Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
"Hey Amirul, belikan aku es krim."
Suara Aris terdengar tajam di udara sore yang panas. Dia menundukkan kepala sedikit, tatapan matanya menyilang ke arah Amirul dengan nada merendahkan yang tidak tertutupi. Tanpa menunggu jawaban, selembar uang dilemparkan ke depan Amirul, mendarat dengan bunyi lembut di lantai aspal.
Amirul hanya mengangkat bahu. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia membungkuk untuk mengambil uang itu, jari-jarinya sedikit gemetar tapi tidak terlihat. Dia berjalan perlahan menuju kios es krim yang terletak di sudut gang, pikirannya hanyut ke arah satu hal: selesaiin tugas ini secepat mungkin, biar Aris tidak marah lagi.
Setelah beberapa menit, Amirul kembali dengan es krim dalam bungkus kertas. Tapi sebelum dia sempat mengedarkan, Aris mengangkat kaki dan dengan kekuatan menendang bola sepak yang ada di dekatnya—bola itu terbang jauh, terlempar ke tepi lapangan yang sepi.
"Amirul, ambilkan bola itu!" teriak Aris, senyum menyakitkan terpotong di wajahnya. Rasanya sungguh menyenangkan, mengerjai Amirul seperti ini. Setiap perintah yang dia lontarkan, setiap tatapan merendahkan yang dia berikan, seolah-olah mampu melampiaskan rasa sakit yang telah menyakitinya selama bertahun-tahun.
Kenapa? Kenapa dulu harus terjadi kesalahan itu?
Pikiran Aris terbalik ke masa lalu, ke hari di mana dia tahu kebenaran yang merobek hatinya: dia dan Amirul telah tertukar saat lahir. Jika tidak, selama ini dia tidak akan hidup dengan orang tua Amirul—orang yang selalu kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang selalu melihatnya dengan harapan yang berat tapi tidak pernah mampu memberinya apa-apa. Sementara Amirul, anak angkat yang sebenarnya seharusnya hidup seperti dia, malah tinggal nyaman dengan orang tuanya yang kaya dan penuh kasih.
Amirul mulai berlari menuju bola yang terjatuh. Aris melihatnya dari kejauhan, dada berdebar kencang karena kemarahan. Dia membisikkan sendiri, suaranya penuh dendam: "Kau telah mengambil kebahagiaanku selama 16 tahun ini, Amirul. Dua tahun yang aku lewati bersama kau di rumah ini... rasanya belum cukup untuk aku balas dendam!"
Setelah Amirul kembali dengan bola, Aris tidak berhenti memberi perintah. Matanya menyipit, melihat Amirul yang berkeringat di depannya. "Amirullllll! cepat pijat kakiku!" teriaknya dengan nada yang menyakitkan, kaki kanannya diletakkan di bangku kayu yang ada di sana.
Amirul mendekat, jari-jarinya yang sudah lelah mulai memijat bagian punggung kaki Aris. Tidak lama kemudian, mobil pengantar yang selalu menjemput Aris tiba. Dia melompat turun dari bangku, menatap Amirul dengan tatapan sombong. "Amirul! Cepat gendong aku! Aku sedang malas naik mobil!" titahnya. Semua yang Aris minta, Amirul lakukan tanpa penolakan, bahkan ketika dia harus menggendong tubuh Aris yang tidak ringan ke dalam mobil, punggungnya sudah mulai terasa pegal.
... ***********...
Keesokan harinya, Amirul harus bangun pagi-pagi sekali, jauh sebelum matahari terbit. Punggungnya masih terasa sakit parah karena kemarin menggendong Aris hingga puluhan kilometer, mobil malah mogok di tengah jalan, dan dia terpaksa membawanya sampai tiba di rumah.
Tidak sempat istirahat, ia langsung ke dapur. Pagi ini ia harus memasak nasi goreng yang akan dulunya bisa di buat oleh Rita, yang juga selalu memberikan perintah kepadanya.
Dia menggoreng nasi dengan cepat, api kompor menyala terang di dapur yang masih gelap. Setelah selesai memasak, Amirul segera mencuci piring dan mengepel lantai dapur, semua dilakukan dengan kecepatan agar tidak terlambat ke sekolah.
Keringat menetes di alisnya. Lantai masih licin karena air yang baru saja disemprotkan, dan dia berusaha berjalan hati-hati agar tidak terpeleset.
Tiba-tiba, suara Rita terdengar dari ruang tamu. "Amirul! Siapkan sarapan pagi!" titahnya dengan nada tegas.
"Baik Bu." Amirul angguk cepat, segera
Amirul Meletakkan pel yang sedang dia gunakan di samping karena ia belum selesai mengepel. Dia berjalan tergesa-gesa ke lemari untuk mengambil piring dan sendok, dada berdebar khawatir akan diberi omongan lagi jika terlambat.
Tiba-tiba, suara langkah Rita terdengar dari arah ruang tamu menuju dapur. Dia keluar dengan baju tidur, rambut masih kusut, dan wajah yang kesal.
"Amirul! Sudah siap sarapan belum? Aris mau bangun sebentar lagi!" teriaknya, berjalan cepat menuju dapur. Tapi dia tidak melihat lantai yang masih licin, kakinya tiba-tiba terpeleset, badannya melayang sebentar sebelum terjatuh dengan bunyi bruk di lantai ruang tamu.
Amirul terkejut, segera menjatuhkan pel dan mendekat. "Ibu! Apa Ibu baik-baik saja? Apakah sakit?" tanyanya dengan khawatir, tangannya siap menolong dia bangkit.
Tetapi Rita mengusirnya dengan gerakan kasar. Matanya menyipit penuh kemarahan, lututnya yang menabrak lantai mulai memerah. "Jangan sentuh aku! Kamu apa sih! Mengapa lantai dibuat licin gitu? Tahu tidak aku sakit sekali!" teriaknya. Tanpa peringatan, telapak tangannya menyambar pipi Amirul dengan kuat.
Plak!
Amirul terkejut, tubuhnya terayun ke belakang. Pipinya terasa panas dan menyakitkan, air mata mulai menggenangi matanya. "Bu... maaf... aku lagi mengepel, belum sempat mengelapnya sampai kering," ucapnya dengan suara lemah.
"MAAF? Kamu selalu bikin masalah! Anak angkat yang tidak berguna ini! Kalau Aris tahu, dia pasti lebih marah!" marah Rita lagi, berusaha bangkit dengan susah payah. Dia berjalan ke kamar mandi sambil terus memarahi Amirul dari kejauhan, meninggalkan Amirul yang tetap duduk di lantai licin—hati dan badan sama-sama sakit.
thanks teh 💪💪💪