Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pertanyaan Alex menggantung di udara yang beku, lebih tajam dan lebih dingin dari pecahan es. "Apa hubunganmu dengan mereka, Celine?"
Ruang keluarga yang hangat dan aman di Rumah Awan Pelangi tiba-tiba terasa seperti ruang sidang yang sempit dan tanpa jendela. Isabella menatap Alex, tetapi ia tidak benar-benar melihatnya. Pikirannya terlempar kembali ke masa lalu, ke ruang kerja ayahnya yang gelap, di mana ancaman diucapkan dengan senyum dingin dan janji kehancuran dibisikkan seperti kata-kata cinta. Wajah ayahnya dan kakaknya di layar tablet itu seolah tumpang tindih dengan wajah Alex, menciptakan sebuah monster hibrida dari masa lalu dan masa kininya.
Ia mencoba berbicara, mencoba merangkai satu lagi kebohongan cerdik. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, tercekik oleh gelombang panik yang murni. Ia tidak bisa bernapas. Dinding-dinding seolah mendekat, dan suara-suara di sekitarnya meredam menjadi dengungan yang jauh.
"Nona Celine?" Suara kecil Adrian yang penuh ketakutan menembus kabut di kepalanya. Putranya. Putranya ada di sini, menyaksikan ibunya hancur berkeping-keping.
Melihat wajah putranya yang pucat karena khawatir adalah hal yang akhirnya mematahkannya. Topeng Celine Severe, yang telah ia kenakan dengan begitu susah payah, hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah Isabella Rosales dalam keadaan paling mentah dan paling rapuh.
Ia menggelengkan kepalanya dengan panik, bukan untuk menjawab pertanyaan Alex, tetapi untuk menyangkal kenyataan. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi ini bukan air mata kesedihan; ini adalah air mata teror yang tak terkendali.
"Mereka... mereka tidak boleh tahu aku di sini," bisiknya, suaranya serak dan pecah, sebuah pengakuan yang tidak disengaja. "Mereka tidak boleh menemukanku. Mereka akan... mereka akan menyakitimu. Mereka akan menyakiti anak-anak."
Alex membeku.
Setiap kata yang keluar dari bibir wanita itu adalah sebuah belati yang menusuk langsung ke jantung teorinya yang paling liar. "Mereka akan menyakitimu." Bukan "Tuan Ferguson", tapi "kau". Ini adalah peringatan yang personal. Sebuah ketakutan yang datang dari pengetahuan, bukan spekulasi.
"Menyakiti kami?" ulang Alex, suaranya kini turun menjadi bisikan yang berbahaya, matanya menelusuri setiap detail di wajah Isabella yang hancur. "Mengapa mereka ingin menyakiti kami karena seorang pengasuh anak yang tidak mereka kenal?"
"Karena aku—" Isabella memulai, lalu ia menggigit bibirnya dengan keras, menyadari kesalahannya. Tapi sudah terlambat. Gerbang bendungan telah jebol. Ia mulai gemetar hebat, tubuhnya berguncang oleh isak tangis yang tak bersuara. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menahan kepingan-kepingan dirinya yang hancur.
Alex menyaksikan kehancuran total wanita itu. Ia melihat ketakutan seorang tahanan yang baru saja melihat sipirnya. Ia melihat keputusasaan seorang buronan yang baru saja ditemukan. Dan di tengah semua itu, ia melihat cinta yang begitu putus asa untuk melindunginya dan anak-anaknya.
Semua kepingan puzzle—lagu, sketsa, taman, liontin, intuisi bisnis, ketakutan pada sosialita, dan sekarang, teror mutlak pada keluarga Rosales—berputar di benaknya dan menyatu menjadi satu gambaran yang mengerikan, mustahil, namun tak terbantahkan.
Kecelakaan mobil. Keduanya berada di tempat yang sama pada waktu yang sama. Kematian Isabella Rosales. Kemunculan Celine Severe yang seperti hantu. Sebuah jiwa yang memiliki keinginan begitu kuat untuk kembali...
Sebuah ide yang seharusnya hanya ada di novel-novel fantasi kini terasa sebagai satu-satunya penjelasan yang logis untuk kegilaan ini.
"Adrian," kata Alex, suaranya tiba-tiba menjadi tenang dan tegas, sebuah ketenangan yang menakutkan di tengah badai. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Isabella, tetapi ia berbicara pada putranya. "Pergilah ke kamarmu. Sekarang."
Adrian, yang ketakutan melihat kondisi pengasuhnya, ragu-ragu. "Tapi, Ayah, Nona Celine..."
