“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. DITINGGAL RENZO
Suasana di The Granelle memang dirancang untuk memukau. Lampu temaram, denting piano lembut, dan setiap meja terpisah dengan privasi yang baik.
Renzo dengan cerdik memilih meja di sudut paling teduh, terlindung oleh sekat tanaman hias yang membuat mereka seperti berada di dunia mereka sendiri.
Pelayan sudah membawakan menu, dan Renzo, tanpa ragu, memesan dua steak spesial dengan sisi kentang tumbuk dan asparagus. Saat pelayan menawarkan wine list, Renzo hanya menggeleng.
“Kami akan minum sparkling grape juice saja, yang non-alkohol,” ujarnya, dengan pandangan sekilas ke arah Nadhifa yang terlihat lega.
Saat minuman datang dalam gelas anggur yang elegan, berwarna kemerahan, Renzo tersenyum.
“Lihat? Kita bisa tetap merasa mewah tanpa melanggar aturan lo.”
Ketika steak mereka datang, Nadhifa mencoba memotong steaknya yang masih merah muda di bagian dalam. Medium rare. Dia kesulitan, pisau steak yang bagus pun terasa tak cukup tajam untuknya. Renzo memperhatikannya dengan saksama.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh dan memberi isyarat pada pelayan. “Tolong ganti steak ini dengan yang well-done,” pinta Renzo.
“Nggak perlu, Mas! Ini bisa kok,” protes Nadhifa malu-malu.
“Diam,” kata Renzo lembut tapi tegas. “Lo nggak nyaman. Gue nggak mau lo susah payah. Kita ada waktu.” Dia mengalahkan argumentasinya dengan mudah.
Sementara steak Nadhifa sedang dibuat, Renzo hanya memotong-motong steaknya sendiri tapi tidak menyantapnya. Dia meletakkan pisau dan garpunya, menyeruput jus anggurnya, dan menunggu.
“Mas, silakan makan dulu. Jangan tunggu aku,” pinta Nadhifa.
“Nggak,” bantah Renzo dengan halus. “Ini makan malam bersama. Gue nggak mau makan duluan. Itu nggak sopan.”
Prinsipnya yang sederhana itu justru membuat Nadhifa tersentuh.
Merasa tidak enak, Nadhifa kemudian berkata, “kalau begitu ... kita bagi kentang gorengnya dulu, yuk? Sebelum steak datang.”
Mereka pun mulai menyantap kentang goreng truffle yang gurih dari satu piring bersama. Aksi sederhana itu berhasil mencairkan kekikukan Nadhifa.
“Rileks, Dhifa,” bisik Renzo, matanya berbinar lembut. “Lo aman di sini. Di sudut ini, jauh dari semua orang. Nggak ada yang memperhatikan kita.”
Tapi Nadhifa masih khawatir. “Gimana kalau ada karyawan kantor yang lihat kita? Gosipnya bakal heboh.”
Renzo malah terkekeh. “Bukannya lo bilang nggak peduli dengan omongan orang? Kaya waktu parkir motor lo itu?”
Nadhifa tersipu, senyum malu mengembang di bibirnya. “Itu ... itu lain.”
Senyumnya yang tulus dan polos itu menghantam jantung Renzo dengan keras.
Batin Renzo, “Tuhan, dia begitu ... murni. Dalam segala kesederhanaannya, dalam senyum malunya, dia seperti cahaya di tengah dunianya yang penuh kepalsuan. Aku ingin ... ingin dia hanya untukku. Aku ingin melindunginya, membuatnya tersenyum seperti itu setiap hari, dan mendengar tawanya yang hanya untuk telingaku sendiri. Aku ingin dia menjadi milikku. Tapi ... bisakah? Bisakah aku memeluknya tanpa merusak keyakinannya? Bisakah aku memilikinya tanpa menyakiti hatinya yang suci?”
