Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Gaya yang Norak
Setelah beberapa saat memijat kaki Leon dengan penuh kehati-hatian, Nayla perlahan mengalihkan tangannya ke lengan pria itu. Ia duduk di tepi ranjang, menjaga jarak secukupnya, namun cukup dekat untuk dapat menjangkau bagian tubuh yang perlu dipijat.
Leon berbaring menyamping, wajahnya mengarah langsung ke arah Nayla. Dalam posisi itu, pandangannya tak bisa lepas dari wajah gadis muda itu—sederhana, polos, tanpa riasan apa pun. Namun justru kesederhanaan itulah yang membuat Nayla tampak begitu alami di mata Leon.
Mata Leon tanpa sadar menatap rambut Nayla yang dikepang dua, Leon tidak suka dengan gaya rambut seperti itu.
Tanpa sadar, tangan Leon terulur hendak menarik salah satu kepangan rambut Nayla.
“plaak"
Tanpa sadar Nayla menepis tangan leon
Seketika Nayla terkejut atas tindakannya sendiri. Ia menunduk takut, napasnya tercekat. “Maaf, Tuan… saya tidak bermaksud kasar…”
Leon mendecih pelan, lalu melontarkan tatapan sinis. “Memangnya aku mau apa? Menyentuhmu? Tidak sudi aku menyentuh gadis seperti kamu.”
Ucapan Leon menusuk, tetapi Nayla hanya terdiam. Di dalam hatinya bertanya-tanya, kalau memang tak sudi menyentuhku, kenapa tanganmu tadi terulur begitu saja?
Pikiran Nayla baru beralih ketika tiba-tiba Leon benar-benar menarik salah satu ikatan rambutnya.
“Lepas,” perintahnya dengan nada datar. “Norak sekali gaya rambutmu.”
Nayla tertegun sejenak, tapi ia tidak melawan. Dengan perlahan, ia melepaskan kedua ikatan rambutnya. Rambut hitam legam itu pun tergerai, jatuh menutupi sebagian bahunya.
Leon tak bisa memalingkan pandangan. Rambut Nayla yang tergerai seperti itu justru membuat penampilan gadis itu terlihat berbeda—lebih lembut, lebih anggun.
Tak lama, Nayla merapikan rambutnya sendiri, mengumpulkannya ke belakang lalu mengikat satu ke atas. Gerakan sederhana itu memperlihatkan leher jenjangnya yang putih bersih. Sekilas, dada Leon terasa berdesir. Ia sendiri tak tahu kenapa.
Hasrat aneh muncul di dalam dirinya. Ia ingin menyentuh leher jenjang itu. Namun segera ia mengerjapkan mata, menepis pikirannya sendiri.
Apa-apaan ini? rutuknya dalam hati. Tidak mungkin aku tergoda dengan gadis kampung ini
Setelah selesai mengikat rambutnya, Nayla bertanya Dengan sopan dan hati-hati.
“Tuan… saat saya memijat kaki Tuan tadi… apakah terasa sakit?” tanyanya pelan, berhati-hati dalam memilih kata.
Mendengar pertanyaan itu, Leon langsung membuka mata dan menatap tajam.
“Apa maksudmu?” suaranya datar tapi tajam. “Kau sedang menghinaku karena aku lumpuh?”
Nayla buru-buru menggeleng. “Tidak! Bukan begitu maksud saya. Saya hanya… saya hanya ingin tahu… siapa tahu kalau kaki Tuan rutin dipijat, bisa sedikit demi sedikit merespon…”
Leon tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar. Diam. Tapi bukan karena marah—melainkan karena pikirannya mulai bertarung sendiri dengan kenyataan yang selama ini coba ia abaikan.
Melihat Leon tidak lagi bereaksi keras, Nayla melanjutkan memijat tangan pria itu. Tangannya kini sudah jauh membaik, tidak lagi terihat bengkak saat pertama Nayla pegang tadi.
Beberapa menit berlalu, suasana di dalam kamar mulai tenang. Tanpa sadar, suara napas Leon mulai berat dan teratur. Nayla menoleh pelan. Tuan Leon tertidur.
Senyum kecil tersungging di wajah Nayla. Ia lalu bangkit pelan, mengambil selimut dari ujung ranjang dan menyelimuti tubuh pria itu dengan lembut.
Tatapannya tak lepas dari wajah pria yang kini terlihat begitu tenang saat tidur. Sorot matanya tak lagi dingin, garis rahangnya tidak lagi tegang. Tapi meski tampak teduh, Nayla tahu… Begitu banya luka yang ditanggungnya
Luka yang bukan hanya bersarang di kaki Leon, tapi juga di hatinya.
Bukan hanya karena kecelakaan yang membuatnya tak bisa berjalan, tetapi karena ia ditinggalkan oleh wanita yang seharusnya menjadi sumber semangat di masa-masa sulitnya.
---
Setelah yakin bahwa Leon benar-benar telah tertidur lelap, Nayla berdiri perlahan dari sisi ranjang. Ia memastikan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Dengan hati-hati, ia melangkah menuju pintu kamar dan membuka pintunya perlahan. Sebelum sempat menutup pintu kembali, suara langkah seseorang mengejutkannya.
“Nayla!” panggil Gaby, sang nyonya rumah, dari arah lorong.
Nayla menoleh dengan sopan. “Ya, Nyonya?”
Gaby menghampirinya dengan senyum lembut. “Bagaimana? Apakah Leon menerimamu untuk merawatnya?”
