NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# **BAB 4: KONTRAK TANPA CINTA

**

Alara datang sepuluh menit lebih awal. Ia duduk di lobby Erlangga Corp dengan tangan yang tak henti-hentinya meremas tas di pangkuannya. Setiap kali pintu lift terbuka, jantungnya berdegup lebih kencang.

Kemarin ia mengubur ayahnya. Hari ini ia akan menggadaikan masa depannya.

"Nona Alara?"

Asisten Nathan—wanita berseragam rapi yang sama—berdiri di hadapannya. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum.

"Tuan Nathan sudah menunggu."

Alara bangkit dengan kaki yang terasa berat. Ia mengikuti asisten itu masuk lift, naik ke lantai 28. Sepanjang perjalanan, ia mencoba mengatur napas. Tapi dadanya tetap sesak.

*Ting.*

Pintu lift terbuka.

Kali ini, pintu ruangan Nathan sudah terbuka. Dan di dalam, Nathan duduk di belakang meja kerjanya dengan seorang pria paruh baya berkacamata di sampingnya—pengacara, sepertinya.

"Masuk," kata Nathan tanpa mengangkat wajah dari dokumen di hadapannya.

Alara melangkah masuk. Pintu ditutup dari luar. Hanya bertiga sekarang.

Ia duduk di kursi yang sama dengan kemarin. Posisi yang sama. Tapi suasananya berbeda. Kali ini ada sesuatu yang final—sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.

Nathan akhirnya mengangkat wajah. Matanya menatap Alara dengan tatapan yang sulit dibaca. Bukan dingin seperti kemarin. Tapi juga bukan hangat.

"Aku sudah pikirkan tawaranmu," kata Nathan langsung pada inti.

Jantung Alara hampir berhenti. Ia menelan ludah, menunggu.

"Dan aku setuju."

Tiga kata itu terasa seperti pukulan dan pelukan sekaligus. Alara ingin lega, tapi ada yang mengganjal di dadanya.

"Dengan syarat," tambah Nathan cepat. Ia mengangguk pada pengacara di sampingnya.

Pengacara itu membuka kopernya, mengeluarkan sebuah dokumen tebal, dan meletakkannya di hadapan Alara.

"Ini kontrak pernikahan," jelasnya dengan nada profesional. "Mohon dibaca dengan seksama sebelum ditandatangani."

Alara meraih dokumen itu dengan tangan gemetar. Matanya menelusuri setiap baris. Huruf-huruf itu terasa kabur, tapi ia memaksa diri membaca.

**PERJANJIAN PERNIKAHAN KONTRAK**

**Pihak Pertama: Nathan Erlangga**

**Pihak Kedua: Alara Davina**

**Pasal 1: Durasi Pernikahan**

Pernikahan ini berlaku selama 2 (dua) tahun, terhitung sejak tanggal pernikahan resmi. Setelah masa kontrak berakhir, kedua belah pihak sepakat untuk bercerai secara damai.

**Pasal 2: Kewajiban Pihak Pertama**

- Melunasi seluruh hutang Davina Design senilai 15 miliar rupiah.

- Memberikan suntikan modal operasional sebesar 10 miliar rupiah.

- Menanggung seluruh biaya hidup Pihak Kedua selama masa kontrak.

**Pasal 3: Kewajiban Pihak Kedua**

- Tinggal satu atap dengan Pihak Pertama di Mansion Erlangga.

- Hadir dalam acara publik sebagai istri yang sah.

- Menjaga nama baik keluarga Erlangga.

**Pasal 4: Batasan Hubungan**

- Tidak ada hubungan fisik di luar kehendak kedua belah pihak.

- Tidak ada intervensi dalam urusan pribadi masing-masing.

- Tidak ada perasaan emosional yang diharapkan atau dituntut.

Alara berhenti di pasal terakhir. Tangannya gemetar memegang kertas itu.

*Tidak ada perasaan emosional yang diharapkan atau dituntut.*

Ia mengangkat wajah, menatap Nathan. "Anda... benar-benar serius dengan ini?"

"Sangat," jawab Nathan datar. Ia bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. "Aku tidak main-main, Alara. Ini bukan pernikahan sungguhan. Ini bisnis. Aku menyelamatkan perusahaan ayahmu, kau memberikan aku... kemudahan dalam urusan keluarga besar yang terus mendesak aku untuk menikah."

"Jadi saya..." Suara Alara bergetar. "Saya cuma alat untuk Anda?"

"Kau bisa menyebutnya begitu," Nathan menatapnya tanpa berkedip. "Atau kau bisa menyebutnya pertukaran yang saling menguntungkan. Terserah kau."

Hening menggantung berat.

Alara menatap dokumen itu lagi. Matanya mulai memanas. Dua tahun. Dia harus hidup dua tahun sebagai istri palsu. Dua tahun tanpa cinta. Dua tahun menjadi boneka.

"Kenapa... kenapa harus dua tahun?" tanyanya pelan.

