Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Paham
Hari Sabtu sore, Devanka menjemput Syama di rumahnya dengan mengenakan kemeja biru muda dan celana chino hitam. Penampilannya rapi tapi tidak terlalu formal.
"Siap?" tanya Devanka sambil tersenyum ketika Syama keluar dari rumah dengan dress midi cream, rambutnya yang panjang sepinggang dibiarkan tergerai bergelombang natural.
"Siap, Mas," jawab Syama sambil naik ke mobil sambil merapikan rambutnya. "Penampilanku gak berlebihan kan, Mas?"
"Cantik, gak ada yang kurang. Kalau lebihnya aku makin cinta."
Syama cepat-cepat menunduk, pipinya merona. "Apaan sih?"
"Emang beneran calon istri Mas ini emang cantik banget." Devanka mengulurkan tangannya, membelai lembut rambut Syama.
"Mama dari kemarin cerewet, nanyain kamu jadi datang atau enggak. Mama udah nyiapin kue sus buat kamu."
Syama tersenyum. Ada rasa haru mengingat perhatian Sinta, Mama Devanka terhadapnya. Bahkan walaupun Syama baru beberapa kali bertemu, Sinta selalu menyambutnya dengan hangat.
Perjalanan menuju rumah orang tua Devanka memakan waktu sekitar 45 menit. Rumahnya berada di kompleks elite daerah Surabaya, halaman yang luas dan arsitektur modern.
Di sana Syama langsung disambut hangat Sinta, Ibu Devanka. "Syama sayang!" sapa Sinta dari teras dengan antusias.
Wanita berusia 59 tahun itu mengenakan gaun elegan berwarna krem dengan rambut yang disanggul rapi. Syama langsung memeluk Sinta hangat. "Selamat ulang tahun, Ma. Semoga sehat selalu. Maaf aku belum sempat beli kado, Mas Devan mengabarinya mendadak."
"Gak apa-apa. Emang acaranya dadakan. Rencananya mau acara di Jakarta, tapi ternyata Devan lagi sibuk gak bisa ke Jakarta. Diandra sama Dena lagi sibuk juga. Jadi pulang kampung ajalah,"
"Ayo masuk. Mama udah bikinin kue sus kesukaan kamu." Sinta melingkarkan tangannya di lengan Syama, mengajaknya masuk ke rumah yang sudah ramai dengan tamu.
Ruang tamu sudah ramai oleh saudara dan teman dari orang tua Devanka.
"Dev, Syama, sini!" panggil Rama, Papa Devanka dari ruang tengah.
"Syama, apa kabar?"
"Baik. Om apa kabar?"
"Baik... Baik. Kamu udah mau lulus kan?"
Masih semester 6, Om. Insyaallah tahun depan lulus," jawab Syama sambil duduk di sofa, rambutnya jatuh cantik di bahu.
"Bagus. Nanti habis lulus mau kerja atau lanjut S2?" tanya Rama.
"Rencana mau kerja dulu, Om. Bantu keluarga juga."
Mama Devanka yang mendengar percakapan itu langsung duduk di samping Syama. "Oh iya... Gimana Ibu? Sudah lebih baik? Maaf Mama belum sempat menengok."
Syama tersenyum hangat mendengar Sinta menanyakan kondisi ibunya. "Alhamdulillah lebih baik, Ma. Ibu Bapak juga titip salam."
"Nanti sampaikan salam balik buat Ibu Bapakmu ya," jawab Dewi ramah.
Acara berlangsung hangat dengan menu makan malam yang lezat. Syama sudah lumayan terbiasa dengan suasana keluarga Devanka, berbeda dengan kunjungan pertama dulu yang masih canggung.
Begitu acara usai dan tamu mulai berangsur pulang, Devanka mengajak Syama ke taman belakang rumah. Mereka duduk di bangku kayu di bawah lampu taman yang temaram.
“Mama selalu baik sama aku. Aku merasa beruntung,” ucap Syama lirih, menatap hamparan bunga di taman.
"Sayang," panggil Devanka dengan nada serius. "Empat hari lalu, Bapak ngobrol sama aku tentang rencana kita."
Syama menoleh menatap Devanka, rambutnya yang panjang bergeser ke satu sisi. "Rencana apa?"
"Ya, Bapak ingin kita segera menikah, apalagi kondisi Ibu sekarang. Mereka ingin melihat bahagia sebelum... keadaan makin sulit. Menurutmu gimana?"
Syama menarik napas dalam, lalu menunduk. "Aku tahu, Mas. Bapak juga ngomong sama aku, tapi aku… belum siap."
Devanka meremas jemarinya, menatapnya tajam. "Belum siap kenapa? Kamu nggak percaya sama aku?"
