"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Ludah Sang Pelindung
Bau anyir darah yang mulai mengering bercampur dengan aroma bahan kimia penghilang sidik jari memenuhi udara pengap di gudang bawah tangga. Risa Permata meringkuk di sudut, memeluk tangannya yang dibalut kain lusuh satu-satunya benda yang ia gunakan untuk membungkus ujung jarinya yang melepuh dan hancur semalam. Napasnya pendek-pendek, setiap tarikan udara terasa seperti duri yang menusuk paru-parunya yang lelah.
Kehidupan pertamanya ini telah berubah menjadi rangkaian mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ia tidak lagi menghitung hari berdasarkan terbitnya matahari, melainkan berdasarkan berapa banyak memar baru yang muncul di tubuhnya.
Tiba-tiba, suara langkah sepatu kulit yang beradu dengan lantai marmer terdengar mendekat. Suara itu berwibawa, tenang, dan sangat akrab di telinga Risa sejak kecil. Harapan yang seharusnya sudah mati di dalam dada Risa, tiba-tiba memercikkan sedikit cahaya.
Paman Hari? Apakah dia datang untuk menghentikan Doni? Apakah dia akhirnya merasa kasihan padaku?
Pintu gudang terbuka. Cahaya lampu lorong yang terang benderang masuk, memaksa Risa menyipitkan matanya yang bengkak. Paman Hari berdiri di sana, tampak sangat kontras dengan pemandangan di dalam gudang. Ia mengenakan setelan jas sutra berwarna abu-abu yang mahal, rambutnya tertata rapi, dan aroma parfum citrus miliknya seolah mencoba mengusir bau busuk kemiskinan dan penderitaan dari ruangan itu.
"Paman..." bisik Risa, suaranya parau dan pecah. Ia mencoba merangkak mendekat, mengulurkan tangannya yang terluka. "Paman, tolong... Doni... dia gila. Lihat jariku, Paman. Lihat punggungku. Bawa aku pergi dari sini, aku mohon..."
Paman Hari tidak bergerak. Ia tidak membungkuk untuk menolong keponakannya. Sebaliknya, ia mengeluarkan sapu tangan sutra dari sakunya dan menutup hidungnya dengan raut wajah jijik.
"Risa, Risa... lihatlah dirimu," suara Paman Hari terdengar dingin, tanpa ada sedikit pun jejak kasih sayang yang dulu sering ia tunjukkan saat Ayah Risa masih hidup. "Kau tampak seperti binatang yang tidak terurus. Kau tahu betapa memalukannya ini bagi nama keluarga Permata?"
Risa terpaku. Tangannya yang mengulur perlahan jatuh kembali ke lantai semen yang kotor. "Memalukan? Paman, dia menyiksaku! Dia membunuh Ayah! Dia merampas segalanya dan sekarang dia menghancurkan tubuhku! Kenapa Paman bicara soal malu?"
Paman Hari melangkah masuk ke dalam gudang, menutup pintu di belakangnya agar percakapan ini tidak didengar oleh penjaga di luar. Ia berdiri menjulang di atas Risa, menatapnya dengan pandangan merendahkan yang sangat menusuk.
"Jangan bawa-bawa namamu Ayahmu lagi. Baskoro sudah tenang di kuburannya, dan kau adalah alasan kenapa dia tidak bisa tenang," ujar Paman Hari dengan nada yang sangat kejam. "Dengar, Risa. Aku sudah bicara dengan Doni. Dia bercerita banyak hal padaku. Dia bilang kau adalah istri yang tidak berguna. Kau dingin di ranjang, kau selalu melawan, dan kau bahkan tidak bisa menyenangkan suamimu sendiri!"
"Apa?!" Risa terbelalak. "Paman percaya padanya?! Dia membawaku ke sini secara paksa! Dia membawa wanita lain ke ranjangku!"
"Tentu saja dia membawa wanita lain!" bentak Paman Hari, suaranya meninggi membuat Risa tersentak kaget. "Laki-laki mana yang betah dengan istri yang setiap hari hanya bisa menangis dan mengadu? Doni adalah pria muda yang penuh gairah, dia butuh pelayanan! Jika kau tidak becus melayaninya, jangan salahkan dia jika dia mencari kehangatan di tempat lain atau memukulmu karena kau menjengkelkan!"
Risa merasa jantungnya seperti diremas oleh tangan raksasa. Rasa sakit dari cambukan Doni tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kata-kata paman kandungnya sendiri. Pria yang dulu menggendongnya saat kecil, pria yang selalu membelikannya boneka setiap ulang tahun, kini berdiri di depannya dan menyalahkan dirinya atas KDRT yang ia terima.
"Jadi... Paman pikir ini salahku? Salahku karena aku dipukul? Salahku karena aku dihancurkan?" Risa tertawa, sebuah tawa getir yang terdengar seperti tangisan.