"Karena lebih dari itu terlalu lama. Kurang dari itu terlalu mencurigakan di mata publik." Nathan menjawab seolah menghitung investasi. "Dua tahun cukup untuk membuat pernikahan kita terlihat wajar sebelum bercerai dengan alasan 'tidak cocok'."

Alara tertawa—tawa yang pahit, hampa. "Anda sudah merencanakan perceraian sebelum kami menikah?"

"Tentu saja." Nathan tidak terlihat terganggu. "Aku bukan orang yang percaya dongeng, Alara. Aku belajar dari kesalahan. Dan pernikahan sejati..." Ia berhenti sejenak, ada bayangan gelap di matanya. "...hanya akan berakhir dengan rasa sakit."

Ada luka di sana. Alara bisa merasakannya. Tapi ia terlalu tenggelam dalam lukanya sendiri untuk peduli.

"Jadi begitu?" Alara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Saya tinggal tanda tangan ini, lalu kita nikah, lalu setelah dua tahun kita berpisah seolah tidak pernah terjadi apa-apa?"

"Ya."

Satu kata. Tanpa ragu. Tanpa empati.

Alara menunduk. Air matanya jatuh ke atas kertas kontrak, membuat tinta sedikit luntur. Ia mengusapnya cepat, tapi jejak air mata itu tetap ada.

"Ini... ini tidak adil," bisiknya. Suaranya bergetar hebat. "Anda punya segalanya. Uang, kekuasaan, pilihan. Tapi saya... saya bahkan tidak punya pilihan selain ini."

Nathan terdiam. Untuk sesaat, ekspresinya melunak—sangat tipis, nyaris tak terlihat.

"Hidup memang tidak adil, Alara," katanya lebih pelan. "Tapi setidaknya dengan kontrak ini, kau masih punya sesuatu. Tanpa ini, kau tidak punya apa-apa."

Kata-kata itu seperti pisau yang menikam perlahan. Karena Nathan benar. Tanpa kontrak ini, Alara akan kehilangan segalanya.

Ia menatap dokumen itu lama. Tangan kanannya melayang, menggenggam pulpen yang disodorkan pengacara.

"Setelah saya tanda tangan ini..." Alara mengangkat wajah, menatap Nathan dengan mata penuh air mata. "Apakah Anda berjanji tidak akan menyakiti saya lebih dari ini?"

Nathan tersentak sedikit. Pertanyaan itu sepertinya tidak ia duga.

"Aku..." Untuk pertama kalinya, Nathan terlihat ragu. "Aku tidak bisa jamin itu."

Jawaban jujur yang lebih menyakitkan dari kebohongan.

Alara tersenyum pahit. "Setidaknya Anda jujur."

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan tangan yang gemetar. Lalu perlahan, ia mendekatkan pulpen ke kertas.

Tanda tangannya—**Alara Davina**—tertera di atas garis yang disediakan. Goresan pulpen terasa berat, seolah bukan kertas yang ia tanda tangani, tapi harga dirinya sendiri.

Selesai.

Nathan mengambil dokumen itu, membubuhkan tanda tangannya dengan gerakan cepat dan efisien. Lalu pengacara itu membubuhkan stempel dan tanda tangan saksi.

"Selamat," kata pengacara itu dengan senyum profesional. "Kontrak ini resmi berlaku. Pernikahan akan dilaksanakan 3 hari dari sekarang di kantor catatan sipil. Detail akan dikirim melalui email."

Alara hanya mengangguk kecil. Ia merasa mati rasa.

Pengacara itu pamit, meninggalkan Alara dan Nathan berdua.

Hening.

Nathan berdiri, berjalan ke jendela dengan tangan di saku. Punggungnya menghadap Alara.

"Satu hal lagi yang perlu kau tahu," katanya tanpa berbalik. "Jangan pernah berharap lebih dari ini, Alara. Jangan berharap aku akan mencintaimu. Jangan berharap ini akan berubah menjadi pernikahan sungguhan."

Setiap kata terasa seperti paku yang ditancapkan ke dadanya.

"Karena aku..." Nathan berhenti sejenak. "Aku sudah tidak punya hati untuk dicintai."

Alara menatap punggung pria itu. Ia ingin marah. Ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya bisikan lemah.

"Saya tidak akan berharap apa-apa dari Anda, Nathan Erlangga." Suaranya dingin kali ini, meski mata masih basah. "Karena orang yang tidak punya hati... tidak layak diharapkan."

Ia berdiri, mengambil tasnya.

"Tiga hari lagi, saya akan jadi istri Anda. Tapi ingat—ini hanya kontrak. Jangan pernah harap saya akan bahagia dalam pernikahan ini."

Alara berbalik, melangkah keluar ruangan dengan kepala tegak meski hatinya hancur berkeping-keping.

Begitu pintu tertutup, kakinya hampir limbung. Ia bersandar di dinding, napasnya tersengal.

Tiga hari lagi.

Tiga hari lagi ia akan menikah dengan pria yang tidak mencintainya.

Tiga hari lagi ia akan masuk ke dalam sangkar emas yang dingin.

Dan mungkin... tidak akan pernah keluar sebagai dirinya yang dulu.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 5: MALAM PERTAMA YANG KELAM]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!