"Sekarang, Adrian!" perintah Alex, nadanya tidak bisa dibantah.
Adrian tersentak dan dengan enggan berlari menuju kamarnya, sesekali menoleh ke belakang dengan cemas.
Begitu mereka hanya berdua, Alex kembali memfokuskan seluruh perhatiannya pada Isabella, yang kini merosot ke lantai, gemetar tak terkendali. Ia berlutut di hadapannya, memaksa wanita itu untuk menatapnya.
"Lihat aku," katanya, suaranya melembut, tetapi intensitasnya tidak berkurang. Ia memegang bahu Isabella dengan lembut namun kuat. "Aku tidak akan bertanya siapa kau. Aku pikir... aku pikir aku sudah tahu."
Isabella mendongak, matanya yang membelalak dipenuhi oleh kengerian dan secercah harapan yang menyakitkan.
Alex menarik napas dalam-dalam. "Aku akan menanyakan sesuatu yang lain," lanjutnya. "Dan aku ingin kau mengatakan yang sebenarnya. Lupakan semua kebohongan. Lupakan Celine Severe. Hanya untuk satu detik ini. Katakan yang sebenarnya."
Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, mata mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. "Saat kau pergi lima tahun yang lalu," bisiknya, setiap kata terasa berat. "Apakah itu karena kau tidak lagi mencintaiku? Ataukah karena mereka memaksamu?"
Pertanyaan itu. Pertanyaan yang telah menghantuinya setiap malam selama lima tahun. Pertanyaan yang menjadi sumber dari semua kepahitannya.
Mendengar pertanyaan itu, di tengah kepanikannya, Isabella menemukan kekuatannya. Ini bukan lagi tentang melindungi rahasianya. Ini tentang melindungi kehormatan cintanya.
Dengan air mata yang masih mengalir, ia menatap lurus ke mata pria yang menjadi pusat dunianya. Dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia membiarkan jiwanya yang asli berbicara melalui mata Celine.
"Aku tidak pernah berhenti mencintaimu," bisiknya, suaranya adalah campuran dari patah hati dan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Tidak sedetik pun."
Itu saja. Hanya itu yang perlu Alex dengar.
Sebuah emosi yang begitu kuat—campuran dari kelegaan, kemarahan, kesedihan, dan keajaiban—menghantam Alex hingga ia merasa sesak napas. Ia tidak tahu harus berteriak atau menangis. Semuanya benar. Kepahitan yang telah ia pelihara selama lima tahun dibangun di atas sebuah kebohongan yang tragis. Wanita yang ia pikir telah mengkhianatinya ternyata telah mengorbankan segalanya untuknya.
Ia tidak bisa lagi menahannya. Didorong oleh naluri yang telah ia tekan selama berminggu-minggu, ia menarik Isabella ke dalam pelukannya. Bukan pelukan seorang majikan pada karyawan, bukan pelukan seorang pria pada wanita asing. Itu adalah pelukan seorang pria yang baru saja menemukan kembali separuh jiwanya yang telah lama hilang.
Isabella membeku sesaat dalam pelukan itu, terkejut. Lalu, kehangatan dan keakraban dari pelukan itu—pelukan yang sama yang telah ia rindukan setiap hari—meruntuhkan sisa-sisa pertahanannya. Ia balas memeluk Alex dengan erat, menumpahkan semua rasa sakit, ketakutan, dan kerinduannya selama lima tahun dalam isak tangis yang memilukan di bahu suaminya.
Mereka berlutut di sana, di tengah ruang keluarga yang sunyi, dua jiwa yang hancur yang akhirnya menemukan jalan pulang satu sama lain. Topeng telah jatuh. Permainan telah berakhir.
Di ambang pintu kamarnya yang sedikit terbuka, Adrian mengintip. Ia melihat ayahnya memeluk Nona Celine yang sedang menangis. Tapi ia melihat sesuatu yang lain juga. Ia melihat cara ayahnya memejamkan mata, ekspresi di wajahnya bukanlah ekspresi seseorang yang sedang menenangkan orang asing. Itu adalah ekspresi seseorang yang baru saja menemukan kembali hartanya yang paling berharga.
Dan saat ayahnya sedikit memiringkan kepalanya, cahaya dari jendela menerpa wajahnya dengan cara tertentu. Di sana, di mata ayahnya, Adrian melihat gema dari tatapan yang sama yang ia lihat di album foto tua yang tersembunyi di laci paling bawah. Tatapan yang hanya ayahnya berikan pada satu orang.
Ibunya.