Syama menggeleng cepat. "Bukan gitu. Aku percaya sama Mas. Yang aku nggak percaya itu… diriku sendiri."
“Apa yang bikin kamu ragu?” desak Devanka, nada suaranya meninggi.
“Aku belum lulus kuliah, masih pengin kejar karier aku, Mas. Aku takut setelah nikah nanti aku jadi beban buat kamu.”
Devanka menggenggam tangan Syama, menghentikan gerakannya yang gelisah dengan rambut. “Sayang, setelah menikah nanti, kamu masih boleh mengejar kariermu. Aku bakal mendukung semua impianmu. Dan kamu bukan beban, kamu memang akan jadi tanggung jawabku sepenuhnya.”
“Tapi, Mas…”
“Begini, sayang.” Devanka memutar tubuhnya menghadap Syama. “Aku sempat menceritakan soal keinginan Bapak sama Papa. Papa malah ingin kita menikah bulan depan.”
“Bulan depan?” mata Syama membulat.
"Iya. Tapi jangan terlalu dipikirkan, itu cuma celetukan Papa saja," kata Devanka sambil mengusap pipi Syama lembut.
“Mas, kalau ngomong doang, emang gampang! Tapi hidup setelah menikah itu nggak sesederhana kata-kata!” Suara Syama ikut meninggi. Ia menatap Devanka dengan mata berkaca-kaca.
Merasa kaget atas respons Syama, Devanka mencoba menjelaskan lebih detail maksudnya. Tapi Syama sudah terlalap emosi, dia berdiri hendak pergi, tapi Devanka menahan lengannya meminta Syama untuk kembali duduk. Tak ingin memperpanjang masalah, Syama menuruti Devanka.
"Kenapa kamu selalu semarah ini kalau kita membahas soal pernikahan?"
"Kan aku bilang, aku masih belum siap, Mas." Nada suara Syama melunak, berharap Devanka bisa mengerti.
"Baiklah... semua terserah sama kamu. Mas ikuti maunya kamu aja," ucap Devanka terdengar lelah. Ia sudah malas berkonfrontasi.
Di keheningan yang menegangkan melingkupi mereka, hanya angin malam yang berembus pelan menerpa wajah keduanya. Terdengar langkah ringan dari dalam rumah. Sinta datang sambil membawa nampan berisi camilan. Ia berhenti sejenak, mendengar potongan kalimat terakhir Syama.
"Mas... aku nggak keberatan soal pernikahan ini. Cuma aku takut waktunya terlalu cepat kalau bulan depan, bukan karena aku nggak mau menikah,” suara Syama bergetar.
Ekspresi Sinta langsung berbinar, ia salah menafsirkan. Ingin segera ikut merencanakan rencana pernikahan putranya, ia berdeham pelan lalu mendekat.
“Eh, kalian berdua di sini toh.” Suaranya hangat, tak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi. “Mama bawain kue sus sama teh hangat."
Devanka dan Syama sedikit terkejut, dan langsung tersenyum kaku. Mencoba terlihat biasa saja di hadapan Sinta.
"Maaf ya, tadi Mama nggak sengaja dengar kalau kalian sudah merencanakan pernikahan ya?" tanya Sinta sambil ikut duduk di salah satu kursi di depan Syama.
Syama tersentak, wajahnya memerah. Ia ingin membantah, tapi kata-katanya tercekat. Devanka meliriknya sekilas, lalu tersenyum kecil pada ibunya. “Iya, Ma. Doain aja semuanya lancar.”
"Wah... Mama senang kalau kalian memang sudah berencana menikah secepatnya. Tapi benar kata Syama, Devan. Kalau menikah bulan depan terlalu cepat, persiapan pernikahan itu banyak. Sewa gedung, EO, fitting gaun, cetak undangan... banyak pokoknya," ucap Sinta heboh sendiri.
"Soal itu biar kami yang mengatur, Ma," sela Devanka, tak ingin Sinta larut dalam euforia sendiri.
"Ah, kamu enggak bakalan ngerti urusan perempuan. Biar Mama, Syama, juga Bu Dewi yang mengurus, kamu terima beres saja. Gimana kalau tiga bulan dari sekarang? Jadi Mama sama Papa bisa melamar Syama minggu depan. Menurut kamu gimana, Sya?"
Syama hanya bisa mengangguk pelan, meski hatinya berkecamuk. Ia merasa terjebak antara kenyataan dan salah paham yang tak berani ia luruskan. Devanka sendiri bingung harus menjelaskan bagaimana.
love you..../Heart//Heart//Heart//Heart//Heart//Rose//Rose//Rose/
di tunggu gaya bucin pak Devan ....pasti konyol istriya tomboy suami ya kaya kanebo ga ada expresi... di tunggu update selanjutnya thor/Heart//Heart//Heart//Heart//Heart/