Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Before the Hunt
Beberapa tahun sebelum tragedi itu mengubahnya menjadi malaikat maut, Akari Otsuki menjalani kehidupan ganda yang penuh kontradiksi. Ia adalah siswi di sebuah akademi elit, namun ia juga menyandang status sebagai siswi yang paling sering dirundung.
Akari selalu berangkat sekolah seperti biasa, membiarkan kehadirannya hampir tidak terdeteksi. Ia dikenal sebagai siswi pendiam di akademi itu; wajahnya yang tenang dan matanya yang merah gelap jarang menunjukkan emosi, sebuah topeng yang ia kenakan untuk menahan rasa sakit.
Namun, kediamannya tidak memberinya kedamaian.
Pada suatu pagi, saat ia sampai di ambang pintu kelas, Akari merasakan tatapan-tatapan menusuk dari teman-teman sekelasnya. Ketika ia sampai di mejanya, pandangannya langsung tertuju pada kehancuran yang sudah dikenalnya:
Coretan Keji: Meja kayunya dipenuhi coretan spidol permanen, termasuk kata-kata makian dan hinaan, seperti "Miskin" atau "Sampah".
Tumpukan Sampah: Sampah sisa makanan, bungkus minuman, dan kertas-kertas bekas sengaja ditumpuk di atas bukunya.
Teman-teman sekelasnya—terutama sekelompok kecil siswi kaya yang menjadi dalang bullying—berbisik-bisik, tetapi cukup keras untuk didengar:
"Lihat, si miskin itu masih berani sekolah di sini. Apa dia tidak malu? Lebih baik dia jadi pelayan saja."
Akari tidak bereaksi. Ia tidak menangis, tidak berteriak, dan bahkan tidak membalas tatapan mereka. Ia tidak menanggapi hal itu. Bagi Akari, kata-kata mereka hanya kebisingan latar belakang. Ia hanya melihat sampah dan coretan itu sebagai tugas yang harus diselesaikan.
Dengan tenang, Akari mengambil sekantong plastik dan mulai membersihkan sampahnya satu per satu. Ia mengambil sisa-sisa makanan itu seolah-olah mengambil daun kering. Coretan di meja ia usap dengan tisu basah sebisanya.
Saat ia membersihkan mejanya, Akari tidak menunjukkan kemarahan, hanya tekad yang dingin. Ia tahu bahwa perdebatan atau perlawanan di sekolah hanyalah membuang energi. Energi itu ia simpan untuk latihan Kendo sore hari, satu-satunya tempat ia bisa melepaskan diri dan merasa kuat.
Akari tetap tenang membersihkan mejanya. Ia telah mengumpulkan sebagian besar sampah, fokus pada tugasnya seolah-olah dunia di sekitarnya tidak ada.
Namun, perundungan itu tidak berhenti di sana.
Tiba-tiba, beberapa siswa dan siswi mulai beraksi. Mereka berjalan melewati meja Akari, masing-masing membawa sisa minuman atau bungkus makanan.
Seorang siswi berambut pirang pura-pura tersandung di dekat meja Akari, menyebabkan sisa kopi dingin di gelasnya tumpah ke punggung jaket Akari.
Seorang siswa dengan sengaja mengayunkan tangannya, menjatuhkan bungkus roti kotor tepat ke rambut Akari.
Mereka tidak menunjukkan penyesalan, melainkan seringai tersembunyi. Ketika Akari menoleh sedikit, mereka dengan mudah melontarkan kata-kata yang menusuk:
"Oh, astaga! Maafkan aku, Akari-san. Aku benar-benar tidak melihatmu di sana. Kukira itu adalah tempat sampah kelas yang baru dipindahkan. Dasar ceroboh!"
"Ya, maaf ya. Sulit membedakanmu dengan tumpukan sampah, tahu."
Tubuh Akari basah dan lengket, bau sisa makanan menempel di seragamnya yang sudah ia bersihkan dengan susah payah. Penghinaan itu bersifat fisik dan terbuka, disaksikan oleh seluruh kelas yang memilih untuk berpura-pura sibuk atau tertawa pelan.
Akari hanya terdiam.
Ia mengepalkan tangan di dalam saku jaketnya, merasakan kukunya menekan telapak tangan. Rasa sakit emosional akibat diperlakukan seperti benda mati bercampur dengan rasa dingin dari kopi yang membasahi jaketnya.
Ia tahu bahwa melawan hanya akan membuat mereka semakin menikmati penderitaannya. Akari menyelesaikan pembersihan, mengambil tempat duduknya yang kotor, dan diam-diam menunggu, membiarkan kebisingan cemoohan itu berputar di sekitarnya.
Ia tetap duduk tegak, rambut panjangnya yang diselipi aksen merah sedikit basah, tetapi matanya yang merah gelap sama sekali tidak goyah. Di matanya, tidak ada air mata, hanya kekosongan yang dingin—sebuah wadah yang menyimpan semua penghinaan ini, menunggu waktu yang tepat untuk membalas.
Akari terdiam hingga kelas akhirnya dimulai, dan tawa ejekan itu mereda menjadi bisikan, tetapi luka itu sudah tertanam.
.
.
.
Rutinitas Akari di sekolah adalah serangkaian penghinaan yang tak berkesudahan, dan hal itu mencapai puncaknya bahkan di luar kelas. Saat jam olahraga, di bawah teriknya matahari, para siswa dan siswi berkumpul di lapangan. Akari, seperti biasa, menarik diri dari keramaian dan melakukan pemanasan dengan fokus penuh, meregangkan otot-ototnya yang terlatih kendo.
Ia berharap dalam aktivitas fisik, ia bisa menemukan sedikit kedamaian. Namun, harapan itu segera sirna.
