Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Matahari menembus tirai tipis kamar pengantin, menghadirkan cahaya keemasan yang lembut. Helena membuka mata dengan kepala berat, ia tak sadar kapan akhirnya tertidur. Gaun tidurnya kusut, rambutnya terurai berantakan.
Sesaat ia menatap sekeliling kamar yang mewah itu. Indah, memang, tetapi terasa dingin dan asing. Setiap sudut ruangan seolah berbisik: ini bukan untukmu.
Ia turun dari ranjang, berjalan pelan ke meja rias. Sisa lelah semalam masih terlihat samar di wajahnya. Dengan cepat ia merapikan diri, mencoba terlihat layak sebagai seorang “Nyonya Kaelith.”
Ketika turun ke ruang makan, aroma roti panggang dan kopi menyambutnya. Meja panjang dari kayu mahoni sudah tertata sempurna: roti, selai, buah segar, omelet, hingga jus jeruk yang dingin. Namun hanya satu kursi yang terisi.
Helena duduk, pelayan menuangkan kopi ke cangkirnya. Ia mengangkat wajah, seolah berharap Lucian akan segera muncul. Tapi kursi di seberangnya tetap kosong.
“Di mana Tuan Lucian?” tanyanya pelan, hampir ragu.
Salah satu pelayan menunduk hormat. “Tuan sudah pergi sejak subuh, Nyonya. Beliau memiliki urusan mendesak di perusahaan.”
Helena terdiam, menatap kursi kosong itu. Hatinya perih, meski ia sudah menduga sejak awal. Rumah megah ini bukan tempat untuk cinta, melainkan kontrak diam-diam antara dua keluarga.
Pelayan berdiri di belakangnya, menjaga sikap profesional. Helena memotong roti kecil-kecil, tapi hampir tak bisa menelannya. Rasa sesak membuat sarapan itu hambar.
Ia menatap jendela besar di ruang makan. Dari situ terlihat taman hijau dengan mawar putih bermekaran, taman yang seharusnya menjadi pemandangan pagi Amara, bukan dirinya.
Helena menunduk. Dalam hening itu, ia kembali teringat pada kertas misterius semalam, juga pada akun Amara yang tiba-tiba aktif hanya sesaat. Semua itu semakin menambah rasa asing yang membekapnya di rumah yang indah tapi terasa bagai penjara emas.
Setelah sarapan Helena keluar dari rumah dengan langkah pelan. Gaun pengantin semalam sudah diganti dengan pakaian kasual sederhana, tas kampus tergantung di bahunya. Meskipun tubuhnya bebas bergerak, rasa berat di dada tetap tak hilang.
Di taman kampus, dua sahabatnya sudah menunggunya: seorang perempuan bernama Alina, yang ceria dan selalu bisa membaca suasana hati Helena, dan seorang laki-laki bernama Darren, cerdas, sedikit sarkastik, tapi setia sebagai teman.
“Helena! Akhirnya kau datang,” seru Alina sambil melambaikan tangan. “Kau hampir terlambat untuk mengerjakan tugas kelompok kita.”
Darren menyodorkan beberapa dokumen, memeriksa catatan di tablet. “Kita sudah mulai, tapi jangan khawatir. Kau masih bisa mengejar.” Matanya sempat menatap Helena dengan penasaran, seolah menilai sesuatu di wajahnya.
Helena tersenyum tipis, mencoba menyingkirkan rasa sesak yang menggelayuti dadanya. “Maaf… aku baru saja ada urusan keluarga. Kalian tahu sendiri, situasinya… rumit.”
Alina mengangguk, tampak prihatin tapi tak menanyakan lebih jauh. “Kita bisa mulai dari sini. Duduk, Helena. Kita butuh input darimu untuk bagian analisis.”
Helena duduk, membuka tasnya, meletakkan dokumen dan buku catatan. Pikiran tentang Amara dan pesan misterius itu masih menempel di kepalanya, tapi ia tahu ia harus fokus. Tugas kampus ini adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa normal lagi, seolah kehidupan lamanya belum sepenuhnya hilang.
Darren memulai pembahasan dengan serius, sementara Alina mengatur catatan dan Helena mencoba menyesuaikan diri. Namun matanya sesekali melirik jam, sadar betapa cepatnya waktu berjalan, dan bahwa ia masih harus kembali ke “rumah” yang bukan benar-benar miliknya.
Di tengah tawa dan diskusi kelompok, Helena merasa seperti dua dunia bersinggungan: satu dunia yang normal, penuh teman dan kuliah; dan satu dunia yang baru dan berat, di mana ia dipaksa menjadi pengantin pengganti di usia muda.
"Oke, sekarang aku lapar teman-teman. Jadi ayo ke kantin!" Ajak Alina menutup bukunya dengan tergesa-gesa, sudah tidak sabar untuk mengisi perutnya yang berbunyi sedari tadi.
"Alina memang selalu lapar dimanapun dan kapanpun," ledek Darren membereskan barang-barangnya santai, tidak tergesa seperti Alina.
Helena hanya tersenyum tipis, menikmati momen bersama sahabatnya.
Helena, Alina, dan Darren meninggalkan taman menuju kantin kampus. Aroma makanan segar dan ramainya mahasiswa lain membuat suasana sedikit lebih ringan. Helena mencoba tersenyum, mengikuti percakapan kedua temannya.
Alina menatap Helena sambil menggigit roti lapisnya. “Jadi, Helena… kau terlihat berbeda hari ini. Apa kau baik-baik saja?”
Helena cepat tersenyum, mencoba menutupi kegelisahannya. “Aku baik, cuma sedikit capek aja. Malam tadi banyak hal yang harus diselesaikan.”