Batin Nadhifa, “Ya Rabb, hatiku berdebar kencang sekali di dekatnya. Dia begitu perhatian, begitu ... berbeda. Jika ini memang jodoh yang Kau takdirkan, dekatkanlah. Tapi jika bukan, tolong ... jauhkanlah. Meski dalam doa yang egois ini, aku memohon sebuah keajaiban. Bisakah Engkau mengubah hatinya, menuntunnya pada cahaya-Mu, sehingga suatu hari nanti, dia bisa menjadi sosok yang tidak hanya kusayangi, tapi juga kutemani dalam meniti jalan menuju-Mu? Aku mohon, berilah aku kekuatan.”
“Lo ngapain aja, Dhif kalo nggak kerja?” tanya Renzo penasaran.
“Aku kadang pergi ke pondok untuk mengaji. Atau ke panti asuhan, nemenin anak-anak belajar sama bermain,” jawab Nadhifa ringan.
Renzo terdiam sejenak, terkesan. Lalu, dengan hati-hati, dia menyinggung, “dan ... Mama lo? Dia tinggal di mana?”
Nadhifa senyumnya sedikit memudar. “Mama aku ... sudah meninggal, Mas. Waktu aku kecil.”
Kalimat itu menggantung di antara mereka. Renzo merasa seperti ditampar. Rasa kasihan, hormat, dan kekaguman yang lebih dalam menyelimutinya.
Dia bisa membayangkan betapa kuatnya gadis ini, dibesarkan tanpa seorang ibu, berjuang sendirian, dan tetap menjadi pribadi yang baik dan penuh cahaya.
“Gue ... gue turut berduka,” ucap Renzo akhirnya, suaranya sangat lembut.
Di balik kemewahan restoran bintang lima, yang terasa justru adalah kehangatan dua hati yang saling mencoba memahami, meski dibatasi oleh tembok keyakinan, status sosial, dan masa lalu yang berbeda.
Dan bagi Renzo, malam ini semakin mengukuhkan satu hal dalam hatinya. Nadhifa bukan lagi sekadar karyawan atau ‘tante’ jauh. Dia adalah seorang wanita yang sangat ingin ia jaga, kagumi, dan suatu hari nanti, ia cintai dengan sepenuh hati.
Steak Nadhifa yang telah dimasak matang sempurna akhirnya tiba, menguarkan aroma yang menggugah selera.
Namun, sebelum Nadhifa sempat mengangkat pisau dan garpunya, Renzo dengan lembut mengambil piring itu.
“Gue aja,” ujarnya, tanpa memberi Nadhifa kesempatan untuk menolak.
Dengan terampil, tangan Renzo yang biasanya memegang pulpen mahal atau stir mobil sport, kini dengan sabar memotong-motong steak itu menjadi bagian-bagian kecil yang sempurna. Setiap irisan terlihat rapi, seolah dia sedang menyelesaikan sebuah tugas yang sangat penting.
Nadhifa hanya bisa diam, perasaan tidak enak dan malu bercampur menjadi satu. “Mas, kamu nggak perlu repot-repot…”
“Udah, diam aja,” bisik Renzo sambil tersenyum, matanya tidak lepas dari tugasnya. “Hari ini, lo yang diistimewakan.”
Dalam diam, Nadhifa memperhatikan wajah Renzo. Penerangan restoran menyoroti profilnya yang tajam. Dia teringat pada seorang aktor Korea yang pernah dilihatnya di drama yang ditonton rekan kerjanya.
Sama-sama memiliki aura yang mempesona, namun ada kelembutan di sorot mata Renzo yang membuatnya terasa lebih nyata, sekaligus lebih berbahaya bagi hati Nadhifa. Dia buru-buru menunduk, menepis pikiran itu.
Setelah selesai, Renzo menyodorkan piring itu kembali. “Makan.”
Mereka pun mulai makan. Suasana terasa hangat, meski Nadhifa masih merasa sedikit kikuk. Namun, kehangatan itu tidak berlangsung lama.
Tiba-tiba, telepon Renzo bergetar. Dia melihat layarnya, dan seketika ekspresinya berubah. Matanya membesar, penuh dengan harapan dan kecemasan yang mendadak.
