Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Tidak Butuh Pelayan Arogan.
Bab 12. Tidak Butuh Pelayan Arogan.
Penonton berteriak histeris. Beberapa orang tersungkur. Yang lain berlutut dalam ketakutan primitif terhadap kekuatan yang melebihi pemahaman mereka.
Amelia merasakan kepalanya berputar. Sistem sihirnya memberikan analisis yang mustahil:
[ANALISIS: TIDAK ADA JEJAK MANA DALAM SERANGAN]
[ANALISIS: KEKUATAN FISIK MELEBIHI BATAS PENGUKURAN]
[ANALISIS: LAWAN TIDAK MENGGUNAKAN SIHIR YANG DIKENAL]
[KESIMPULAN: TIDAK DAPAT DIHITUNG]
"Tidak mungkin..." bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Tidak ada yang bisa menghancurkan sihir tingkat Archmage dengan kekuatan fisik... Kecuali..."
Matanya membulat dengan pemahaman yang mengerikan. Dalam sejarah kuno, pernah ada legenda tentang makhluk-makhluk yang berada di luar sistem sihir: mereka adalah entitas yang eksistensinya sendiri merupakan anomali dalam hukum alam.
Dengan putus asa yang hampir gila, dia merapal mantra sihir tertinggi yang dikuasainya:
"Cahaya Langit yang Membakar Jiwa, Panah Ilahi yang Menembus Kegelapan, Hancurkan Segala Kejahatan dengan Murka Tuhan.. LUX SANCTUM MAXIMUM!"
Tiga belas panah cahaya keemasan muncul di langit dalam bentuk lingkaran, masing-masing sepanjang lima meter dan berdiameter satu meter. Setiap panah terbuat dari mana murni yang dimurnikan dengan doa dan ritual selama bertahun-tahun.
Panah-panah itu meluncur dengan kecepatan cahaya, meninggalkan jejak emas yang mendistorsi udara. Kekuatan yang terkandung dalam setiap panah cukup untuk menghancurkan benteng batu.
Namun pada saat yang sama...
[KEBETULAN AJAIB AKTIF!]
Sistem Yang Mustahil milik Jeno Urias bereaksi dengan sendirinya, memanipulasi probabilitas dengan cara yang melebihi pemahaman realitas.
Kilat muncul dari langit yang cerah, seperti sebuah anomali meteorologi yang MUSTAHIL. Petir sebesar pohon oak menyambar salah satu tiang penyangga arena dengan presisi yang supernatural.
KREEEEK! BRAAAK!
Tiang raksasa yang terbuat dari batu enchanted itu runtuh dengan perhitungan yang sempurna, dan sepersekian detik menimpa tepat di samping Amelia berdiri, dan menyerempet bahunya.
BUZZH... BOOM BOOM!
Panah-panah cahaya kehilangan target dan berhamburan ke segala arah. Tiga panah mengenai tribun kosong, menciptakan ledakan yang menggetarkan seluruh arena. Empat panah mengenai tanah, membuat kawah dengan diameter sepuluh meter. Sisanya menghilang di udara dalam ledakan cahaya yang membutakan.
BOOOOM! BOOOOM! BOOOOM!
Dentuman beruntun menggetarkan udara. Asap putih mengepul dari berbagai titik ledakan. Debu dan puing-puing beterbangan seperti hujan batu.
Seketika penonton berteriak panik. Beberapa yang lemah jantung langsung pingsan. Yang lain berlarian mencari perlindungan.
Justus berdiri dari tempat duduknya dengan mata yang tidak percaya. Tangannya yang memegang gelas anggur bergetar hebat. "A-apa yang baru saja... apa ini kebetulan?"
Dari balik asap yang mengepul, terdengar suara Jeno yang tenang seperti seseorang yang sedang berkomentar tentang cuaca: "Aku tidak memukulmu, lho. Tiang itu jatuh sendiri... mungkin menyukaimu."