Darren menatapnya dengan alis terangkat. “Capek? Kau terlihat seperti… hmm, ada yang mengganggu pikiranmu, ya?”
Helena menelan ludah, menunduk sebentar sebelum mengangkat wajahnya lagi. “Tidak, serius. Hanya banyak tugas dan… ya, cuma capek.”
Alina menaruh sendoknya, menatap Helena lebih tajam. “Helena, kau tahu kita bisa melihat kalau kau pura-pura, kan? Kau bisa cerita sama kami.”
Helena tersenyum tipis, mencoba terdengar meyakinkan. “Aku menghargai itu, Alina. Tapi… ini hanya masalah keluarga. Aku janji akan baik-baik saja.”
Darren mengangguk perlahan, matanya tetap menatap Helena. “Kalau kau bilang begitu, kita percaya. Tapi kalau kau butuh teman, jangan ragu, oke?”
Helena hanya bisa tersenyum lagi, tetapi di dalam hatinya, rasa sesak dan pertanyaan tentang Amara tidak berkurang. Ia sadar, meskipun bercanda dan tertawa dengan teman-temannya, ada dunia lain yang menunggu, dunia di rumah pernikahannya, pesan misterius, dan rahasia hilangnya Amara.
"Ekhm... Ngomong-ngomong gimana malam pertamamu?" Tanya Alina dengan suara rendah. Alina tidak datang ke pernikahan itu karena ia pikir setelah Amara menghilang pernikahan akan dibatalkan. Alina cukup kaget melihat berita bahwa sahabatnya yang menikah menggantikan kakaknya.
Darren juga sama. Helena juga terlalu kalut dan terdesak sehingga tak sempat mengabarkan kedua sahabatnya.
Helena mengunyah lambat makanan di mulutnya, menelan dengan susah payah lalu menjawab. "Apa yang kau pikirkan, Alina? Pernikahan itu bukan untukku... Ya, cukup buruk."
"Sudah kuduga. Lucian pasti tidak bisa menerimanya," Alina menatap sahabatnya prihatin. Sedikit banyak ia juga tahu tentang Lucian, tunangan Amara, pria itu di tahun pertama perkuliahan mereka adalah kakak tingkat akhir di kampus ini.
"Kalau kau tidak sanggup ajukan saja perceraian, aku siap menjadi temanmu ke pengadilan." Kelakar Darren yang langsung mendapat cubitan keras dari Alina.
Helena hanya tersenyum tidak mengatakan apa-apa.
"Hei, Darren, kau membuat Helena sedih,"
"Aku hanya memberi pendapat,"
"Pendapatmu tidak berguna sama sakali."
Helena tertawa kecil melihat pertengkaran mereka. Makan siang itu berakhir dengan tawa ringan dari ketiganya, tapi tatapan Alina dan Darren yang penuh perhatian membuat Helena merasa lebih baik.
Setelah makan siang dan mengerjakan tugas, Darren menawarkan diri mengantar Helena kembali ke rumah. Helena awalnya ragu, tapi karena cukup jauh dan ia takut pulang sendiri, akhirnya setuju.
Di sepanjang perjalanan, mereka bercakap-cakap ringan. Darren berusaha membuat Helena tertawa, membicarakan tugas kuliah dan gosip kampus. Helena tersenyum sesekali, tapi pikirannya tetap melayang ke pesan misterius tentang Amara.
Setelah Darren mengantarnya sampai di depan pintu rumah, Helena mengucapkan terima kasih dan tersenyum sopan. “Terima kasih sudah mengantarku, Darren.”
Darren tersenyum hangat, namun matanya menatap Helena dengan sedikit khawatir. “Hati-hati di dalam, Helena. Aku hanya ingin kau aman.”
Helena mengangguk dan menunggu Darren pergi. Begitu mobilnya hilang dari pandangan, pintu rumah terbuka, dan Lucian muncul di ruang tamu, wajahnya tampak serius.
“Masuk ke sini,” kata Lucian tegas, menunjuk kursi. Helena masuk, menutup pintu di belakangnya, dan berdiri canggung di tengah ruang tamu yang mewah namun terasa dingin.
Lucian menatapnya tajam. “Aku dengar kau diantar pulang oleh pria lain?” Suaranya rendah, tapi setiap kata dipenuhi amarah yang sulit ditutupi.
Helena tergagap, mencoba menjelaskan. “Lucian… itu hanya Darren. Dia hanya menemaniku sampai pintu rumah. Tidak ada maksud lain.”
Lucian mengerutkan alisnya. “Itu bukan soal maksud, Helena. Kau seorang wanita yang sudah menikah. Kau seharusnya menjaga kehormatanmu, bukan menempatkan dirimu dalam situasi seperti ini!”
Helena menunduk, tubuhnya gemetar. “Aku… aku hanya merasa tidak aman pulang sendiri…”
Lucian mendesah, frustrasi. “Kau masih muda, tapi kau harus mengerti konsekuensinya. Tidak ada toleransi dalam hal kehormatan keluarga. Malam ini kau diingatkan: jangan pernah mengulanginya lagi.”
Helena menelan ludah, merasa malu dan takut. Sunyi menekan seisi ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lucian memalingkan wajahnya sejenak, mengambil alih kendali emosi sebelum akhirnya meninggalkan Helena sendiri di ruang tamu, menatap kosong ke jendela.
Helena berdiri diam, memeluk tubuhnya sendiri. Di balik kemewahan rumah itu, ia merasa terkurung, antara kewajiban sebagai pengantin pengganti dan kehidupan normal yang masih ia rindukan.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...