NovelToon NovelToon
Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / CEO / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.

Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.

Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 Marah

Sementara Leon dan Rafa masih berada di ruang kerja membahas urusan kantor, Nayla sedang berada di ruang tamu bersama Nyonya Gaby. Wanita paruh baya itu memang sengaja memanggil Nayla untuk berbincang santai, terutama menanyakan perkembangan putranya.

Nayla berjalan pelan menuju sofa tempat Nyonya Gaby duduk. Dengan sopan, ia berhenti di depan wanita itu dan sedikit membungkukkan badan.

"Iya, Nyonya. Nyonya memanggil saya?" tanyanya dengan nada lembut dan penuh hormat.

Nyonya Gaby tersenyum kecil. "Iya, Nayla. Duduklah di sini sebentar. Aku ingin bicara sedikit."

Nayla sempat ragu. Saat wanita itu menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya, Nayla justru memilih duduk di bawah, di karpet empuk dekat sofa.

"Di sini saja, Nyonya. Saya lebih nyaman duduk di bawah," jawabnya sambil tersenyum malu.

Nyonya Gaby menghela napas pelan, lalu mengangguk maklum. "Baiklah, kalau kamu lebih nyaman begitu."

Beberapa detik suasana sempat hening, hanya suara jam dinding yang terdengar menggema pelan. Hingga akhirnya, Nyonya Gaby membuka suara.

"Bagaimana keadaan Leon hari ini? Apakah dia masih mudah marah atau membuatmu kesulitan?"

Nayla tersenyum tipis. "Tuan Leon baik-baik saja, Nyonya. Dia memang belum banyak bicara, dan kalau berbicara pun hanya seperlunya. Tapi sejauh ini, dia tidak bersikap kasar. Kecuali… kalau ada hal yang tidak dia sukai."

Nyonya Gaby mengangguk pelan. "Misalnya?"

"Dia tidak menyukai seragam perawat yang saya kenakan. Katanya terlalu mengingatkannya pada masa-masa di rumah sakit. Jadi, beliau meminta saya mengenakan pakaian biasa saja selama bekerja di rumah."

Senyuman Nyonya Gaby mengembang, tapi ia tidak mengungkapkan bahwa Leon sudah meminta Rafa membelikan baju-baju baru untuk Nayla. Ia hanya menatap wajah gadis muda itu dengan tatapan tulus dan penuh harapan.

"Aku sangat berterima kasih, Nayla. Kamu tahu, sejauh ini hanya kamu yang bisa sedikit demi sedikit mendekati Leon. Dia menolak semua orang, bahkan beberapa perawat sebelumnya pun tak tahan menghadapi sikapnya. Tapi kamu… berbeda. Entah kenapa aku merasa kamu bisa membantunya sembuh, bukan hanya secara fisik, tapi juga hati dan pikirannya."

Nayla menunduk, matanya sedikit berkaca-kaca mendengar kepercayaan sebesar itu diberikan padanya.

"Terima kasih, Nyonya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Saya tahu, tuan Leon memang terluka… tapi saya percaya luka itu bisa perlahan sembuh, kalau ada yang benar-benar peduli."

Nyonya Gaby tersenyum puas. "Itu yang membuatku yakin kamu orang yang tepat."

Setelah perbincangan selesai, Nayla pamit untuk membuatkan susu hangat seperti biasa untuk Leon. Ia pun melangkah menuju dapur dengan hati yang terasa lebih ringan.

Sementara itu, di ruang kerja, Rafa bersandar di sandaran kursi sambil menatap sahabatnya.

"Sepertinya semua sudah cukup untuk malam ini. Aku pulang dulu, bro, sebelum Mama kamu mengira aku numpang tidur di rumah kalian," ucap Rafa dengan nada bercanda.

Leon hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis.

"Kalau kamu memang capek, kamar tamu masih ada."

"Godaan yang menarik," jawab Rafa sambil bangkit. "Tapi lain kali saja."

Ketika Rafa menuruni tangga, ia berpapasan dengan Nayla yang baru saja membawa segelas susu hangat. Rafa menghentikan langkahnya.

"Nayla..." panggilnya pelan.