"Ini memang salahmu, Risa!" Paman Hari berlutut, mencengkeram rahang Risa dan memaksanya mendongak. Kekuatannya mungkin tidak sebesar Doni, tapi kebencian di matanya jauh lebih tajam. "Kau itu egois! Kau punya kesempatan untuk menjaga kekayaan keluarga kita dengan bersikap manis pada Doni. Jika kau patuh, Doni akan memberikan apa pun padamu. Tapi kau malah mencoba kabur, kau mencoba melawan! Kau merusak kesepakatan bisnis yang sudah kubangun susah payah dengan Pak Surya!"
"Bisnis?" desis Risa di sela cengkeraman pamannya. "Paman menjualku untuk bisnis?"
"Aku tidak menjualmu! Aku menempatkanmu di posisi yang paling menguntungkan!" Paman Hari melepaskan rahang Risa dengan dorongan kasar. "Tapi kau malah menjadi beban! Kau tahu? Pak Surya mengancam akan membatalkan pembagian hasil hutan jati jika kau terus-menerus membuat keributan. Kau menghalangi jalanku untuk menjadi orang terkaya di provinsi ini, Risa!"
Paman Hari berdiri kembali, ia merapikan jasnya yang sedikit kusut. Ia meludah ke lantai, tepat di depan wajah Risa.
"Jangan pernah berharap aku akan menolongmu. Di mataku, kau bukan lagi keponakanku. Kau hanyalah alat yang rusak. Dan jika alat itu tidak bisa diperbaiki, jangan salahkan pemiliknya jika dia ingin membuangnya ke tempat sampah," Paman Hari tersenyum dingin. "Doni bebas melakukan apa pun padamu. Aku sudah memberinya izin penuh. Bahkan jika dia ingin membunuhmu sekalipun, aku akan memastikan sertifikat kematianmu tertulis sebagai bunuh diri karena gangguan jiwa."
Risa menatap Paman Hari dengan tatapan kosong. Air matanya sudah kering. Di dalam dadanya, sesuatu yang lembut telah mati sepenuhnya, digantikan oleh sebongkah batu hitam yang sangat keras. Inilah puncak dari pengkhianatan. Darah tidak lagi berarti apa-apa. Keluarga hanyalah sekumpulan serigala yang menggunakan nama yang sama.
"Kenapa, Paman?" tanya Risa lirih. "Kenapa Paman begitu membenci Ayah?"
Langkah Paman Hari terhenti di depan pintu. Ia menoleh sedikit, wajahnya tampak penuh dengan rasa iri yang sudah dipendam selama puluhan tahun.
"Karena dia selalu menjadi yang pertama. Dia menjadi Kepala Desa, dia menjadi pemilik perusahaan, dia mendapatkan semua pujian. Sedangkan aku? Aku hanya dianggap sebagai 'adik Baskoro'. Aku bosan hidup di bawah bayang-bayang pria suci itu. Sekarang, setelah dia tidak ada, aku bisa memiliki dunianya. Dan kau... kau hanyalah kerikil kecil yang harus aku injak agar aku bisa sampai ke puncak."
Paman Hari keluar dari gudang dan membanting pintu besi itu dengan keras. Bunyi dentuman itu bergema di dalam kepala Risa, seolah menutup pintu harapannya selamanya.
Risa ditinggalkan kembali dalam kegelapan. Namun kali ini, ia tidak lagi menangis. Ia duduk bersandar pada dinding semen, matanya menatap tajam ke arah pintu.
Alat yang rusak? batin Risa. Kerikil kecil?
Ia melihat ujung jarinya yang hancur. Ia merasakan punggungnya yang berdenyut pedih. Setiap kata hinaan Paman Hari terukir di otaknya seperti tato yang tak akan pernah hilang. Ia menyadari satu hal yang sangat penting: Di dunia ini, tidak ada satu pun orang yang akan menolongnya. Tidak ada keajaiban. Tidak ada pahlawan.
Jika ia ingin selamat, ia harus menjadi iblis.
Namun, di kehidupan pertama ini, tubuhnya terlalu lemah. Luka-lukanya mulai mengalami infeksi. Demam mulai menyerang tubuhnya, membuat kesadarannya sering naik turun antara kenyataan dan halusinasi.
Beberapa jam kemudian, Tante Dina masuk. Ia tidak datang sendirian, ia membawa seember air es dan sebuah sikat cuci yang kasar.
"Pamanmu bilang kau butuh pembersihan mental," ujar Tante Dina dengan senyum jahatnya. "Doni mengeluh karena bau badanmu mengganggu penciumannya saat dia lewat di depan gudang. Ayo, berdiri! Aku akan memandikanmu agar kau ingat bagaimana rasanya menjadi manusia yang bersih!"
Tante Dina menyiramkan air es itu ke tubuh Risa. Risa menggigil hebat, namun ia tidak bersuara. Tante Dina kemudian mulai menggosok luka di punggung Risa menggunakan sikat cuci itu dengan sangat keras.
"AAAAAARGGHHH!" Risa memekik. Rasa sakitnya begitu luar biasa hingga ia merasa nyawanya akan tercabut. Luka yang baru saja mulai menutup dipaksa terbuka kembali oleh bulu-bulu sikat yang tajam.
"Diam! Ini untuk kebaikanmu!" Tante Dina terus menggosok, tidak peduli pada darah yang mulai mengalir bercampur air di lantai gudang. "Kau harus belajar menjadi istri yang bersih dan harum jika tidak ingin Doni terus-menerus mencari Melati!"
