Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: KEHANGATAN YANG BERUBAH JADI DINGIN
Langit sore itu tidak bersahabat. Awan mendung menggantung rendah seakan siap runtuh. Petir menyambar di kejauhan, lalu hujan deras turun bagai tirai, memukul tanah dan dedaunan hutan di tepi danau.
Seorang gadis muda berlari dengan qinggong secepat angin. Jubah hitamnya menempel basah di tubuh rampingnya. Helaan napasnya terengah. Wajah pucatnya terpercik lumpur.
Dialah Yaohua—jauh sebelum menjadi asisten tabib.
"Kejar! Jangan biarkan iblis itu lolos!"
Suara teriakan menggema dari balik pepohonan.
Belasan busur panah menyalak bersamaan. Anak panah berlapis Qi Angin melesat menembus hujan, menciptakan siulan tajam yang menggema.
Dua di antaranya menancap di tubuh Yaohua—satu di pundak, satu lagi di pahanya.
Darah segar bercampur air hujan, mengalir membasahi pakaiannya.
"Ughh!" Yaohua meringis, namun kakinya tak berhenti.
Dengan cepat ia merobek jubahnya, meniupkan sedikit Qi, lalu melemparkannya ke arah berlawanan. Dari kejauhan, jubah itu melayang, berputar dalam pusaran angin—menciptakan ilusi seolah ia berlari ke arah sana.
Tim pengejar mengenakan hanfu putih bertuliskan "Wudang" dengan warna biru di punggung. Mereka segera terpancing.
"Ke arah sana! Cepat!" Teriak salah satu dari mereka.
Yaohua menahan napas, meringkuk di balik semak basah, lalu perlahan merayap menjauh ke arah danau.
Di tepi danau, seorang pemancing kurus berambut pendek duduk di dermaga kayu kecil. Hujan deras mengguyurnya tanpa belas kasih. Ia mendesah sambil menarik kail kosong dari air.
"Hanya tiga ekor... sial, besok aku pasti kelaparan." Ia menggeleng. "Satu kali lagi... kalau masih kecil, aku pulang saja."
Tiba-tiba suara terengah memecah derasnya hujan.
"...tolong..."
Pemancing itu menoleh, terperanjat.
Seorang wanita muda dengan tubuh penuh darah berdiri goyah. Rambut hitamnya menempel di wajah cantiknya yang pucat. Luka di pundak dan pahanya meneteskan darah segar.
"Tolong... sembunyikan aku..." Suaranya nyaris hilang ditelan hujan.
Tatapan pemancing itu beralih ke perahunya yang kecil dengan tumpukan jaring basah. Keraguan singkat melintas. Ia menoleh lagi melihat wanita terluka di depannya, mendengus, lalu membulatkan keputusannya.
Sementara itu, di dalam hutan, sekelompok pengejar Wudang berhenti.
Seorang murid berteriak, "Kosong! Jubah ini hanya tipuan!"
Pemimpin mereka—seorang pria beralis tebal bernama Liefeng dengan mata menusuk—mendecak. "Berpencar! Dia tidak mungkin jauh. Cari sampai ketemu!"
Ia sendiri kembali ke titik mereka berbelok. Ia berhenti dan menemukan jejak darah yang tertinggal di semak-semak. Ditelusurinya jejak itu. Hujan deras tak cukup untuk menghapus semuanya.
Jejak itu membawanya hingga ke tepi danau.
Di sana, ia melihat seorang pemancing duduk dengan wajah meringis. Darah mengucur dari tangannya.
"Kau!" Seru Liefeng, menghampiri cepat. "Kau kenapa?"
Pemancing itu buru-buru berucap, "Aku... aku jatuh tadi. Pisauku melukai tanganku saat mencari umpan di hutan."
Mata Liefeng menyipit curiga. "Aku mencari seorang wanita—berambut hitam, ramping, tinggi, berdada besar. Dia terluka di tangan dan kaki. Kau melihatnya?"
