Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Kembali Memulai
Beberapa hari telah berlalu sejak malam di mana Leon kembali tenggelam dalam ledakan emosinya. Insiden memecahkan cermin dengan tangan kosong masih jelas dalam ingatan Nayla, tetapi kini, suasana jauh lebih tenang.
Leon menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Terapi yang rutin, dukungan dari orang-orang terdekat, serta kehadiran Nayla yang setia mendampinginya perlahan membuahkan hasil. Leon tampak mulai bisa mengendalikan emosinya. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia kembali mengambil alih perannya sebagai pemimpin Mahesa grup.
Pagi itu, di dapur rumah keluarga Mahesa, Nayla tengah menata sepiring camilan dan segelas minuman hangat kesukaan Leon. Ia melakukannya dengan hati-hati dan penuh perhatian seperti biasa. Namun, sebelum ia sempat membawa nampan itu ke kamar Leon, suara sinis menghentikan langkahnya.
“Masih betah aja kamu di sini?” tanya Lisa. Nada bicaranya jelas menyiratkan provokasi. “Kamu nggak takut? Gimana kalau Tuan Leon ngamuk lagi? Bisa-bisa kamu akan mengalami hal yang lebih dari kemarin.”
Nayla menoleh perlahan, tidak terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Ia sudah sering mendengar bisik-bisik di belakangnya, tapi kali ini Lisa menyampaikannya secara langsung.
“Aku sudah tahu sejak awal seperti apa kondisi Tuan Leon,” jawab Nayla tenang. “Nyonya Gaby menjelaskan semuanya sebelum aku mulai bekerja di sini. Jadi, aku memang sudah menyiapkan diri. Dan tidak, aku tidak takut.”
Lisa menyipitkan mata. Ia tidak suka melihat Nayla begitu tenang dan percaya diri. “Ah, bilang aja kamu betah karena pengin deket-deket sama Tuan Muda. Siapa tahu bisa naik status, kan?”
Nayla tersenyum, senyuman kecil yang justru membuat Lisa semakin geram. “Kalau kamu mau menganggapnya seperti itu, silakan saja. Tapi satu hal yang pasti, aku di sini karena aku bekerja. Tugasku adalah merawat Tuan Leon, dan tentu saja aku harus dekat dengannya. Itu bagian dari pekerjaanku.”
Kata-kata Nayla tegas, namun tetap sopan. Ia tidak membalas dengan kemarahan, tapi dengan keyakinan dan keberanian. Lisa menggertakkan gigi, merasa kalah dalam adu kata. Dalam hatinya, ia cemburu—karena Nayla bisa dengan mudah berada di sisi Leon, pria yang diam-diam ia sukai.
“Huh, dasar sok suci!” gumam Lisa sebelum pergi, melengos dengan kesal.
Nayla menghela napas sebentar, lalu kembali fokus pada tugasnya. Ia membawa nampan dan melangkah menuju lantai atas. Tanpa ia sadari, di balik rak buku di dekat dapur, Bibi Eli berdiri menyaksikan perbincangan mereka. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, kagum dengan keteguhan hati Nayla.
“Gadis ini bukan orang sembarangan,” gumamnya pelan. “Tidak mudah ditindas, dan tetap sopan.”
Sesampainya di kamar Leon, Nayla langsung mengetuk pelan sebelum masuk. Leon sedang duduk di kursi roda dekat jendela, menikmati cahaya pagi.
“Kenapa lama sekali?” tanya Leon tanpa menoleh, suaranya datar tapi jelas menyiratkan rasa penasaran.
“Maaf, Tuan,” jawab Nayla sambil berjalan mendekat. “Tadi saya sempat berbincang sebentar dengan Lisa di dapur.”
Leon hanya mengangguk pelan. Ia tidak bertanya lebih jauh. Nayla pun segera meletakkan camilan dan minuman di meja kecil di samping kursi Leon.
“Saya bawakan camilan kesukaan Tuan. Hangat dan masih segar,” ucap Nayla sambil duduk di kursi dekat tempat Leon.
“Terima kasih,” balas Leon singkat.
Setelah beberapa saat hening, Nayla kembali membuka suara. “Maaf, Tuan… Saya ingin menanyakan sesuatu. Bagaimana keadaan tangan Tuan sekarang? Apakah masih terasa nyeri?”
Leon menoleh perlahan, lalu mengangkat tangan kirinya yang sempat terluka akibat memukul cermin. Luka itu kini telah mengering, hanya menyisakan bekas merah samar di permukaan kulit.
“Sudah tidak sakit. Sudah mengering,” jawabnya singkat.
“Syukurlah,” ucap Nayla lega. “Saya sempat khawatir. Waktu itu lukanya cukup dalam.”
“Sepertinya kamu memang orang yang suka khawatir,” kata Leon pelan, namun kali ini nadanya bukan ketus seperti biasanya. Ada ketulusan terselip di dalamnya.
Nayla tersenyum kecil. “Mungkin memang begitu, Tuan. Tapi saya hanya ingin memastikan jika Tuan benar-benar pulih.”
Leon menatap Nayla dalam diam. Gadis itu selalu tahu cara menyampaikan sesuatu tanpa menghakimi. Ia hadir bukan untuk menyembuhkan dengan obat, tapi dengan ketulusan yang tulus dan tanpa pamrih.
“Terima kasih, Nayla,” gumam Leon akhirnya.