“Iya? Benarkah? Oke, saya segera ke sana!” katanya dengan suara tergesa. Dia menutup telepon dan menatap Nadhif.
“Mommy ... Mommy gue sadar. Gue harus ke rumah sakit,” ujarnya, sudah berdiri. “Maaf, Dhifa. Gue harus pergi sekarang.”
Nadhifa langsung memahami. “Tentu saja, Mas! Silakan, cepat pergi!”
Tanpa basa-basi lagi, Renzo berbalik dan nyaris berlari menuju pintu keluar, meninggalkan Nadhifa sendirian di meja yang tadi terasa begitu intim.
Pilu.
Itulah yang dirasakan Nadhifa. Dia memahami prioritas Renzo, tapi perasaan ditinggalkan begitu saja di tengah makan malam, di tempat yang begitu asing baginya, terasa seperti tamparan halus.
Ditambah lagi, tatapan para pengunjung lain yang elite mulai mengarah padanya. Ada yang penasaran, ada yang seolah menilai. Seorang wanita berhijab, ditinggal sendirian di restoran mewah. Rasanya seperti ada cap ‘tidak pantas’ terpampang di dahinya.
Rasa malu dan tidak nyaman membuncah. Kemudian, kekhawatiran praktis muncul.
Siapa yang akan membayar semua ini?
Dengan hati berdebar, Nadhifa membuka aplikasi mobile banking di ponselnya. Dia mengecek saldo tabungannya. Angka itu terpampang, uang yang ia kumpulkan dengan susah payah.
Lalu, matanya berpindah ke buku menu yang tertinggal di meja sebelah. Dengan mata sipit, ia mencoba membaca harga-harga yang tercantum. Steak, minuman, kentang truffle. Dia mencoba menjumlahkannya dalam hati, dan dadanya semakin sesak.
“Ya Allah, jangan sampai kurang,” doanya dalam hati.
Dengan perasaan campur aduk, Nadhifa memaksakan diri untuk menghabiskan steaknya. Setiap suapan terasa seperti batu, tapi dia tidak mau menyia-nyiakannya. Setelah piringnya kosong, dia memberi isyarat pada pelayan untuk membawa bill.
Pelayan yang sopan mendekat dengan bill folder. “Pesanan ini akan ditagihkan ke rekening Tn. Alverio, ya, Bu?”
Nadhifa menggeleng dengan tegas, meski dalam hatinya tercabik. “Tidak. Saya yang akan bayar.”
Pelayan terlihat sedikit terkejut, tapi kemudian mengangguk. Dia membawa mesin EDC. Nadhifa dengan tangan yang hampir gemetar, menggesek kartu debitnya. Saat diminta memasukkan PIN, jarinya terasa kaku. Dia mengetik angka dengan hati berdoa.
Transaksi berhasil.
Nadhifa melihat struk yang keluar. Matanya langsung mencari tahu totalnya. Rp 18.750.000.
Dia kemudian membuka kembali aplikasi mobile banking. Saldo yang sebelumnya dia banggakan, kini tersisa Rp 10.125.000.
Air mata hampir menitik di pelupuk matanya. Sepuluh juta lebih, hilang dalam satu malam. Uang yang bisa untuk biaya hidupnya berbulan-bulan, untuk sedekah, untuk ditabung.
Dia berdiri, berusaha tegak, dan berjalan keluar dari restoran dengan langkah yang pasti, meski hancur di dalam. Dia tidak mau menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang yang menatapnya.
Perjalanan pulang ke apartemen baru terasa sangat sunyi dan panjang.
Dia membayangkan wajah bahagia Renzo saat mendengar kabar Mommy-nya, dan itu sedikit menghiburnya. Tapi dia juga sadar, di dunia Renzo, dia hanyalah seorang pelengkap yang bisa ditinggalkan kapan saja, sambil meninggalkan jejak yang dalam bagi keuangannya.