Pemancing itu menggeleng cepat. "Tidak... aku tidak lihat siapa-siapa."
Liefeng maju ke dermaga. Matanya menelusuri perahu kecil. Tetesan darah menetes ke papan kayu. Ia berjongkok, melihat ke air di bawah dermaga. Darah mengalir tipis bercampur hujan.
"Wanita itu... meski cantik, dia seorang iblis dari Kultus Iblis. Dia membunuh siapa saja dari ortodoks..." Ucap Liefeng, suaranya dingin, penuh ancaman.
Ia menoleh lagi ke pemancing, mendekatinya dengan cepat. "Termasuk pemancing sepertimu."
Tiba-tiba ia menyibak tumpukan jaring di atas perahu kecil itu.
Kosong. Hanya ikan-ikan kecil menggeliat.
Liefeng menghela napas. Suaranya bergetar marah. "Kau menyembunyikan sesuatu..."
Matanya menyala penuh curiga. Ia menyeret pemancing itu ke semak tepi danau, menekan bahunya. "Cepat katakan di mana wanita itu. Jika kau jujur sekarang, hidupmu selamat. Jika tidak..."
Pemancing itu hanya menggeleng pelan. "Aku... tidak tahu."
"Hmph."
Tanpa peringatan, pedang panjangnya berayun kuat. Qi Angin melesat membentuk pusaran.
BRUUAKH!
Dermaga kayu kecil hancur berantakan. Papan-papannya beterbangan ke permukaan air.
Liefeng berdiri di tepi danau, menatap tajam ke permukaan air yang dipenuhi pecahan kayu. Tak ada apa-apa. Tak ada wanita itu.
Masih tak puas, ia mengayunkan lagi pedangnya.
BRAK!
Perahu kayu kecil sang pemancing hancur seketika. Hujan mengguyur semakin deras. Riak air danau menelan sisa-sisa kayu.
Liefeng mondar-mandir, matanya tajam mencari tanda-tanda. Namun sia-sia.
Akhirnya, ia menoleh pada si pemancing. Tatapannya menusuk. "Kau beruntung."
Ucapnya singkat, sebelum melesat pergi dengan qinggong, lenyap di balik hujan lebat.
Pemancing itu berdiri kaku. Napasnya tersengal. Tangannya meremas keras luka palsu di lengannya.
Perlahan, matanya melirik ke semak-semak tepi danau—ke bawah tumpukan papan kayu yang terlempar hingga ke sana. Sesuatu bergerak samar di bawah air gelap dan dingin.
Senyum kecil penuh rahasia muncul di wajah pria itu.
Hujan deras tak kunjung berhenti.
Haikun berjalan tertatih sambil menuntun Yaohua yang penuh luka. Rumah kayu sederhana di pinggir hutan menjadi tempat mereka bernaung. Api perapian redup mengusir dingin, sementara suara hujan di atap bambu menjadi musik malam mereka.
"Aku Haikun," ucapnya sederhana, saat mengganti perban di pundak wanita itu. "Aku seorang nelayan biasa. Jangan khawatir, aku bukan pendekar ortodoks."
Haikun tersenyum melihat Yaohua yang terus mengamati wajahnya.
"Kau beristirahatlah, Nona. Aku akan buat perahu baru lebih besar. Saat selesai, aku akan menyeberangkanmu melintasi danau."
Yaohua tersenyum tipis. Mata lembut lelaki itu tidak menyimpan rasa takut ataupun niat buruk. Hanya ketulusan polos seorang rakyat jelata.
"Kau tidak akan membunuhku atau menyakitiku kan, Nona?"
Yaohua tertawa lirih. "Jika aku ingin, sudah kulakukan di tepi danau tadi."
Haikun bergidik. Ia tersenyum canggung kemudian beranjak mengambil segelas teh hangat.
Hari-hari berikutnya, suasana canggung perlahan cair.
Yaohua, meski terluka, ternyata seorang wanita periang. Haikun, meski polos, selalu bisa menanggapi candaannya dengan kelucuan sederhana.
