Pemburu Para Dewa
Bab 01. Arogansi Para Dewa Cahaya dan Kegelapan.
Di kedalaman semesta yang tak berujung, terdapat sebuah mutiara alam semesta yang bernama Atherion. Planet ini melampaui segala khayalan tentang keindahan dan kemurnian. Lautan kristal Sihir yang berkilau seperti permata cair membentang tak terbatas, sementara pegunungan yang melingkari planet menjulang tinggi dipenuhi kristal-kristal yang memancarkan cahaya aurora.
Hutan-hutan kuno dengan pepohonan raksasa yang daunnya bergemerlap bagai bintang-bintang jatuh, dan padang rumput yang bergoyang mengikuti irama angin mistis yang membawa aroma nektar surgawi.
Inilah Atherion. Dunia yang pernah menjadi cerminan sempurna dari harmoni universal. Malaikat dengan sayap perak yang memantulkan cahaya langit menari di atas awan-awan emas. Iblis dengan mata ruby yang berkobar menghuni gua-gua obsidian yang berkilau. Peri dengan rambut seperti benang pelangi membangun istana-istana dari kristal yang hidup. Manusia, Drakekin, Beastkin, dan makhluk-makhluk humanoid lainnya hidup dalam simbiosis yang sempurna, menciptakan peradaban yang menjadi iri hati di seluruh alam semesta.
Namun kesempurnaan itu, seperti bunga yang terlalu indah, telah menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Di puncak tertinggi dimensi spiritual, di mana waktu dan ruang menjadi satu, para Dewa Cahaya dan Kegelapan yang telah berdiam dalam keseimbangan abadi selama jutaan tahun, mulai merasa gelisah. Mereka memandang Atherion dengan mata yang penuh nafsu: nafsu untuk membuktikan supremasi mereka.
Aetherian, Sang Dewa Cahaya Tertinggi, dengan mahkota yang terbuat dari bintang-bintang yang mencair, bersuara dengan nada yang menggetarkan fabric realitas: "Saudariku, Nyx, tidakkah kau melihat betapa indahnya ciptaan ini? Betapa sempurnanya mereka akan menjadi di bawah cahaya yang murni?"
Nyx, Sang Dewi Kegelapan Primordial, dengan jubah yang terbuat dari kehampaan antariksa dan mata yang berkilau seperti lubang hitam yang menelan cahaya, tertawa dengan suara yang membuat dimensi bergema: "Cahaya tanpa kegelapan adalah buta, saudaraku. Ciptaan ini membutuhkan kedalaman, misteri, dan kekuatan yang hanya bisa diberikan oleh kegelapan yang abadi."
Perdebatan filosofis mereka yang berlangsung selama beberapa milenium, akhirnya berubah menjadi tantangan yang mengguncang fondasi surga. Mereka tidak lagi puas dengan keseimbangan yang telah mereka jaga. Mereka ingin dominasi mutlak.
Sehingga surga pun terpecah.
Ketika para Dewa Cahaya dan Kegelapan memutuskan untuk turun langsung ke Atherion, langit planet tersebut robek seperti kain sutra yang disobek oleh pedang keangkuhan. Dari retakan-retakan dimensi itu, mengalir energi ilahi yang mengkontaminasi setiap makhluk yang menghirupnya.
Penghuni Atherion yang sebelumnya hidup dalam harmoni tiba-tiba merasakan dorongan yang tak tertahankan untuk memilih sisi. Kekuatan ilahi yang diberikan oleh para dewa kepada mereka bukanlah berkah, melainkan kutukan yang membangkitkan keserakahan dan kesombongan yang telah lama tertidur di dasar jiwa mereka.
Raja Luminael dari Kekaisaran Crysthaven, seorang malaikat yang sebelumnya dikenal karena kebijaksanaan dan keadilannya, tiba-tiba mendeklarasikan kesetiaannya kepada Dewa Aetherian. Sayap-sayapnya yang dulunya berwarna perak murni kini berubah menjadi emas yang menyilaukan.
"Cahaya adalah kebenaran mutlak!" serunya dari puncak istana kristal yang kini memancarkan aurora yang membutakan. "Semua yang menentang cahaya adalah kejahatan yang harus dibasmi!"
