Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: PANGGILAN TENGAH MALAM
#
Tengah malam di Pangalengan sunyi dengan cara yang berbeda dari Jakarta—bukan sunyi mati yang mencekam, tapi sunyi hidup dengan orkestra jangkrik dan angin yang menggoyangkan dedaunan teh. Elang terbaring di kasur tipis, mata menatap langit-langit kamar kecil yang sudah mulai ia kenal setiap retaknya. Ia tidak bisa tidur, seperti biasa. Malam selalu jadi waktu paling sulit—waktu ketika tembok pertahanan runtuh dan pikiran tentang Brian, Zara, dan masa lalu datang seperti gelombang yang tidak bisa ditahan.
HP jadul di meja kecil—HP lipat murah yang ia beli dengan uang pertama dari kerja di warung—bergetar tiba-tiba. Getaran itu terdengar keras di kesunyian, membuat jantung Elang langsung berpacu. Siapa yang menelepon jam segini? Bu Marni dan Anya sudah tidur. Ia tidak punya teman di sini. Tidak ada yang tahu nomor barunya kecuali—
Ia meraih HP dengan cepat. Layar kecil menampilkan nomor asing. Tidak ada nama. Tapi ada sesuatu tentang nomor itu—kode area Jakarta—yang membuat tangannya bergetar saat menekan tombol hijau.
"Halo?"
"Pak Elang?" Suara di seberang gemetar—perempuan, muda, familiar tapi diubah oleh ketakutan. "Ini Stella. Stella Febriani."
Dunia berhenti sedetik. Stella. Guardian angel yang mengiriminya surat di penjara, yang memberinya alamat Pangalengan, yang selama ini diam-diam mengumpulkan bukti sementara ia bersembunyi di pegunungan seperti pengecut.
"Stella," suara Elang keluar lebih kasar dari yang ia maksudkan, tercekik oleh emosi yang tiba-tiba meledak. "Lo... kamu kenapa? Kenapa telepon sekarang? Apa yang—"
"Pak, dengarkan saya." Suara Stella cepat, terengah, seperti orang yang berlari atau ketakutan—atau keduanya. "Saya dapet bukti. Bukti kuat. Rekaman rapat Brian dengan auditor palsu—Mr. Lim yang katanya dari SilverStone. Bukan investor beneran, Pak. Dia aktor. Dibayar Brian buat bikin skandal kelihatan internasional supaya lebih meyakinkan."
Kata-kata itu masuk seperti peluru—cepat, tajam, langsung mengenai sasaran. Elang bangkit dari kasur, tubuh tegang seperti pegas yang ditarik maksimal. "Kamu yakin? Kamu punya rekamannya?"
"Iya, Pak. Video, audio, email, transfer bank—semuanya. Saya rekam waktu mereka ketemu di café deket kantor. Mereka pikir aman karena di tempat umum, tapi saya pake kamera kecil di kacamata. Bodoh mereka, Pak. Terlalu percaya diri sampai ceroboh."
Ada kepuasan pahit dalam suara Stella—kepuasan orang yang akhirnya menemukan apa yang ia cari setelah lama mencari. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang lebih gelap: ketakutan.
"Tapi Pak..." Suaranya turun, gemetar semakin jelas. "Mereka tau. Entah gimana, mereka tau saya gerak. Kantor saya digeledah kemarin. Kata HR ada audit mendadak, tapi saya tau itu bukan audit biasa. Mereka cari sesuatu. Cari bukti kalau saya yang bocor info. Dan rumah saya..." Napasnya terputus sebentar. "Ada mobil hitam parkir di depan rumah kos sejak tiga hari lalu. Ganti shift tiap 12 jam. Mereka ngawasin saya, Pak."
Darah Elang membeku. Ia tahu dunia Brian—dunia yang juga pernah jadi dunianya—dunia di mana uang bisa membeli apapun, termasuk orang untuk mengintai, mengancam, atau bahkan... Ia tidak mau memikirkan kelanjutannya.
"Stella, dengarin gue," katanya dengan suara yang ia paksa untuk tetap tenang meskipun dadanya terasa seperti diremas. "Lo sekarang di mana?"
"Di rumah kos. Kamar saya. Pintunya saya kunci, tapi saya dengar ada yang jalan di koridor luar. Berkali-kali lewat depan pintu saya. Pak, saya takut. Saya—" Suaranya pecah sebentar, tertahan oleh isakan yang ia coba sembunyikan.
"Kamu nggak sendirian," Elang berkata tegas, otaknya mulai bekerja cepat—tiga tahun belajar dari Farrel tidak sia-sia, ia sudah belajar berpikir dalam situasi krisis. "Lo ada laptop? Flashdisk?"
"Ada. Semua file di laptop dan backup di tiga flashdisk berbeda."
"Bagus. Sekarang dengerin baik-baik." Elang berjalan ke jendela, menatap kegelapan Pangalengan yang tenang—kontras brutal dengan chaos yang terjadi di Jakarta. "Kirim semua file ke email terenkripsi. Jangan email biasa, bisa disadap. Pake ProtonMail atau yang enkripsi end-to-end. Kamu tau cara pake?"