Nayla menatapnya dan tersenyum sopan. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Rafa?"

"Tidak. Hanya ingin bilang... tolong jaga Leon baik-baik, ya. Dia memang sulit dijangkau, tapi dia sedang berjuang. Jadi... tolong jangan menyerah."

Nayla mengangguk mantap. "Pasti, Tuan. Saya akan berusaha semampu saya."

Setelah Rafa berlalu, Nayla kembali melangkah menuju kamar Leon. Ia membuka pintu perlahan. Ternyata Leon sudah berpindah ke tempat tidur, kemungkinan besar dengan bantuan Rafa sebelum pergi.

"Tuan... ini susu hangatnya," ucap Nayla sembari menghampiri dan menyerahkan gelas.

Leon menerima gelas itu tanpa banyak komentar. Ia langsung meminumnya pelan, lalu meletakkannya di nakas.

"Nayla ambil kan paperbag itu." Leon meminta Nayla mengambil paperbag yang ada di sofa

Nayla segera beranjak mengambil yang Leon suruh,baru Nayla mendekat dan ingin menyodorkan paperbag tersebut Leon langsung mengatakan" itu untuk mu.

Nayla memandang paperbag besar itu dengan ragu. " untuk Tapi... ini banyak sekali."

Leon mengangguk ringan. "Rafa tidak tahu harus beli berapa, jadi dia beli lebih."

"Tapi... kenapa Anda repot-repot membelikan saya baju sebanyak ini?"

Leon tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit sejenak, lalu berkata, "Aku ingin tidur. Besok bangunkan aku seperti tadi."

Mendengar itu, Nayla langsung menghampiri Leon, membenarkan posisi tidur pria itu dan menyelimuti tubuhnya.

"Baik, Tuan. Terima kasih untuk semuanya."

Leon tidak merespons, tapi sorot matanya tampak lebih tenang dari biasanya. Nayla keluar perlahan dari kamar setelah mematikan lampu tidur.

Sesampainya di kamar, Nayla membuka paperbag itu satu per satu. Matanya membesar ketika melihat isinya—beberapa potong blouse elegan, celana kain berkualitas, gaun rumah yang cantik, hingga sepatu flat yang tampak mahal.

Ia menatap semua itu dengan campuran tak percaya dan haru.

"Ini... terlalu banyak. Dan semuanya terlihat seperti... koleksi butik mahal," gumamnya pelan.

Setelah membereskan baju-baju itu, Nayla segera tidur agar besok tidak kesiangan.

---

Pagi itu, penampilan Nayla tampak berbeda dari biasanya. Ia mengenakan salah satu baju yang diberikan oleh Leon semalam. Baju terusan berwarna biru lembut dengan potongan sederhana namun elegan itu membuat Nayla terlihat segar dan anggun. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, hanya diikat setengah ke belakang dengan pita kecil yang senada dengan warna bajunya. Wajahnya tampak cerah, dan tanpa ia sadari, senyum kecil menghiasi bibirnya sepanjang pagi ini.

Setelah memastikan semuanya siap, Nayla langsung menuju kamar Leon. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk pelan, lalu membuka pintu setelah mendengar suara pelan dari dalam.

"Selamat pagi, Tuan," sapanya lembut sambil masuk ke dalam kamar.

Leon sudah bangun dan duduk bersandar di ranjang, mengenakan kaus putih dan celana kain santai. Pandangannya terhenti sejenak ketika melihat Nayla masuk dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Seketika matanya menelisik dari atas ke bawah, namun buru-buru ia mengalihkan pandangan ke arah jendela, seolah tak tertarik.

"Anda sudah bangun, Tuan?" tanya Nayla sambil berjalan mendekat.

Leon hanya mengangguk pelan. Ia tak ingin ketahuan telah memperhatikan Nayla terlalu lama. Namun dalam hati, ia mengakui bahwa baju yang dipilihkan Rafa benar-benar cocok untuk wanita itu. Tampak manis, sopan, dan... entah kenapa hatinya terasa lebih tenang melihatnya seperti itu.

“Terima kasih untuk bajunya, Tuan. Saya benar-benar tidak menyangka... semuanya sangat bagus,” ucap Nayla dengan nada pelan tapi tulus.

