Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
“Lili, kalau kamu bicara seperti itu aku bisa salah paham. Ingat, sekarang aku suami adikmu. Jangan suka bercanda,” ucap Septian, suaranya terdengar dingin namun mengandung getar halus seolah berusaha membangun benteng. Ia tidak mau Liliana tahu perasaannya yang sebenarnya, bahwa ada ketertarikan yang seharusnya tak pernah ada. Ia sangat tahu, Liliana adalah kakak yang begitu menyayangi adiknya.
“Septian, aku—”
“Kita sebentar lagi sampai rumah sakit. Kasihan Lira belum istirahat. Nanti aku akan bicara lagi sama Riana. Percayalah, dia hanya marah sesaat,” potong Septian cepat, lalu menekan pedal gas lebih dalam. Jalanan malam terasa semakin sunyi, menyamarkan gejolak yang tak terucap.
Liliana menoleh ke arah jendela, menahan helaan napas. Dalam hati, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tenang, Lili. Masih banyak kesempatan. Apalagi Septian sudah menjatuhkan talak pada Riana. Untuk bersama dengannya, hanya tinggal menunggu waktu.
***
Di sisi lain, Alif tengah berkunjung ke rumah Arsen untuk membicarakan masalah relawan yang akan dikirim ke Sorong. Istri Arsen, Naya, yang membuka pintu menyambut kedatangan tamu itu.
“Dokter Alif,” sapa Naya begitu menyadari siapa yang datang. Sosok itu tak lain adalah pemilik Rumah Sakit X, tempat suaminya bekerja. “Silakan masuk, Dok. Saya panggil Mas Arsen dulu.”
“Naya, gak usah terlalu formal begitu,” ucap Alif sambil melangkah masuk dan mengambil tempat duduk.
“Bagaimana saya bisa tidak formal? Siapa sangka bujang lapuk ini ternyata pemilik Rumah Sakit X. Ya, meski kakak saya, Nisa, yang pegang saham terbesarnya. Oh iya, kebetulan ada Dito juga,” ujar Naya dengan nada kikuk.
Alif tertawa kecil. “Kamu ini. Kebetulan sekali, memang ada acara apa?”
Naya hanya menanggapi dengan senyum tipis. Mana mungkin ia menceritakan yang sebenarnya, kalau Dito dan Nisa baru saja bertengkar. Dito pun melampiaskan kekesalannya dengan datang ke rumahnya, membuat suaminya harus ikut terjebak mengikuti mood lelaki itu. Akibatnya, anaknya sendiri jadi kehilangan waktu bersama sang ayah.
“Naik aja ke atas, Dok, biar tahu sendiri,” ucap Naya, mencoba menutupi kegugupannya dengan senyum hambar.
Alif mengernyit, separuh heran. Namun sebelum sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Arsen muncul bersama Dito, yang wajahnya tampak tegang.
“Kalian sudah turun? Aku buatkan minum dulu,” ucap Naya dengan nada halus.
“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Nanti kita gak bisa kasih adik buat Rayandra,” goda Arsen sambil menatap istrinya penuh manja.
Dito yang melihat kemesraan itu hanya bisa menghela napas panjang. Ia mendekat ke arah Alif dan berbisik sinis, “Kita ini kayak obat nyamuk, gak habis-habis buat nemenin mereka.”
“Kita?” Alif menoleh dengan alis terangkat.
“Ya iyalah, siapa lagi? Aku punya istri, tapi tiap hari ribut kayak anjing sama kucing. Kamu? Bujang lapuk,” celetuk Dito tanpa tedeng aling-aling.
Alif hanya menaikkan alisnya, lalu menimpali datar, “Apa perlu aku panggil Nisa ke sini?”
Dito langsung membelalak. “Kamu gila? Mau bikin rumah Arsen jadi arena perang dunia ketiga?”
Alif terkekeh kecil, menggelengkan kepala. “Kalau begitu, mungkin ada cara lain. Kamu dan istrimu memang kayak anjing sama kucing. Tapi bagaimana kalau kalian ikut jadi relawan di Sorong? Bisa sekalian mempererat hubungan.”