"Iya, Pak. Saya udah bikin email khusus buat ini." Suara Stella sedikit lebih stabil sekarang, punya sesuatu konkret untuk dilakukan membuatnya fokus daripada panik. "Emailnya apa, Pak?"
Elang memberikan alamat email yang ia buat dengan susah payah di warnet kecil minggu lalu—persiapan untuk hari yang ia tidak tahu kapan datang, tapi tahu pasti akan datang. "Passwordnya: JATUHUNTUKBANGKIT. Huruf besar semua, nggak pake spasi."
Ada jeda. Suara ketikan cepat di seberang. "Saya kirim sekarang, Pak. Ukurannya besar, mungkin butuh sepuluh menit. Koneksi kos saya lemah soalnya."
"Nggak masalah. Kirim aja terus. Dan Stella..." Elang menarik napas dalam. Apa yang akan ia katakan sekarang adalah tanggung jawab besar—tanggung jawab untuk nyawa orang lain, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dengan kedalaman ini. "Begitu selesai kirim, lo kabur. Sekarang juga. Jangan tunggu pagi. Jangan tunggu aman. Sekarang."
"Kabur kemana, Pak? Jakarta mana-mana mata-mata Brian. Keluarga saya di Jogja, tapi kalau saya ke sana, saya bahayain mereka juga."
"Ke Bandung." Elang memberikan alamat warung Bu Marni dengan detail—nama jalan, patokan, nomor bangunan. "Tanya Bu Marni. Bilang Elang yang kirim. Anya, anaknya, bakal bantuin kamu. Lo bakal aman di sana. Mereka nggak bakalan nyari lo di desa kecil di Pangalengan."
"Pak, saya nggak bisa—"
"Lo bisa!" Elang memotong, suara lebih keras dari yang ia inginkan. Ia menarik napas, memaksa diri lebih lembut. "Stella, dengarin gue. Lo udah bertaruh nyawa buat bantuin gue—bantuin orang yang bahkan bukan siapa-siapa buat lo. Sekarang giliran gue. Gue janji akan lindungi kamu. Gue janji lo nggak akan kenapa-kenapa. Tapi lo harus percaya sama gue dan lo harus kabur sekarang."
Keheningan di seberang sana. Hanya suara napas Stella yang berat dan suara ketikan yang masih berlanjut—file masih dikirim. Elang bisa membayangkan gadis muda itu duduk di kamar kos sempit dengan laptop di pangkuan, jari-jari gemetar tapi tetap mengetik, telinga waspada pada setiap suara di luar pintu.
"Oke," akhirnya Stella berbisik. "Oke, Pak. File hampir selesai. Tinggal dua menit lagi. Setelah itu saya langsung—"
Suara keras di latar belakang. BANG! Seperti sesuatu menghantam pintu dengan keras.
"STELLA!" Elang berteriak ke HP, tidak peduli kalau suaranya membangunkan Bu Marni dan Anya di lantai bawah.
"Pak, mereka—mereka masuk!" Suara Stella panik total sekarang. Suara barang jatuh, kursi terseret. "File masih satu menit! Saya—"
BANG! BANG! Lebih keras. Suara kayu retak. Pintu tidak akan tahan lama.
"Stella, tinggalin laptopnya!" Elang berteriak, tangan mencengkeram HP begitu keras sampai buku-buku jari memutih. "Kabur lewat jendela! Apapun! Tinggalin semuanya!"
"Tidak, Pak!" Suara Stella keras—keras dengan determinasi yang membuatnya terdengar lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. "File ini satu-satunya bukti Bapak nggak bersalah! Saya nggak akan—"
KRAK! Suara pintu jebol. Suara teriakan—pria, lebih dari satu. "JANGAN GERAK!"
"STELLA!" Elang berteriak lagi, tapi suaranya hilang dalam chaos di seberang—suara orang berteriak, suara barang dilempar, suara Stella yang berteriak "JANGAN SENTUH SAYA! LEPAS—"
Klik.
Sambungan terputus.
"STELLA!" Elang menatap HP di tangannya yang tiba-tiba jadi benda paling menyebalkan di dunia. "STELLA, JAWAB!"
Ia tekan redial. Nada sambung. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima—
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."
Nada otomatis itu terdengar seperti hukuman mati.
Elang melempar HP ke kasur, tangan bergetar—bukan karena takut, tapi karena amarah yang begitu murni dan panas sampai rasanya bisa membakar seluruh dunia. Stella. Gadis yang tidak berutang apa-apa padanya. Gadis yang mempertaruhkan karirnya, keamanannya, mungkin nyawanya—untuk keadilan. Untuk orang asing yang dia tidak pernah benar-benar kenal.
Dan sekarang mereka punya dia.
Pintu kamar Elang terbuka tiba-tiba. Anya berdiri di sana dengan baju tidur dan kerudung yang dipakai tergesa, mata lebar penuh khawatir. "Akang? Aya naon? Saya dengar teriakan—"
"Ada yang dalam bahaya." Elang memotong, suaranya datar karena ia memaksa emosi turun, memaksa otak berpikir jernih. "Temen gue. Di Jakarta. Mereka... mereka tangkap dia."