Siksaan itu berlangsung selama hampir satu jam. Setelah Tante Dina merasa puas melihat Risa yang sudah tidak berdaya dan gemetar di lantai, ia meninggalkan Risa begitu saja dalam keadaan basah kuyup di dalam gudang yang dingin.
"Nikmati waktumu, Tuan Putri," ejek Tante Dina sebelum mengunci pintu.
Malam harinya, demam Risa semakin parah. Ia mulai meracau, memanggil-manggil nama ayahnya. Di dalam halusinasinya, ia melihat ayahnya berdiri di sudut gudang, menatapnya dengan wajah penuh luka dan darah.
"Ayah... jemput Risa... Risa tidak kuat lagi..." bisik Risa dengan bibir yang membiru.
Namun bayangan ayahnya hanya diam. Seolah-olah ayahnya pun tidak berdaya untuk menembus batas antara hidup dan mati guna menolongnya.
Di lantai atas, suara tawa Paman Hari, Pak Surya, dan Doni terdengar semakin keras. Mereka sedang merayakan kontrak baru pengalihan lahan jati yang sudah sah secara hukum. Mereka minum-minum, menyanyi, dan bersenang-senang di atas penderitaan pewaris tunggal yang sedang sekarat di bawah tangga mereka.
Risa mencoba merayap menuju pintu, berharap ada setetes air yang tersisa untuk membasahi tenggorokannya yang seperti terbakar. Namun, ia tidak menemukan apa-apa. Ia hanya menemukan kegelapan dan kedinginan.
Ia menyadari bahwa kematian mungkin sedang mengetuk pintunya. Namun, ia belum ingin mati. Ia tidak ingin mati sebagai korban yang menyedihkan. Ia ingin mati setelah melihat rumah ini terbakar. Ia ingin mati setelah melihat Paman Hari memohon ampun padanya.
"Aku... aku tidak akan kalah..." rintih Risa, kuku-kukunya yang tersisa mencakar lantai semen hingga meninggalkan bekas.
Namun, kenyataan di kehidupan pertama ini sangatlah brutal. Tanpa bantuan medis, tanpa makanan, dan terus-menerus disiksa, tubuh Risa mulai menyerah. Infeksi di punggungnya mulai menyebar ke aliran darahnya.
Di tengah kesendiriannya, Risa mulai menyusun sebuah daftar di dalam pikirannya. Sebuah daftar kematian.
Doni Wijaya.
Paman Hari.
Tante Dina.
Pak Surya.
Melati.
Setiap nama ia ucapkan berulang-ulang seperti mantra. Ia tidak lagi memikirkan rasa sakitnya. Ia hanya memikirkan bagaimana cara menghancurkan mereka.
Tiba-tiba, Doni masuk ke dalam gudang dengan keadaan mabuk berat. Ia melihat Risa yang tergeletak lemah dan basah.
"Oh, lihatlah... pengantin kecilku sedang sekarat?" Doni tertawa, ia berlutut dan menarik rambut Risa agar menatapnya. "Jangan mati dulu, Risa. Besok adalah hari ulang tahun ayahku. Aku ingin kau menjadi 'hiburan' utama di depan tamu-tamu penting dari kota. Aku akan mengenakanmu gaun yang indah, lalu aku akan menunjukkan pada mereka betapa 'gila'-nya istriku ini sehingga dia harus dikurung."
Doni meludahi wajah Risa yang panas karena demam. "Siapkan dirimu. Jika kau tidak bisa berdiri besok, aku akan menyeretmu dengan rantai di lehermu melewati ruang tamu."
Doni pergi, meninggalkan Risa dalam keputusasaan yang semakin dalam. Esok hari dijanjikan akan menjadi penghinaan publik yang paling besar bagi Risa Permata. Putri kesayangan desa yang kini akan diarak seperti binatang gila di depan orang-orang yang dulu menghormati ayahnya.
Di dalam gudang yang sunyi, Risa memejamkan mata. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin melemah. Namun, kebencian di dalam jiwanya justru semakin menguat, membara, dan menjadi satu-satunya hal yang menjaganya agar tidak menyerah pada kegelapan malam itu.
Kalian semua... akan membayar setiap tetes darah ini...
Keesokan paginya, saat Risa sedang dipaksa oleh Tante Dina untuk memakai gaun merah menyala yang sangat kontras dengan wajah pucatnya, Risa melihat sesuatu di cermin. Di balik punggung Tante Dina, di celah pintu yang terbuka, ia melihat seorang pelayan lama ayahnya yang bernama Bi Nah.
Bi Nah menatap Risa dengan mata penuh air mata dan memberikan sebuah isyarat kecil—sebuah bungkusan kecil yang disembunyikan di balik kain pelnya. Risa menyadari bahwa mungkin, di tengah lautan pengkhianat ini, masih ada satu orang yang setia. Namun, apakah bungkusan itu adalah jalan keluar, atau justru jebakan lain yang disiapkan oleh Doni untuk menghancurkan harapannya yang terakhir?