Saat Akari membungkuk untuk menyentuh ujung kakinya, punggungnya sedikit melengkung, dua siswa laki-laki yang selama ini sering mengganggunya melihat kesempatan. Mereka berbisik dan cekikikan, lalu salah satu dari mereka, seorang siswa bertubuh besar bernama Sato, melangkah maju.
Dengan seringai cabul di wajahnya, Sato memegang bokong Akari dengan tangan kasarnya.
Gerakan itu tiba-tiba, vulgar, dan merendahkan.
Dalam sekejap mata, naluri yang diasah bertahun-tahun dalam kendo mengambil alih. Akari tidak berpikir; ia hanya bereaksi.
Akari menoleh dengan cepat, matanya yang merah gelap berkilat tajam seperti bilah pedang. Sebelum Sato sempat menarik tangannya, Akari dengan gerakan cepat dan efisien yang hanya bisa dilakukan oleh seorang atlet kendo berpengalaman, membanting Sato.
Tubuh Sato yang lebih besar terlempar ke samping, membentur tanah dengan bunyi gedebuk yang keras dan menyakitkan. Napasnya tercekat, dan ia meringis kesakitan, terkejut oleh kekuatan yang tak terduga dari gadis pendiam itu.
Seketika, seluruh lapangan terdiam.
Tawa dan bisikan yang tadinya mencibir Akari mendadak lenyap. Semua mata tertuju pada Akari yang berdiri tegak, napasnya sedikit terengah-engah, tetapi ekspresinya menunjukkan kemarahan yang membara.
Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Beberapa siswi yang sering merundungnya segera berbisik-bisik lagi.
"Lihat dia, sok jual mahal! Padahal cuma dipegang sedikit saja!"
"Dasar lebay! Merasa paling suci, ya?"
Bahkan beberapa siswa laki-laki yang menjadi teman Sato mulai mencibir, mencoba menutupi rasa malu teman mereka.
Akari merasa darahnya mendidih. Ia telah membela diri, tetapi seperti biasa, ia disalahkan. Tidak ada yang datang menolongnya, tidak ada yang membela. Ia hanya melihat tatapan-tatapan menghakimi yang menuduhnya sebagai "sok jual mahal", "berlebihan", atau "mencari perhatian".
Pada momen itu, Akari merasa lebih sendirian dari sebelumnya. Ia mengerti bahwa di dunia ini, keadilan tidak akan datang dengan sendirinya, dan ia tidak bisa mengandalkan siapa pun. Kekuatan yang ia miliki hanyalah miliknya sendiri, dan ia harus menggunakannya.
Setelah hari yang penuh dengan penghinaan di akademi, Akari kembali ke rumah. Begitu pintu geser terbuka, topeng siswi pendiam dan keras di sekolah itu langsung terlepas.
Di dalam rumah Otsuki yang sederhana namun penuh kehangatan, Akari selalu merasa senang dan aman. Ayahnya, seorang pria yang jujur, dan ibunya, yang penyayang, adalah satu-satunya sumber kebahagiaan dan validasi Akari.
Saat makan malam, Akari yang di sekolah diam, berubah menjadi gadis yang banyak tertawa dan mengobrol. Ia menceritakan hasil latihan kendo-nya, tentang jurus baru yang ia pelajari, dan terkadang ia mengolok-olok kebiasaan ayahnya dengan tawa renyah. Setiap tawa dan senyum adalah usaha Akari untuk menutupi segala bullying yang ia dapatkan di akademi. Ia menelan ludah dan menahan semua rasa sakit itu, karena ia tahu tawa orang tuanya adalah hal paling berharga di dunia.
Suatu malam, Akari melihat ibunya terlihat sangat lelah setelah bekerja sambilan lagi. Ibu Akari tersenyum meyakinkan, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan keletihan.
"Ibu, jangan terlalu memaksakan diri," tegur Akari dengan nada khawatir, "Uang sekolahku memang mahal, tapi Ibu harus istirahat. Aku tidak mau Ibu sakit."
Ibunya hanya tertawa dan mengusap kepala Akari, "Tidak apa-apa, Nak. Demi masa depanmu. Ibu dan Ayah senang melihatmu di sana."
Ayahnya, yang selama ini diam mendengarkan, meletakkan sumpitnya. "Nak, Ayah mau bertanya jujur," Ayah menatap Akari dengan lembut, "Apa kamu benar-benar suka bersekolah di Akademi itu?"
Pertanyaan itu seketika membuat Akari terdiam. Semua kebohongan yang ia bangun terasa menusuk. Ia ingat coretan di mejanya, tumpahan kopi di jaketnya, dan cemoohan "sok jual mahal" yang ia dengar hari ini.
Akari memandang wajah lelah kedua orang tuanya yang tersenyum padanya, penuh harapan, wajah yang bekerja keras hanya untuk memberinya kesempatan terbaik. Akari tahu, jawaban jujur akan menghancurkan senyum itu. Ia tidak ingin mereka kecewa, apalagi menyalahkan diri sendiri karena telah memaksanya.
Akari menarik napas, tersenyum lebar—senyum paling palsu yang pernah ia pamerkan—dan menjawab:
"Tentu saja, Ayah! Akari suka sekali! Kendo di sana bagus, dan aku janji akan lulus dengan nilai terbaik!"
Ia berhasil. Kedua orang tuanya tersenyum dan tertawa lega, bahagia melihatnya bahagia. Mereka melanjutkan makan malam, dan Akari menatap mereka, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apa pun agar kedua orang tuanya tetap tersenyum dan tertawa—meskipun itu berarti ia harus menanggung semua penderitaan sendirian.