"Tangkap?" Anya melangkah masuk, menutup pintu pelan. "Polisi?"
"Lebih buruk dari polisi." Elang duduk di pinggir kasur, kepala di tangan. "Orang-orang yang menghancurkan gue. Sekarang mereka dapat orang yang bantuin gue."
Anya duduk di sebelahnya—tidak terlalu dekat, memberi ruang, tapi cukup dekat untuk menunjukkan kehadiran. "Teh Stella?"
Elang mengangguk. Tenggorokannya terasa tersumbat. "Dia... dia kumpulin bukti buat gue. Bukti kalau gue nggak bersalah. Kalau mereka yang jahat. Dan sekarang karena itu, dia—" Ia tidak bisa menyelesaikan kalimat.
"File yang dia kirim, sampai nggak?"
Pertanyaan praktis itu membuat Elang tersadar. File! Stella bilang tinggal satu menit lagi. Kalau dia berhasil mengirim sebelum mereka masuk—
Ia melompat dari kasur, meraih HP lagi. Tidak ada sinyal cukup kuat di kamar untuk buka email. "Gue harus ke warnet. Sekarang."
"Warnet tutup, Akang. Jam segini mah pada sare." Anya berpikir cepat. "Tapi Pak Ustad punya WiFi di rumah. Beliau tetangga sebelah masjid. Kita bisa kesana, bilang darurat."
Mereka berlari—Elang dengan HP di tangan, Anya memandu lewat jalan setapak gelap yang hanya diterangi bulan sabit tipis. Udara dingin menusuk paru-paru tapi Elang tidak merasakan apa-apa selain urgency yang membakar.
Rumah Pak Ustad kecil tapi terawat. Anya mengetuk pintu berkali-kali sampai lampu menyala. Pintu terbuka, menampilkan pria paruh baya dengan sorban dan wajah mengantuk yang langsung berubah khawatir melihat mereka.
"Anya? Aya naon?"
"Pak Ustad, punten ngaganggu. Darurat pisan. Akang butuh pinjam WiFi sebentar. Penting teuing."
Pak Ustad melihat wajah Elang—wajah yang pasti terlihat putih dan panik—dan langsung mengangguk. "Mangga, asup. Password WiFi-na di dinding."
Elang membuka email dengan tangan gemetar. Sinyal lambat—ini desa, bukan kota dengan 4G super cepat. Loading. Loading. Loading—
Inbox terbuka. Pesan paling atas: dari ProtonEncrypt_774@protonmail.com. Subject: KEBENARAN.
Dikirim 47 menit lalu.
Stella berhasil. Dia berhasil mengirim sebelum mereka menyeretnya entah kemana.
Elang membuka email dengan napas tertahan. Di dalamnya, puluhan file attachment: video MP4, audio M4A, dokumen PDF, screenshot JPG. Dan satu pesan singkat:
*Pak Elang, ini semua yang saya punya. Semua yang saya kumpulkan tiga tahun. Kalau Bapak baca ini, berarti saya berhasil kirim. Kalau saya kenapa-kenapa... tolong jangan sia-siakan ini. Tolong buktikan Bapak tidak bersalah. Bukan buat Bapak, tapi buat keadilan. Supaya orang-orang jahat tidak menang terus. —S*
Tangan Elang bergetar memegang HP. Air panas mengalir di pipi—ia tidak tahu kapan mulai menangis, tapi sekarang tidak bisa berhenti. Bukan tangisan keras, hanya air yang mengalir deras dan diam, mengaburkan layar HP di tangannya.
"Akang..." Anya menyentuh bahunya pelan.
"Dia... dia korbanin dirinya buat gue," Elang berbisik serak. "Gue nggak minta dia lakuin ini. Gue nggak—"
"Tapi dia milih, Akang." Suara Anya lembut tapi tegas. "Sama kayak Akang milih kabur kesini buat persiapan balik. Dia milih bertarung dengan caranya. Dan dia percaya Akang bakal terusin perjuangan itu."
Elang menatap file-file di layar. Darah pertama dalam perangnya baru saja ditumpahkan—tapi bukan darahnya. Darah orang yang percaya padanya. Orang yang tidak seharusnya terluka karena perangnya.
Dan sekarang, tidak ada jalan mundur lagi. Tidak ada pilihan untuk terus bersembunyi di Pangalengan, pura-pura damai, pura-pura baik-baik saja.
Stella memberinya senjata. Sekarang ia harus memutuskan: akan ia pakai senjata itu untuk apa?
Untuk dendam yang menghancurkan? Atau untuk keadilan yang memulihkan?
Ia belum tahu jawabannya. Tapi satu hal ia tahu pasti:
Perang sudah dimulai. Dan Elang Alghifari—pria yang pernah jadi CEO, yang jatuh jadi narapidana, yang sekarang mencoba jadi manusia lagi—harus memilih siapa dia mau jadi ketika asap perang ini sirna.
Monster? Atau pahlawan?
Atau mungkin, sesuatu di antaranya—sesuatu yang dunia ini belum punya nama.
---
**[Bersambung ke Bab 8]**