Di tempat lain, Malphas, Sang Raja Iblis dari Kekaisaran Shadowmere, melepaskan segel-segel kuno yang menahan kekuatan primordial kegelapan. Tubuhnya yang dulunya sekadar bersisik hitam kini diselimuti oleh api ungu yang tidak pernah padam. "Kegelapan adalah awal dan kekuatan sejati!" raungnya dengan suara yang membuat gunung-gunung bergetar. "Cahaya hanyalah ilusi yang menyembunyikan kelemahan!"
-------
Ketika peperangan antara kedua kubu semakin memanas dan menghancurkan keindahan dan kedamaian Atherion, para dewa menyadari bahwa mereka membutuhkan perwakilan yang tidak terkontaminasi oleh sejarah konflik Planet Atherion. Mata mereka terarah pada dimensi lain yang disebut Bumi, sebuah planet kecil yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang mereka pandang sebagai "batu mentah" yang bisa dibentuk sesuka hati.
Aetherian, Sang Cahaya mengulurkan tangannya yang bersinar menuju Bumi, menciptakan portal cahaya yang mengambil sepuluh manusia terpilih dari berbagai belahan benua. Suaranya bergema di seluruh dimensi: "Datanglah, Pilar-Pilar Cahaya Ilahi! Kalian adalah orang-orang terpilih yang akan memimpin kebenaran menuju kemenangan!"
Tidak mau kalah, Nyx membuka retakan dimensi kegelapan yang menarik paksa sepuluh manusia lainnya. Bisikannya seperti angin malam yang menusuk jiwa: "Bangkitlah, Utusan-Utusan Malam Abadi! Kalian adalah instrumen kehendak primordial yang akan membawa kegelapan kepada mereka yang membutuhkan kekuatan sejati!"
Kedua puluh manusia terpilih itu diberikan sistem yang tidak pernah ada sebelumnya di Atherion: interface mistis yang memungkinkan mereka untuk berkembang dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
Mereka menjadi dewa-dewa kecil di dunia yang tidak mereka pahami, namun mudah dipelajari. Dengan kekuatan yang mudah dicapai, mereka menjadi mabuk kekuasaan dan arogansi yang tak terbendung.
Namun, dengan alasan demi keseimbangan, para dewa belum puas, mereka memberikan sebuah berkah sistem kepada seluruh penghuni asli Planet Atherion.
Akan tetapi, di puncak tertinggi dari semua dimensi, di mana konsep waktu dan ruang menjadi tidak relevan, Sang Dewa Pencipta, entitas yang bahkan para dewa takuti untuk menyebut nama-Nya, mengamati dengan mata yang menembus seluruh lapisan realitas. Wujud-Nya tidak dapat dipahami oleh pikiran fana; Dia adalah cahaya yang lebih terang dari segala cahaya, namun tidak membutakan; Dia adalah kegelapan yang lebih dalam dari kehampaan, namun tidak menelan.
Melihat anak-anak-Nya yang telah jatuh dalam dosa kesombongan, menggunakan ciptaan-Nya sebagai arena permainan kekuasaan, sesuatu yang menyerupai kesedihan kosmik mengalir dari wujud-Nya. Namun Dia tidak akan turun tangan secara langsung, karena itu akan menghancurkan esensi dari kebebasan yang telah Dia berikan kepada semua makhluk.
Mata-Nya yang tak terbatas kemudian tertuju pada planet kecil bernama Bumi, mencari seseorang yang sempurna untuk misi yang akan mengubah takdir seluruh alam semesta.
Jeno Urias: Manusia yang Telah Mati Sebelum Kematian.
Di sebuah gubuk reyot di bawah kaki Gunung Penanggungan, Jeno Urias duduk di kursi kayu yang sudah usang, menatap kosong ke langit malam yang tertutupi kabut. Usianya 43 tahun, namun matanya menyimpan kelelahan yang seolah telah hidup selama berabad-abad.
Dia bukan siapa-siapa. Mantan pegawai negeri yang dipecat karena mengungkapkan praktek korupsi. Mantan suami yang ditinggal istri karena tidak bisa memberikan kehidupan yang mapan. Mantan ayah yang kehilangan hak asuh anak karena dianggap tidak stabil secara finansial. Bahkan pemerintah sudah menganggapnya mati dalam sistem, namanya dihapus, tidak ada catatan di pemerintahan, tidak lagi memiliki identitas resmi.
"Hidup," gumamnya dengan suara serak, "apa sebenarnya makna dari kata ini?"