Suatu sore, saat hujan mereda, Haikun membawa tiga ikan kecil hasil tangkapannya.
"Hanya segini," keluhnya sambil menatap Yaohua. "Sepertinya ikan-ikan pun lari karena takut wajahku."
Yaohua terkekeh. Matanya berbinar. "Bukan ikannya yang lari. Itu karena kau memancing sambil menguap terus. Kalau kau serius sedikit saja, mungkin kau bisa memberi makan seluruh desa."
"Kalau begitu, lain kali kau yang memancing, Nona," sahut Haikun, pura-pura cemberut.
"Kalau aku yang memancing, ikan-ikan justru akan berebut naik ke perahumu karena tergoda kecantikanku." Jawabnya sambil menahan tawa.
Keduanya tertawa lepas.
Namun tawa itu menyembunyikan sebuah benih perasaan yang kian tumbuh—perasaan yang akan berubah menjadi cinta... dan tragedi.
Malamnya, mereka duduk berdua di depan tungku. Hujan deras di luar membuat api perapian berkilat-kilat di wajah mereka.
"Kenapa kau menolongku waktu itu?" Tanya Yaohua tiba-tiba, suaranya lirih.
Haikun terdiam sebentar, lalu tersenyum. "Aku hanya tak tega melihat seorang wanita terluka."
"Apa kau tidak takut? Kau tahu aku dari Kultus Iblis bukan?" Mata Yaohua tajam menatapnya.
Haikun tertawa kecil. Matanya berkilat nakal. "Wanita secantik dirimu tidak mungkin tega membunuh pria selugu aku."
Yaohua terkekeh. Wajahnya bersemu merah.
Namun sebelum suasana terlalu larut, tubuhnya menegang. Ia menoleh cepat ke arah luar rumah. Tatapannya berubah serius.
"Beberapa orang mendekat," bisiknya.
Haikun panik. "Apa?! Kita harus lari!"
"Sudah terlambat." Suara Yaohua dingin.
Di luar, tiga orang berpakaian putih dengan tulisan besar "WUDANG" di punggung menyelinap di antara pepohonan basah. Daun dan ranting patah di bawah langkah mereka.
'Liefeng,' salah seorang berbisik melalui transmisi Qi, 'apa benar ini rumahnya?'
Liefeng mengangguk. Matanya tajam penuh dendam. 'Ya. Seorang pemburu melihat wanita itu masuk ke rumah kayu tepi hutan ini.'
Mereka bergerak maju dengan langkah ringan. Hening mencekam menyelimuti. Hingga akhirnya, sang ketua memberi aba-aba dengan isyarat tangan.
Tiga bayangan putih itu merangsek masuk.
Namun ruangan kecil itu kosong.
Tiba-tiba—
"ROOOAARRRR!"
Dari atas atap, Yaohua muncul. Kedua tangannya menempel di genteng basah, tubuhnya menegang, mulutnya terbuka lebar.
"Raungan Harimau Iblis!"
Suara raungan menggelegar—bukan teriakan manusia, melainkan gelombang Qi yang kasat mata. Udara bergetar keras. Kayu-kayu retak. Debu jatuh dari langit-langit.
BRAK! BRAK!
Gendang telinga ketiga pria Wudang pecah seketika. Darah menyembur dari setiap lubang di wajah mereka—mata, hidung, telinga.
Satu orang langsung roboh, tubuhnya kejang-kejang sebelum terdiam selamanya.
Di ruangan lain, Haikun meringkuk. Telinganya berdarah tipis. Ia menutup telinga dengan tangan, tubuhnya gemetar hingga akhirnya pingsan.
Yaohua melompat turun.
Dengan gesit ia meraih pedang pria yang tewas, menggoreskan bilahnya pada telapak tangannya. Darahnya mengalir, melapisi bilah itu. Pedang berlumur darah itu ia tusukkan ke dada salah satu lawan yang masih terhuyung.