Nayla mengangguk pelan. “Sepertinya begitu, Nyonya. Saat ini Tuan Leon sudah tertidur.”
Gaby tampak lega mendengar jawaban Nayla. “Syukurlah. Akhirnya ada juga yang bisa mendekatinya tanpa ditolak. Sudah berapa perawat yang menyerah karena sikap Leon... bahkan beberapa ada yang sampai menangis.”
Mereka berjalan turun bersama menuju ruang bawah. Saat tiba di ruang tengah, Nayla membungkuk sopan.
“Maaf, Nyonya. Saya mohon izin keluar sebentar. Ada beberapa keperluan yang perlu saya beli.”
Gaby langsung menatap Nayla, lalu mengangguk. “Tentu. Tapi biarkan supir yang mengantarmu, ya. Jangan berjalan sendiri.”
“Oh, tidak perlu repot, Nyonya. Saya bisa—”
“Tidak, Nayla. Ini untuk kebaikanmu juga,” potong Gaby dengan nada tegas tapi tetap bersahabat.
Akhirnya Nayla pun menurut. Gaby mengantarkan Nayla sampai ke mobil yang telah disiapkan dan mempercayakan Nayla kepada supir kepercayaannya.
Sesampainya di pusat perbelanjaan, Nayla segera membeli beberapa barang kebutuhan pribadi serta beberapa perlengkapan medis ringan yang sekiranya akan membantunya saat merawat Leon.
Saat hendak kembali ke mobil, matanya tiba-tiba menangkap sebuah etalase kecil yang menjual aneka kue. Di antara semua pilihan, mata Nayla terpaku pada satu jenis kue.
“Kue kesukaan Ayah...” pikirnya, senyumnya mengembang.
Tanpa pikir panjang, Nayla membeli kue itu dan meminta supir untuk mengantarkannya ke rumah ayahnya sebentar.
Setibanya di rumah, Nayla disambut oleh bibinya dengan tatapan cemas.
“Nayla? Kamu kenapa pulang? Baru juga kerja, kok sudah balik?” tanya bibi Nayla penuh kekhawatiran.
Nayla tersenyum menenangkan. “Tenang, Bi. Aku nggak apa-apa. Cuma beli kue ini buat Ayah, biar beliau senang.”
Bibi Nayla menghela napas lega. Nayla lalu masuk sejenak, meletakkan kue di atas meja, dan berbicara sebentar dengan ayahnya. Namun waktu begitu cepat berlalu, dan Nayla sadar ia harus segera kembali.
“Aku pamit, Bi. Nanti Tuan Leon bisa marah kalau dia bangun dan aku belum kembali,” katanya buru-buru.
Dalam perjalanan pulang, Nayla hanya melamun. Matanya menatap ke luar jendela, pikirannya melayang. Macet sore itu membuat perjalanan sedikit lambat.
“Apa Tuan Leon akan marah? Atau malah memecatku?” batinnya gelisah.
Begitu tiba di kediaman keluarga Mahesa, Nayla langsung turun dari mobil. Di depan pintu masuk, Bibi Eli sudah menunggu.
“Nayla! Cepat naik ke atas. Tuan Leon sudah mencarimu dari tadi. Katanya kamu pergi tanpa izin darinya. Wajahnya tampak sangat kesal.”
Dada Nayla langsung berdegup kencang. Wajahnya panik.
Nayla segera menuju lift, menekan tombol ke lantai atas. Sesampainya di depan kamar Leon, ia mengetuk pintu perlahan.
Tok... tok...
Tak ada jawaban.
“Nayla... tenang. Tenang…” bisiknya menyemangati diri.
Ia akhirnya memberanikan diri membuka pintu perlahan. Begitu pintu terbuka, ia melihat Leon sedang duduk bersandar di tempat tidur, mata tertuju pada layar laptop. Kegugupan Nayla makin bertambah melihat Leon masih tak mengenakan baju.
Langkah Nayla tertahan. Namun ia mencoba tetap tenang dan perlahan mendekati tempat tidur.
“Tuan...” panggilnya pelan.
Belum sempat Nayla menjelaskan, Leon menutup laptopnya dan menatap Nayla dengan mata tajam.
“Aku pikir kamu sudah pergi. Rupanya kamu juga sama seperti yang lain. Tidak sudi merawat orang cacat sepertiku, ya?” suaranya terdengar dingin dan penuh sindiran.
Nayla langsung menunduk, merasa bersalah.
“Tidak, Tuan. Bukan begitu maksud saya. Saya pergi karena ada keperluan yang harus saya beli. Dan... saya melihat kue kesukaan ayah saya, jadi saya membelinya dan mengantarnya sebentar.”
Leon tak menjawab. Tatapannya tak berubah. Membuat Nayla semakin gugup.
“Aku tidak suka saat aku butuh sesuatu, tapi kamu tidak ada,” ucap Leon dingin.
“Saya minta maaf, Tuan. Saya seharusnya minta izin langsung pada Anda,” ujar Nayla lirih, nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba, suara Leon memanggilnya pelan. “Nayla.”
Nayla menoleh pelan.
“Dekatlah.”
Nayla ragu-ragu, namun akhirnya melangkah mendekat ke sisi ranjang.
Leon menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. Suaranya terdengar lebih pelan, namun dalam.
“Aku ingin kau berada di sini... setiap waktu. Aku tidak suka saat kau tidak ada.”
Nayla mengerjapkan mata mendengar permintaan Leon.