Nada suaranya begitu santai, seolah ledakan yang baru saja terjadi adalah hal yang biasa-biasa saja dalam hidupnya.
Ketika asap perlahan menghilang, terlihatlah pemandangan yang mencengangkan:
Amelia Silverleaf tergeletak di tanah dengan jubah biru gelapnya robek dan kotor. Lukanya tidak fatal, hanya goresan di pundak dan memar di beberapa bagian tubuh. Namun kebanggaannya sebagai Penyihir Agung seketika hancur lebur.
Ia berusaha bangkit dengan tremor yang mengguncang seluruh tubuhnya. Matanya menatap Jeno dengan campuran kebencian, ketakutan, dan yang paling mengerikan adalah rasa penasaran yang obsesif.
"Gila..." gumamnya dengan suara yang hampir histeria. "Apa yang baru saja terjadi... Aku... bagaimana bisa tiang itu jatuh dengan presisi yang sempurna... Ini bukan kebetulan... Ini manipulasi realitas..."
Suara Justus menggema di seluruh arena dengan amplifikasi sihir: "Duel berakhir! Pemenangnya... Jeno Urias!"
Kerumunan diam sejenak dalam keheningan yang mencekam. Kemudian, seperti bendungan yang jebol, mereka meledak dalam sorak sorai yang campur aduk dengan kebingungan dan ketakutan.
Sebagian berteriak kegirangan: "Jeno! Jeno! Jeno!"
Sebagian lain bergumam ketakutan: "Dia bukan manusia... Dia monster..."
"Hei, aku manusia super," gumam Jeno yang tidak didengar oleh siapapun.
Beberapa petualang veteran menjatuhkan rahang mereka sampai hampir menyentuh tanah. Mereka telah menyaksikan ribuan pertempuran, namun tidak pernah melihat sesuatu yang menantang hukum alam itu sendiri.
Rinka hampir menangis karena lega yang membanjiri jiwanya. Teman-temannya bersorak sambil memeluk satu sama lain, meskipun ada ketakutan yang tersembunyi dalam mata mereka.
Justus sendiri bertepuk tangan dengan gerakan yang kaku, sambil berkata dalam hati: "Pemuda ini... dia bukan manusia biasa. Bahkan mungkin bukan manusia sama sekali."
"Sudah kubilang, aku manusia super," sahut Jeno, tapi sayangnya tidak ada yang mendengar karena suara gemuruh komentar penonton.
Amelia masih tergeletak di tanah, tubuhnya bergetar tidak terkendali. Sistem sihirnya memberikan laporan yang membuat darahnya membeku:
[ANALISIS FINAL: LAWAN MENGGUNAKAN KEKUATAN DI LUAR SISTEM SIHIR YANG DIKENAL]
[KEMUNGKINAN: ENTITAS MULTIDIMENSIONAL ATAU AVATAR DEWA]
[REKOMENDASI: JANGAN MELAWAN DALAM KONDISI APAPUN]
Jeno mendekat dengan langkah yang santai, seolah tidak ada yang terjadi. Ia jongkok di samping Amelia, menatapnya dari jarak yang sangat dekat dengan mata yang tampak bosan, namun mengandung kedalaman yang tak terbatas.
"Kau kalah," katanya dengan suara yang lembut namun final. "Sesuai kesepakatan, kau harus menjadi pelayanku sekarang. Betapa senangnya punya pelayan cantik."
Kalimat sederhana itu menghantam Amelia lebih keras dari serangan fisik apapun. Menjadi pelayan berarti penghinaan terhadap harga diri, kehormatan keluarga, dan seluruh Kerajaan Lumina yang diwakilinya.
Tubuhnya gemetaran dengan kemarahan yang hampir membuatnya gila. Dengan usaha yang luar biasa, ia berhasil berdiri meski tungkai-tungkainya hampir tidak sanggup menopang tubuh.
