Aura Mejalani hubungan dengan kekasihnya selama dua tahun, dan mereka sudah merencanakan sebuah pertunangan, namun siapa sangka jika Aura justru melihat sang kekasih sedang berciuman di bandara dengan sahabatnya sendiri. Aura yang marah memiliki dendam, gadis 23 tahun itu memilih menggunakan calon ayah mertuanya untuk membalaskan dendamnya. Lalu apakah Aura akan terjebak dengan permainannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Al-Humaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Dirumah sakit..
Haikal menunggu dengan sabar didepan pintu ruangan Aura, di mana orang lain tidak boleh masuk kecuali tenaga medis.
Haikal sudah mengganti bajunya, pria tinggi tegap dan gagah itu kini seperti sedang terpuruk.
Haikal duduk dengan kepala bersandar di dinding, keduanya tangannya terlipat didada dengan kedua matanya terpejam namun tak tidur.
"Bos!"
Matanya yang terpejam kini terbuka, sorot mata tajam itu kini terlihat meredup.
"Sejak siang anda belum makan."
Beni meyerahkan kotak makan, ini sudah hampir tengah malam, dan Beni tentu saja tahu kapan terkahir atasanya itu makan.
"Aku tidak akan mati jika tidak makan, Ben!" Katanya yang kembali memejamkan mata.
Beni menghela napas, ini bukan Haikal yang selama ini dia kenal, Haikal yang sangat profesional Haikal yang sangat alot untuk di taklukkan, Haikal yang sangat kejam dalam bertindak. Tapi sekarang Haikal yang ia tahu sudah seperti kehilangan semangat hidup.
'Cinta memang bisa membuat orang lupa diri,' gumam Beni dalam hati.
Beruntung dirinya jauh dari kata cinta, selama ini Beni selalu sibuk bekerja tanpa kenal waktu membuat pria itu tak mengenal hubungan cinta.
"Kalau anda sakit, siapa yang akan merawat Nona..dia pasti menyalahkan saya jika anda sakit." Tutur Beni dengan tatapan sendu.
Beni mengingat beberapa hari yang lalu saat mereka melupakan makan siang, sangking sibuknya keduanya tak sempat makan siang, dan saat malam tiba Aura menceramahinya panjang kali lebar ketika Haikal pulang dengan perut kelaparan.
"Setidaknya anda memikirkan kesehatan anda agar bisa menjaga Nona."
Haikal masih diam, bayangan wajah Aura dengan senyum manisnya menari-nari di pelupuk matanya. Apalagi saat Aura memasak dan dirinya begitu lahap menyantapnya wanita itu begitu senang.
Haikal membuka matanya, tangannya terulur untuk menerima makanan yang Beni bawa.
Beni tersenyum tipis, padahal jika Haikal tak menginginkan bisanya pria itu tak akan menyentuhnya, tapi ini.
Beni tidak tahu jika kekuatan cinta akan membuat pria seperti Haikal lemah.
"Saya sudah mengurus rumah sakit dimana Tuan Mario di rawat, kondisinya baik-baik saja hanya patah tulang bagian hidung."
Haikal tak merespon, tapi Beni tahu jika Haikal mendengar dengan seksama.
Pukul dua dini hari, tiba-tiba pintu ruangan terbuka, Haikal yang memang terjaga langsung berdiri menghampiri dokter.
"Ada apa Dok?" Tanyanya dengan perasaan was-was.
Tak lama suara brankar didorong keluar, Haikal bisa melihat sosok wanita cantik yang terbaring lemah dengan wajah pucatnya.
"Pasien sudah melewati masa kritis, sekarang akan di pindahkan keruang perawatan."
Tentu saja Haikal merasa lega, kedua matanya sudah mengembun namun pria itu tentu saja menahannya agar tidak jatuh.
"Terima kasih dokter." hanya itu yang bisa Haikal ucapkan, pria itu mengikuti kemana Aura akan di bawa.
Ruangan VVIP lantai tiga..
Haikal duduk dikursi sisi ranjang Aura, tangannya menggenggam tangan halus Aura dan menempelkannya di bibir.
Kini wajah Aura sudah tak sepucat tadi, keadaanya juga sudah stabil, Aura sudah melewati masa kritisnya.
"Kau tahu aku sangat takut Aura," Gumam Haikal dengan tatapan mata tak lepas dari wajah Aura yang sedang memejamkan mata.
"Kau tahu aku seperti kehilangan separuh jiwaku saat melihat mu tak berdaya," Lirihnya lagi.
Tangan lain Haikal mengusap pucuk kepala Aura, sedangkan satunya menggenggam tangan dingin Aura.
"Aku tidak bisa melihat mu kesakitan, aku juga merasakan sakit yang sama." katanya lagi yang tak bisa menahan laju air matanya.
Haikal tak pernah menjatuhkan air matanya selama selama ini, namun dengan wanita ini Haikal benar-benar tak bisa mengendalikan dirinya.
Beruntung hanya ada mereka, dan Aura tak bangun melihatnya, jika orang lain tahu Haikal menangis mungkin beritanya akan menjadi trending topik nomor satu.
"K-kau menangis Mas."
Deg
Kepala Haikal yang menunduk dan wajahnya tertutup dengan tangan keduanya itu mendongak, air mata Haikal justru kembali jatuh didepan mata Aura.
"Hu'um, ternyata aku tak bisa tanpa mu sayang," Gumam Haikal dengan suara serak.
Bibir pucat Aura menarik garis senyum, tak menyangka bisa melihat seorang Haikal Arsya Ravindra menangisi dirinya.
"Aku sampai terharu Mas, kamu menangisi aku.. mungkin kalau aku punya tenaga aku akan merekam kejadian ini."
Krik...Krik...
Aura yang sadar menelan ludah, apalagi tatapan mata Haikal kini berubah membuat punggung Aura berkeringat dingin.
Aura sejujurnya sudah bangun saat akan di pindahkan, hanya saja wanita itu sengaja mengerjai Haikal, meskipun begitu tubuhnya memang masih lemah, hanya saja ia tak menyangka jika Haikal Arsya Ravindra benar-benar menangisinya.
"Jadi kau hanya pura-pura tidur." Tatapan Haikal menajam membuat Aura menelan ludah.
Glek
'Gawat, aku ketahuan,' Batinya sambil mengigit bibir bawahnya.