Arsen yang mendengar usulan itu langsung menimpali, “Ide bagus. Aku setuju.”
Dito justru merengek seperti anak kecil, membuat semua orang tertawa, termasuk Naya.
Sejenak, Naya teringat bagaimana tiga tahun lalu ketiga orang itu dipertemukan dalam sebuah acara di Rumah Sakit X hingga akhirnya menjadi keluarga besar yang akrab. Hanya saja, setiap kali berkumpul, Alif sering jadi bahan olok-olokan karena masih sendiri. Sudah berulang kali Arsen dan Dito mencoba menjodohkannya dengan beberapa wanita, tapi selalu ditolak mentah-mentah.
“Dokter Alif, sebenarnya ke sini ada urusan apa?” tanya Naya, mencoba mengalihkan perhatian dari Dito yang masih cemberut.
“Ah, iya. Hampir saja lupa,” Alif menepuk keningnya. “Ini soal relawan di Sorong. Ar… aku berencana ikut turun langsung ke sana. Jadi, maksudku, aku ingin menitipkan Rumah Sakit X padamu untuk diurus sementara.”
“Ide gila macam apa itu? Itu rumah sakit besar, bukan warung nasi padang! Kamu nitipin ke Arsen, yang notabennya kepala dokter bedah? Al, kamu gak salah minum obat, kan?” cerocos Dito, hampir tak percaya dengan ucapan sahabatnya.
Alif hanya menghela napas panjang. “Mau bagaimana lagi? Kamu sendiri kan bakal ikut ke sana sama Nisa. Jadi, satu-satunya orang yang bisa aku percaya ya Arsen. Tapi kalau kamu maunya Nisa yang urus, aku juga gak keberatan. Kamu tahu sendiri kan, kemampuan manajemen Nisa bagus. Wajar saja kalau dia jadi pewaris keluarga Adrosono.”
"Pikiran kamu luar biasa Al," sahut Dito.
Sementara Arsen terdiam mendengar ucapan Alif. Ia tahu itu bukan sekadar gurauan. Mengurus rumah sakit sebesar X jelas bukan tanggung jawab ringan, apalagi dengan posisinya yang sudah penuh tekanan sebagai kepala dokter bedah.
“Al, kamu sadar gak apa yang kamu minta? Aku masih terikat dengan jadwal operasi. Rumah sakit sebesar itu gak bisa asal dititipkan begitu saja,” ujar Arsen, suaranya tenang tapi sarat keberatan.
Naya yang duduk di samping langsung ikut menimpali, “Mas Arsen benar. Kalau sampai dia harus tanggung jawab penuh di rumah sakit, kapan waktunya untuk keluarga? Rayandra aja sudah sering protes karena jarang main sama ayahnya.”
Alif menatap keduanya, wajahnya tetap serius. “Aku paham. Tapi pilihan kita terbatas. Relawan di Sorong butuh dokter berpengalaman, dan aku sudah memutuskan untuk turun langsung. Kalau aku tidak serahkan ke Arsen, siapa lagi yang bisa dipercaya?”
Dito melipat tangan di dada, mendengus, lalu menatap Alif dengan sorot mata menyelidik. “Tunggu dulu… aku rasa ini bukan sekadar soal relawan, kan? Jangan-jangan kamu lagi ngejar seseorang?”
Arsen dan Naya spontan ikut menoleh, pandangan mereka sama-sama penuh curiga sekaligus penasaran.
Alif mendadak kikuk, tenggorokannya terasa kering. “Heh? Apa maksudmu?”
“Kamu sedang mengejar wanita?” tanya Arsen. Nadanya terdengar lebih serius, meski senyum tipis tetap bermain di bibirnya.
“Heh, ini serius soal relawan. Kenapa kalian malah curiga begitu?” sahut Alif, suaranya terdengar kikuk, wajahnya memerah karena malu.
Justru reaksi itu membuat Dito makin puas. Ia menyeringai, lalu dengan santai melontarkan, “Jadi… janda mana yang kamu incar?”