"Arghhh!" Teriak pria itu.
Sekejap, bintik abu-abu menyebar dari luka tusukannya, menjalar cepat ke seluruh tubuh. Urat-uratnya menegang, tubuhnya kejang sebelum jatuh tak bergerak.
Liefeng, si alis tebal, meraung marah. "Wanita iblis!"
Ia menyerang dengan pedang panjangnya. Qi Angin mengamuk dari setiap tebasan.
Benturan cepat terjadi. Bilah bertemu bilah. Kilatan petir buatan Qi menari di udara. Napas Yaohua memburu. Ia sadar, tubuhnya masih belum pulih.
Namun, ketika Liefeng sedikit lengah, Yaohua menggigit lidahnya. Darah segar memenuhi mulutnya, lalu ia semburkan tepat ke mata Liefeng.
"Arrghhh!" Liefeng berteriak. Matanya perih, pandangan kabur.
Dalam kesempatan itu, pedang Yaohua menusuk keras perutnya.
Liefeng jatuh tersungkur.
Tanpa membuang waktu, Yaohua berlari ke arah Haikun yang tak sadarkan diri. Ia membopong tubuh lelaki itu di bahunya. Langkahnya tertatih namun mantap. Hujan deras mengguyur tubuhnya, tapi ia terus maju.
Dermaga kayu kecil terlihat samar dalam gelap.
Dengan satu gerakan cepat, ia melemparkan tubuh Haikun ke atas perahu kecil, lalu memotong tali penambat. Perahu terlepas, terbawa arus deras.
Yaohua melompat masuk. Kedua tangannya meraih dayung. Ia mendayung dengan sekuat tenaga. Air hujan bercampur darah di tubuhnya. Wajahnya dingin dan tegas.
"Bertahanlah, Haikun..." Bisiknya pada lelaki pingsan itu. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu."
Hujan deras menurunkan tirai kelam di tepi danau.
Yaohua dengan luka-luka yang belum sembuh akhirnya tiba bersama Haikun di wilayah Kultus Iblis. Dengan tubuh penuh darah, ia tetap membopong lelaki itu hingga masuk ke desa kecil di pinggiran. Penduduk setempat menerima mereka, merawat keduanya sampai perlahan kondisi membaik.
Hari-hari berlalu dalam kesederhanaan.
Mereka memutuskan berpindah ke Kota Long Ya, kota yang lebih besar berharap memperoleh hidup yang lebih layak.
Yaohua, yang sebelumnya dikenal sebagai seorang pendekar Qi penyembuh, memutuskan berhenti dari dunia pedang. Ia menjadi asisten seorang tabib tua, sementara Haikun mulai bekerja di sebuah kedai penginapan.
Hidup mereka sederhana, tapi damai—setidaknya untuk sementara waktu.
Namun, kedamaian itu pecah ketika seorang Tao berjubah gelap dari Tao Langit Hitam mampir ke kedai. Tak sengaja, tangannya menyentuh lengan Haikun. Ia berhenti seketika, lalu menggenggam erat tangan Haikun, meneliti jalur meridiannya.
Matanya berkilat.
"Meridianmu... lebar, bercabang banyak. Kau berbakat menjadi Tao!" Katanya dengan penuh semangat.
Haikun menarik tangannya. "Ah, Tuan. Kau pasti salah. Aku hanya seorang pelayan. Tak pernah belajar apa pun soal Tao atau pendekar Qi."
Haikun tertawa canggung.
"Tidak-tidak. Aku tahu betul, tubuhmu memiliki potensi. Ikutlah denganku, kau akan menjadi Tao yang hebat."
"Saya tidak bisa, Tuan. Saya memiliki istri yang tengah hamil. Saya tidak bisa pergi jauh." Haikun menggaruk kepalanya, menggeleng cepat.
"Menjadi Tao dan menjalankan banyak misi, kau akan memperoleh banyak uang. Cukup untuk hidup layak istri dan anakmu."
