetap keliatan tenang... setenang mungkin biar dia nggak makin panik.
Dalam hati cuma bisa istighfar sambil terus peluk dia erat-erat, semoga Allah jaga kami berdua.