---
Malam itu, suasana makan malam di rumah keluarga Mahesa terasa lebih hangat dari biasanya. Leon duduk tenang di kursi rodanya, sementara Nayla duduk di sebelahnya seperti biasa, siap membantunya jika dibutuhkan. Gaby duduk di seberang meja, sesekali mencuri pandang ke arah putranya yang terlihat jauh lebih tenang dan stabil dibanding beberapa hari sebelumnya.
Sambil menikmati hidangan, Leon tiba-tiba membuka suara.
"Ma, besok aku akan kembali ke kantor," ucapnya tenang namun penuh ketegasan.
Gaby yang sedang memotong ayam di piringnya langsung menghentikan gerakannya. Matanya membelalak, campuran antara terkejut dan haru.
"Benarkah, Sayang? Kamu sudah benar-benar siap?" tanyanya penuh kekhawatiran namun juga harapan.
Leon mengangguk pelan.
"Aku sudah memikirkannya, Ma. Aku merasa lebih baik sekarang. Lagipula Nayla akan ikut bersamaku. Jadi Mama tak perlu terlalu khawatir."
Nayla yang namanya disebut spontan menoleh dan tersenyum kecil. Ia hanya mengangguk sopan, tak ingin terlalu menonjolkan diri.
"Aku akan tetap mendampingi Tuan Leon selama di kantor. Jangan khawatir, Nyonya."
Gaby menghela napas lega, senyum hangat menyelimuti wajahnya.
"Kalau memang itu yang kamu inginkan, Mama akan selalu mendukungmu, Sayang. Mama hanya ingin kamu melakukan semua ini karena kamu siap, bukan karena merasa terpaksa."
Leon menatap ibunya dalam-dalam.
"Tenang saja, Ma. Aku tidak akan memaksakan diri. Tapi kali ini... aku ingin mencobanya, kembali menata hidupku."
"Terima kasih, Ma," tambahnya tulus.
Bagi Gaby, malam itu terasa begitu berarti. Setelah sekian lama melihat putranya terpuruk, akhirnya ada secercah harapan yang nyata. Makan malam itu menjadi saksi perubahan yang mulai tumbuh kembali dalam diri Leon.
Setelah makan malam dan obrolan ringan, Leon naik ke lantai atas dengan bantuan Nayla yang seperti biasa mendorong kursi rodanya. Saat mereka sampai di kamar, Leon langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Rafa," katanya begitu sambungan tersambung.
"Besok aku kembali ke kantor."
Di seberang sana, Rafa nyaris menjatuhkan gelas yang baru saja ia ambil.
"Serius, Leon? Kamu nggak bercanda, kan?" tanyanya, hampir tidak percaya.
Leon tersenyum tipis.
"Sejak kapan aku pernah bercanda soal pekerjaan?"
Rafa tertawa lega.
"Astaga, akhirnya juga! Aku senang dengar itu. Besok aku bakal datang pagi-pagi ke rumah. Kita berangkat bareng, ya?"
"Baik. Sampai besok," ucap Leon singkat, lalu memutuskan panggilan.
Keesokan paginya, suasana di rumah keluarga Mahesa terasa sedikit berbeda. Semangat pagi terasa lebih cerah, seakan menyambut perubahan besar yang akan dimulai hari ini.
Leon sudah rapi dengan setelan jas warna abu gelap yang disiapkan oleh Nayla. Meskipun masih duduk di kursi roda, wibawa dan ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Ada aura pemimpin yang perlahan kembali terpancar dari dirinya.
Nayla yang berdiri di belakangnya tampak bangga. Ia memperhatikan setiap detail, memastikan rambut Leon tertata rapi dan dasinya tidak miring.
"Semua sudah siap, Tuan. Semoga hari ini berjalan lancar," ucapnya lembut.
Leon menatap dirinya di cermin, lalu tersenyum kecil.
"Terima kasih, Nayla. Untuk semuanya."
Sementara itu, di ruang makan bawah, Gaby sedang menunggu mereka sambil menikmati teh hangat. Tak lama kemudian, terdengar suara salam dari arah pintu depan.
"Selamat pagi, Tante!" sapa Rafa ceria sambil masuk dengan langkah mantap.
Gaby menoleh dan tersenyum melihat Rafa.
"Pagi sekali kamu datang, Rafa," katanya sambil meletakkan cangkir tehnya.
"Iya, Tante. Saya semangat sekali. Rasanya seperti mimpi Leon akhirnya kembali ke kantor," ujar Rafa penuh antusias.
Gaby ikut tersenyum, meski ada sedikit kekhawatiran dalam sorot matanya.
"Tapi kamu tetap harus perhatikan Leon baik-baik, Rafa. Tante tahu dia terlihat lebih baik, tapi tetap saja... dia baru mulai bangkit."
"Siap, Tante. Saya akan selalu berada di sisinya dan memastikan semuanya baik-baik saja," jawab Rafa dengan penuh keyakinan.
Obrolan mereka terhenti saat Leon muncul dari lift, didorong oleh Nayla. Penampilan Leon yang rapi dan berwibawa membuat seisi ruangan terdiam sejenak.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Nayla ramah.
"Selamat pagi, Nayla. Selamat pagi, Sayang," sambut Gaby dengan suara sedikit bergetar. Matanya berkaca-kaca melihat putranya yang tampak seperti Leon yang dulu.
Leon hanya tersenyum dan mengangguk.
"Ayo, kita mulai hari baru," ucapnya pelan, namun penuh tekad.
Dan pagi itu menjadi awal yang baru bagi Leon, bagi Nayla, dan bagi keluarga Mahesa.