"Saya minta maaf, tapi saya tidak bisa, Tuan." Haikun menunduk singkat dan beranjak pergi.
Tapi Tao itu tidak menyerah. Hari demi hari ia datang kembali, membujuk, merayu, bahkan meyakinkan bahwa Haikun akan menjadi luar biasa.
Sampai suatu malam terjadi keributan di kedai. Beberapa perampok menyerang, dan Tao itu mengatasinya dengan mudah.
"Siapa pun, hentikan mereka!" Teriak pemilik kedai melihat perampok merangsek masuk membawa keping-keping emasnya.
"Balai Hukum, tolong panggil mereka!" Haikun berteriak sambil meringkuk di balik meja.
Tao itu berdiri tenang. Melangkah maju ke arah para perampok sambil menyebarkan kertas-kertas kuning bertulis mantra. Dengan satu ucapan mantra, semua kertas itu terbakar.
WUUUSSH!
Asap hitam mengepul tinggi, membentuk siluet-siluet mengerikan. Beberapa Jiangshi muncul—tubuh kaku dengan mata kosong—melompat dengan gerakan patah-patah namun cepat.
KRAK! KRAK! KRAK!
Dalam sekejap, semua perampok roboh tanpa sempat melawan. Tubuh mereka jatuh satu per satu, menghantam lantai dengan keras.
Haikun terpana. Teringat kembali bagaimana dulu ia hanya bisa pasrah ketika Yaohua melindunginya dengan darah dan nyawa.
Tao itu mendatanginya, menunduk dan berbisik padanya yang sedang meringkuk.
Kata-kata Tao itu menancap dalam hatinya:
"Tanpa kekuatan, kau hanya akan jadi beban."
Beberapa hari kemudian, Haikun pulang dengan wajah penuh tekad.
Yaohua, yang saat itu sedang mengelus perutnya yang kian membesar, menyambutnya.
"Kau tidak perlu bekerja lagi," ucap Haikun sambil menaruh sekantong besar perak di meja.
Yaohua terbelalak. "Uang ini... dari mana?"
Haikun menunduk sebentar, lalu berkata, "Dari seorang Tao. Uang ini cukup untuk dua tahun. Aku... akan ikut dengannya."
Haikun mengelus kepala istrinya.
"Aku janji, setiap tahun aku akan pulang, membawa lebih banyak uang."
Air muka Yaohua berubah tegas. "Tidak! Apa gunanya uang banyak, jika kau tidak ada di sisiku?"
"Ini bukan sekadar soal uang. Aku juga ingin jadi kuat... aku tidak ingin kau terus melindungiku."
Haikun terus membujuk istrinya. Hari demi hari ia berjanji, bahwa ketika anak mereka remaja, ia akan berhenti. Ia akan pulang, mendirikan penginapan sendiri.
Perlahan hati Yaohua luluh. Dengan berlinang air mata, ia mengizinkannya.
Tahun berikutnya, Haikun benar-benar kembali.
Ia membawa uang, tapi tubuhnya berubah. Kurus. Pucat. Matanya kosong. Tak ada lagi pria hangat dan penyayang. Sekarang, ia menjadi pria dingin yang terobsesi pada kekuatan.
Bahkan ketika anaknya lahir, tak ada senyum dari bibir Haikun. Mengetahui bayinya buta, membuat Haikun bertambah dingin. Ia lebih sering menutup diri, merapal mantra, daripada tersenyum pada keluarganya.
Hingga suatu hari, ia meminta izin membawa sang anak.
"Aku akan mengobati matanya," katanya. "Aku tidak tahan melihatnya menderita."
Kali ini suaranya lebih lembut.
Yaohua curiga, namun Haikun meyakinkan dengan tatapan penuh keyakinan.
Dan sejak itu... ia tidak pernah kembali.
Waktu berlalu. Dua tahun kemudian, Yaohua tak tahan lagi. Ia bertanya pada tabib tua yang dibantunya.