Dia telah merasakan segala-galanya: cinta yang berubah menjadi kebencian, harapan yang hancur menjadi debu, penghianatan berulang, mimpi indah yang menjadi mimpi buruk. Tidak ada lagi yang bisa membuatnya merasakan sesuatu. Dia bukan depresif, dia melampaui depresi. Dia telah mencapai kekosongan eksistensial yang sempurna.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, dia tertidur tanpa harapan untuk bangun keesokan harinya tanpa tujuan.
Akan tetapi...
Ketika Jeno membuka mata, dia tidak lagi berada di gubuk kumuhnya. Dia berdiri di sebuah ruang yang tidak memiliki dinding, lantai, tidak ada langit, namun entah bagaimana dia bisa berdiri. Di hadapannya, ada sosok yang tidak bisa dia pandang secara langsung, karena setiap kali dia mencoba, matanya seolah melihat seluruh alam semesta sekaligus.
"Jeno Urias," suara itu bergema, namun tidak melalui udara, melainkan langsung ke dalam jiwanya. Suara itu agung seperti guntur yang membelah langit, namun lembut seperti bisikan ibu kepada bayi yang sedang tertidur.
Jeno menatap dengan mata yang sama datarnya seperti ketika dia masih hidup di Bumi. "Siapa Anda?"
"Aku adalah Awal dan Akhir, Alpha dan Omega, Sang Pencipta dari segala yang ada dan yang tidak ada."
Jeno mengangguk dengan acuh tak acuh. "Jadi, Tuhan? Baiklah. Apa mau Anda, Yang Mulia Segala Semesta?"
Sang Dewa Pencipta tidak tersinggung oleh sikap yang terkesan kurang ajar itu. Dia melihat lebih dalam: melihat jiwa yang telah terluka sampai ke tingkat di mana rasa sakit sudah tidak lagi memiliki arti.
"Aku ingin menawarkan kehidupan baru kepadamu, Jeno. Sebuah dunia yang jauh lebih menarik dari Bumi. Dunia di mana kekuatan sejati dapat diperoleh, di mana takdir dapat diubah dengan tangan sendiri."
Jeno menggelengkan kepala pelan. "Tidak tertarik. Saya hanya ingin mati... mati secara sempurna. Menyatu dengan semesta, tidak ada kesadaran, tidak ada rasa sakit, tidak ada... apa pun."
"Mengapa?"
Pertanyaan sederhana itu membuat Jeno terdiam sejenak. Kemudian dia tertawa, tawanya yang penuh dengan kepahitan yang telah mengakar selama bertahun-tahun.
"Mengapa? Karena saya telah merasakan semua yang bisa dirasakan manusia. Saya telah mencintai sampai mati, berharap sampai gila, bermimpi sampai hancur. Saya telah dikhianati oleh orang-orang yang saya percayai, dibohongi oleh mereka yang saya sayangi, ditinggalkan oleh anak kandung saya sendiri. Bahkan negara yang saya layani dengan setia menganggap saya sudah mati."
Dia mengangkat tangannya, memandang garis-garis tangan yang telah mengeras karena kerja keras yang sia-sia. "Hidup di dunia lain? Itu sama saja dengan mengulangi siklus yang sama. Manusia akan tetap menjadi manusia yang serakah, egois, dan pada akhirnya akan saling menyakiti. Saya lelah, Tuhan. Saya lelah menjadi manusia."
Sang Dewa Pencipta mendengar keluhan dengan sabar, dan dalam keheningan yang mengikuti, sesuatu yang menyerupai rasa sayang mengalir dari wujud-Nya.
"Baiklah," kata-Nya. "Aku akan mengabulkan keinginanmu untuk menyatu dengan semesta. Namun, ada syaratnya."
Jeno menatap sosok yang bercahaya itu dengan mata yang masih sama datarnya. "Syarat apa pun akan saya terima, asalkan saya tidak harus terlahir kembali sebagai makhluk yang sadar."
"Kau harus menghancurkan kesombongan para dewa-dewi Cahaya dan Kegelapan yang telah mengotori ciptaan-Ku dengan arogansi mereka."
Jeno terdiam sejenak, kemudian tertawa dengan suara yang bergema di ruang tanpa batas itu. "Anda adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, kan? Kenapa tidak langsung turun tangan menghukum para dewa-dewi itu? Kenapa justru memberikan tugas kepada saya yang hanya seonggok daging dan tulang yang sudah lelah, rentan pula?"