Leon hanya mendengus ringan, lalu menatap jam di nakas. "Bantu aku bersiap. Aku ingin sarapan di bawah pagi ini."

Seperti biasa, Nayla membantu Leon dengan penuh kehati-hatian. Ia membantu Leon masuk ke kamar mandi, memakai kan pakaian, lalu mendorong kursi roda Leon ke lantai bawah.

Hari ini mereka lebih dulu tiba di ruang makan daripada Nyonya Gaby. Saat mereka duduk, tak lama kemudian wanita elegan itu muncul dengan senyum hangat di wajahnya.

"Eh, kalian sudah duluan," sapa Nyonya Gaby. Lalu matanya menatap Nayla dan seketika tersenyum lebih lebar. "Nayla, kamu terlihat sangat cantik pagi ini. Serius. Baju itu cocok sekali denganmu."

Nayla tersipu. Ia menunduk sambil tersenyum malu, tidak tahu harus menjawab apa. “Terima kasih, Nyonya... saya hanya mengikuti arahan Tuan Leon,” jawabnya jujur.

Leon tidak menanggapi pujian itu, hanya tetap fokus pada makanannya. Namun, bila dilihat lebih dekat, sudut bibirnya tampak naik sedikit — nyaris seperti senyuman kecil yang tertahan.

Sarapan berlangsung tenang dan nyaman. Setelah itu, seperti biasa, Nyonya Gaby berangkat ke kantor, meninggalkan Leon dan Nayla di rumah.

---

Hari itu, Leon terlihat gelisah. Matanya menatap keluar jendela cukup lama, sebelum akhirnya ia berkata dengan nada datar, “Aku ingin keluar.

"Keluar? Ke mana, Tuan?" tanya Nayla hati-hati.

Leon menatapnya sejenak. “Ke taman pusat kota. Sudah lama aku tidak kesana.”

Tanpa banyak tanya lagi, Nayla segera mempersiapkan semuanya. Sopir pribadi keluarga mereka pun diminta untuk membawa mobil. Sekitar satu jam kemudian, mereka sampai di taman kota. Suasana cukup tenang. Karena bukan hari libur, taman itu tidak terlalu ramai.

Leon duduk di kursi rodanya, dengan Nayla yang setia mendorong di belakang. Sinar matahari sore menyelinap lembut di antara daun pepohonan, memberikan nuansa hangat dan damai. Nayla sesekali menatap Leon dari belakang. Pria itu terlihat jauh lebih tenang dibanding biasanya.

Namun ketenangan itu hanya berlangsung sesaat.

Tiba-tiba, Leon berkata dengan suara tajam namun pelan, “Berhenti.”

Nayla terhenti seketika, bingung dan khawatir. Ia melangkah ke samping Leon dan melihat wajah pria itu. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di atas pahanya, dan matanya menatap lurus ke depan dengan sorot yang berubah drastis.

“Tuan… ada apa?” tanya Nayla cemas, suaranya hampir bergetar.

Leon tidak segera menjawab. Matanya tak berkedip, masih menatap sesuatu atau mungkin seseorang di kejauhan. Nayla mengikuti arah pandang Leon, tapi tidak melihat hal yang mencurigakan. Ia mulai panik.

“Aku ingin pulang,” kata Leon akhirnya, nadanya tegas dan berat.

“Tapi—”

“Sekarang.”

Suara itu cukup membuat Nayla bergidik. Ia tak berani bertanya lebih jauh. Dengan cepat ia membalikkan kursi roda dan mendorongnya kembali ke arah tempat parkir. Jantungnya masih berdebar keras karena sikap Leon yang tiba-tiba berubah.

Di dalam mobil, suasana hening. Leon menatap keluar jendela, sementara Nayla duduk di sampingnya dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya dilihat Leon di taman tadi hingga membuatnya tiba-tiba marah dan ingin segera pergi?

1
murniyati Spd
sangat bagus dan menarik untuk di baca /Good/
Guchuko
Sukses membuatku merasa seperti ikut dalam cerita!
Ververr
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
Zani: Terimakasih sudah mampir kak🥰, ditunggu update selanjutnya 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!