"TIDAK!" teriaknya dengan suara yang memecah keheningan arena. "Kau curang! Kau menggunakan kekuatan yang tidak fair! Ini bukan duel yang adil!"
Mata violetnya berkilat dengan kebencian yang murni. "Aku Amelia Silverleaf, Penyihir Agung Kerajaan Lumina! Aku tidak akan menjadi pelayan siapapun, apalagi monster sepertimu!"
Jeno menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada sesuatu dalam matanya: bukan kemarahan, bukan kesombongan, tapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih mengerikan.
Kesabaran yang tak terbatas dari makhluk yang telah melihat kelahiran dan kematian peradaban.
"Curang?" katanya dengan suara yang hampir berbisik, namun terdengar jelas oleh setiap orang di arena. "Aku bahkan tidak menyentuhmu. Tiang itu jatuh sendiri.... kau dicintai tiang."
Ia berdiri perlahan, dan seketika tekanan aura di arena bertambah berlipat ganda. Beberapa penonton yang masih sadar langsung berlutut tanpa sadar. Sedangkan Amelia, mengumpat berkali-kali di hatinya.
"Tapi jika kau ingin melihat kekuatan yang sesungguhnya...," ucap Jeno dan sengaja berhenti berbicara sejenak untuk memberikan tekanan psikologis.
Mata Jeno berubah. Pupilnya seolah menjadi jendela ke dimensi lain, seperti kekosongan yang mengandung semua kemungkinan sekaligus tidak ada sama sekali. "...aku bisa menunjukkannya."
Atmosfer arena berubah menjadi mencekam. Setiap orang merasakan bahwa mereka sedang berdiri di tepi jurang yang sangat dalam, seperti jurang yang menuju ke kegelapan yang tak dapat dijelaskan.
Amelia merasakan lutut-lututnya bergetar. Sistem sihirnya berteriak dengan alarm yang memekakkan telinga:
[PERINGATAN EKSTRIM: LEVEL ANCAMAN MELAMPAUI BATAS PENGUKURAN]
[REKOMENDASI: MUNDUR SEKARANG JUGA]
[PERINGATAN: KELANGSUNGAN HIDUP TERANCAM. KECUALI ANDA BODOH]
Namun kebanggaannya sebagai Penyihir Agung, sebagai perwakilan Kerajaan Lumina, sebagai salah satu ras High Elf terkuat di Atherion, tidak mengizinkannya untuk mundur. Namun, peringatan terakhir dari sistemnya membuatnya frustasi: baru kali ini ia dibilang bodoh oleh sistemnya sendiri.
"Aku..." suaranya bergetar, namun ada tekad yang keras di dalamnya. "Aku tidak akan mundur. Meskipun kau adalah monster, iblis, atau apapun yang kau... aku tetap Amelia Silverleaf yang tidak bodoh!"
Jeno menatapnya dengan sesuatu yang mungkin bisa disebut rasa hormat. "Kebanggaan yang bodoh," katanya perlahan. "Tapi aku menghargai keberanian yang bodoh lebih dari kebijaksanaan yang pengecut."
Ia membalikkan badan, seolah pertarungan sudah berakhir. "Kau boleh pergi. Aku tidak butuh pelayan yang melawan."
Namun kata-kata itu justru menusuk harga diri Amelia lebih dalam dari apapun. Dia tidak diperlakukan sebagai ancaman, tidak diperlakukan sebagai musuh yang layak... dikasihani.
"JANGAN BERPALING DARIKU!" teriaknya dengan putus asa yang memilukan. "AKU BUKAN SESUATU YANG BISA KAU ABAIKAN BEGITU SAJA!"
Suaranya bergema di arena, penuh dengan keputusasaan seorang yang telah kehilangan segalanya: kekuatan, harga diri, dan identitas sebagai High Elf terkuat, runtuh di hadapan bocah itu.
Situ Sehat ??!