"Karena," jawab Sang Dewa Pencipta dengan nada yang penuh dengan misteri, "... Terkadang yang terkuat dapat dikalahkan oleh yang paling lemah. Terkadang yang paling tinggi dapat dijatuhkan oleh yang paling rendah. Dan terkadang, yang paling putus asa adalah yang paling bebas."
Jeno memandang dengan mata yang mulai berubah, bukan karena tertarik, melainkan karena mulai memahami sesuatu yang lebih dalam. "Jadi, Anda ingin menggunakan saya sebagai alat untuk membuktikan bahwa kesombongan para dewa itu perlu dihukum?"
"Tidak," jawab Sang Dewa Pencipta dengan lembut. "Aku ingin memberikan kepadamu kesempatan untuk menemukan makna hidup yang sebenarnya. Di dunia baru itu, kau akan dibekali dengan sistem yang dapat menghancurkan apa pun, memberikan semua yang kau inginkan. Namun yang terpenting, kau bebas melakukan apa pun tanpa takut akan konsekuensi."
Jeno menatap dengan mata yang mulai menunjukkan emosi untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, namun itu bukan emosi harapan. Itu adalah kecurigaan yang mendalam.
"Anda bukan Tuhan yang sesungguhnya," katanya dengan suara yang dingin. "Tuhan yang sesungguhnya tidak akan bermain-main dengan jiwa manusia seperti ini. Anda hanya dewa yang lebih kuat, yang ingin menggunakan saya untuk tujuan Anda yang tidak saya ketahui."
Sang Dewa Pencipta tidak menjawab, tapi membuat pandangan Jeno mulai buram. Dia merasakan kesadaran dirinya mulai melayang, tertarik oleh kekuatan yang tidak bisa ia lawan.
Namun sebelum kesadaran itu hilang sepenuhnya, dia mendengar suara yang terakhir, suara yang mengandung sesuatu yang tidak bisa dia artikan. Apakah itu rasa sayang? Harapan? Atau justru sesuatu yang lebih gelap?
"Berbahagialah di kehidupan barumu, Jeno Urias. Lakukan sesuka hatimu, tanpa takut akan apa pun. Dan ingatlah, kadang-kadang, yang paling hancur adalah yang paling bebas untuk menghancurkan."
-------
Sementara jiwa Jeno Urias melayang menuju Atherion, Sang Dewa Pencipta berdiri sendirian di ruang tanpa batas. Untuk pertama kalinya dalam milyaran tahun, sesuatu yang menyerupai senyuman bahagia terbit dari wujud-Nya.
DIA telah memilih dengan sempurna—bukan pahlawan yang dipenuhi dengan idealisme, bukan villain yang dipenuhi dengan ambisi, melainkan seseorang yang telah melampaui keduanya. Seseorang yang telah mati secara spiritual sebelum kematian fisik, yang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan.
Di Atherion, para dewa Cahaya dan Kegelapan dengan arogansi mereka, para manusia terpilih dengan sistem cheat (curang) mereka, dan seluruh peradaban yang telah terkontaminasi oleh kesombongan ilahi, tidak menyadari bahwa takdir mereka baru saja diubah oleh kedatangan seorang manusia yang bahkan tidak peduli apakah dia hidup atau mati.
Badai besar yang akan mengubah tatanan alam semesta telah dimulai, dan pusatnya adalah jiwa yang telah mati sebelum kematian, yang kini akan terlahir kembali di dunia di mana kekuatan adalah segalanya.
Jeno Urias tidak tahu bahwa dia akan menjadi katalisator yang akan menghancurkan kesombongan para dewa. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia telah dipaksa untuk hidup lagi, dan kali ini, dia akan hidup dengan caranya sendiri.
"Atherion bersiaplah. Penghakiman dan kehancuran yang sejati akan segera dimulai." Sosok wanita cantik bak bidadari melihat jiwa Jeno Urias yang meluncur ke Planet Atherion.
Wanita itu melihat sosok Sang Dewa Pencipta yang memberikan anggukan.
"Bimbing anak manusia itu."
Wanita itu membungkuk sebagai bentuk jawaban dan hormat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Stra_Rdr
kerennnn🔥🔥
2025-08-01
0