"Tabib... kenapa suamiku tak kembali? Kenapa anakku juga tak kembali? Apa kau tahu sesuatu?"
Tabib tua itu terdiam lama, lalu berkata dengan ragu, "Kau bilang... sudah dua tahun?"
Yaohua mengangguk. Wajahnya tegang.
Suara tabib bergetar. "Dalam Tao Gelap... ada cara cepat meningkatkan ranah. Yaitu... mengorbankan darah daging sendiri."
Kalimat itu menghantam Yaohua seperti petir.
Dunia berputar. Tubuhnya goyah. Dan ia jatuh pingsan di lantai.
Tahun-tahun berlalu. Luka di hatinya tak pernah sembuh.
Ia bangkit seorang diri, hidup tanpa anak dan tanpa suami. Pernah ia mencoba membuka diri, menjalin kasih dengan seorang lelaki baru. Namun tak lama, lelaki itu tewas di tangan seorang pendekar Qi misterius yang menggunakan Seni Pembalik Aliran Qi.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Setiap kali ia mencoba mencintai, setiap kali pula seorang pria yang dekat dengannya dibunuh dengan cara sama.
Dan kini—malam sunyi menjadi saksi.
Seakan seluruh kisah pahit yang ia simpan bertahun-tahun mengalir deras, pecah dalam tangisan lirih di dada Mo Long.
Lampu minyak redup menari di dinding, menyinari tubuh dua insan di bawah selimut tipis. Pakaian mereka telah ditanggalkan, hanya kehangatan tubuh yang menyatukan.
Yaohua berbaring di dadanya. Wajahnya pucat namun lembut. Suara getir dari masa lalu bergema langsung ke telinga Mo Long.
Dengan suara lirih, ia berkata, "Setiap kali aku mencoba dekat dengan seorang pria... selalu ada yang datang. Dia mengendalikan orang-orang, memaksa mereka melakukan teknik Seni Pembalik Aliran Qi untuk membunuh pria di dekatku. Berkali-kali. Hingga aku tak bisa lagi merasakan cinta."
Mo Long terdiam sejenak. "Apa kau tahu bagaimana suamimu mengendalikan orang-orang itu?"
"Racun," jawab Yaohua pelan. "Dia mengendalikan mereka dengan sebuah racun."
Air mata menetes di pipinya.
Mo Long membelai rambutnya perlahan. Suaranya tenang namun penuh keteguhan. "Aku bisa mengatasinya."
Yaohua mendongak. Matanya bergetar. "Tidak... jangan. Besok kembalilah ke klanmu, lupakan aku. Jika tidak, kau pun akan terbunuh."
Mo Long tersenyum samar, lalu menunduk. Suaranya nyaris berbisik. "Tidak bisa. Aku tidak tahan melihat wanita secantik dirimu terus menderita."
Tubuh Yaohua bergetar. Ia membenamkan wajahnya ke dada Mo Long. "Jangan... kumohon jangan..." Bisiknya berulang kali, penuh ketakutan dan keinginan.
Namun di balik pelukan hangat itu, mata Mo Long tidak memancarkan kasih sayang.
Sebaliknya, matanya berkilat tajam dalam kegelapan. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai tipis yang tersembunyi.
'Racun pengendali pikiran... racun yang bisa memaksa orang meledakkan potensi Qi mereka...' Mo Long menarik napas perlahan, menenangkan degup jantungnya yang berdebar karena kegembiraan.
'Jika aku mendapatkan racun itu... aku bisa memiliki pasukan boneka bunuh diri yang sempurna.'
Ia membelai rambut Yaohua lebih lembut, suaranya berbisik penuh kehangatan palsu. "Tidurlah. Aku akan melindungimu."
Yaohua mengangguk pelan, tubuhnya rileks dalam pelukan Mo Long.
Namun di balik kelembutannya, mata Mo Long berkilat dingin—seperti predator yang baru menemukan mangsa.
Bukan cinta yang ia rasakan.
Hanya perhitungan.
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