Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 : Tak Pernah Cukup
Apa itu tawa dan candaan? Seakan dua kata tersebut hanyalah sebuah kenyataan yang tak pernah Arumi temui di dalam pernikahannya bersama dengan Raka selama ini.
Pernikahan Arumi dan Raka yang sudah memasuki usia satu tahun tidak pernah dipenuhi dengan teriakan, tidak ada dentuman pintu yang dibanting, gelas pecah, ataupun kata-kata kasar dengan nada tinggi yang memantul di dinding rumah.
Arumi membuka mata di pagi hari dan beranjak ke dapur terlebih dahulu, seperti aktifitas rutin baginya. Ia selalu bangun lebih awal dari Raka, bukan karena ia rajin, melainkan karena dia ingin menjalani kewajibannya sebagai seorang istri untuk menyiapkan segala keperluan sang suami. Arumi bergerak tanpa suara, mulai dari beberes rumah dengan menyapu dan menghilangkan debu yang menempel di setiap barang-barang yang ada, walau debu itu tidaklah setebal yang ada karena memang sudah dibersihkan setiap saat.
Ia lalu bergegas menyiapkan sarapan untuk Raka, harus selesai sebelum suaminya itu bangun. Tangan Arumi begitu lihai mengerjakan semuanya seperti sudah hafal dengan urutan apa saja yang akan dia lakukan setelahnya.
Selesai memasak, ia menata makanan di atas meja lalu lanjut melakukan kegiatan rumah yang lain hingga matahari menunjukkan sinarnya dan Raka bangun. Pria 35 tahun itu memasuki ruang makan dengan pakaian lengkap dan rapi, sebuah tas kotak yang sangat pas di genggamannya serta sepatu hitam mengilap yang sangat bersih.
Raka duduk di kursi utama tanpa melakukan sapaan sedikitpun terhadap Arumi, seolah perempuan itu tak pernah ada di dekatnya saat ini. Raka membaca koran yang telah tersedia di atas meja dengan Arumi yang sibuk menata makanan di atas piring sang suami.
Raka menurunkan koran tersebut lalu meneguk kopi hangatnya dan mulai menyuap makanan yang ada. “Apa garam sudah habis di dapur? Rasanya sangat hambar dan tidak enak sama sekali.” Arumi yang baru akan menyuap sop ke dalam mulutnya langsung terhenti ketika sang suami mengeluarkan kata-kata itu.
Tanpa banyak bicara, Arumi mencoba sop tersebut dan rasanya enak saja, tapi dia tidak mau berdebat, ia ambil garam halus di dapur dan menaruhnya di depan sang suami.
“Tambahkan saja garamnya kalau memang di lidah kamu rasanya hambar.” Arumi berujar sembari mendorong botol garam ke dekat sop Raka.
“Aku kenyang, lain kali tolong perhatikan setiap rasa di dalam masakanmu. Selama ini, masakanmu selalu terasa aneh untukku, Arum.” Raka mendorong piring makanannya dan berdiri dari kursi dengan tenang.
Ia raih tas kerja miliknya dan pergi begitu saja meninggalkan Arumi yang duduk termenung di meja makan.
Saat suara mobil Raka menjauh dari halaman rumah, Arumi melanjutkan makannya dengan tenang dan tidak merasa ditinggalkan sama sekali. Rumah mereka sudah biasa seperti ini, terasa sunyi walau ketika berpenghuni.
Arumi kembali membereskan makanan yang tersisa di atas meja dan membungkusnya dengan rapi. Semua makanan yang dia masak pagi ini tidak akan dimakan lagi untuk malam hari oleh suaminya, itu hal biasa bagi Arumi.
Perempuan itu bersiap dengan pakaian yang rapi dan anggun lalu melesat pergi dari rumah menuju tempat di mana para gelandangan berkumpul, ia bagikan beberapa bungkus makanan tersebut pada gelandangan itu dengan wajah tersenyum bahagia seakan dia tak pernah merana.
“Terima kasih Kak Arum.” Salah seorang gelandangan kecil berucap dengan akrab karena memang sudah mengenal Arum.
“Sama-sama, Tina. Dihabiskan makanannya ya. Jangan sampai dibuang, kalau gak enak, anggap saja enak. Oke.” Arumi berkata dengan riang dan tentunya dibalas riang pula oleh mereka.
“Masakan Kak Arumi selalu enak kok. Gak pernah ada yang gagal,” puji Tina yang membuat kepala Arumi mendongak untuk tertawa.
Pulang dari tempat itu, Arumi menatap fokus ke jalanan dengan perasaan bersyukur luar biasa. Walau bersama Raka, dirinya selalu kurang tapi bersama para gelandangan tersebut, dia selalu merasa cukup.
“Setiap kali aku di rumah, rasanya seperti orang tak berharga. Setelah kembali dari tempat itu, aku sangat bersyukur karena masih diberikan kehidupan yang layak hingga bisa menikmati semua makanan tanpa harus menunggu pemberian dari orang lain,” lirih Arumi dengan senyum melengkung di bibirnya— sangat manis dan anggun.
...***...
Malam menjelang, Arumi membukakan pintu untuk Raka yang baru saja pulang bekerja. Tampak sekali wajah pria itu kelelahan dan Arumi sudah menyiapkan semua yang Raka perlukan. Mulai dari makanan, minuman, air panas hingga pakaian ganti yang nyaman.
“Selesai mandi, makanlah dulu. Aku sudah memasak makanan kesukaan kamu dan kali ini tidak hambar,” kata Arumi saat Raka menenteng handuk.
“Iya. Aku juga sangat lapar, oh iya. Ini uang bulananmu,” ujar Raka sembari menyodorkan amplop cokelat pada Arumi yang isinya cukup banyak.
Arumi tersenyum dan mengangguk lalu menyimpan uang tersebut di dalam lemari. Ia bersiap menunggu Raka untuk makan malam bersama.
Sekitar setengah jam menunggu di meja makan, Arumi kembali melihat suaminya di dalam kamar karena tak kunjung keluar. Ternyata pria itu tertidur sehabis mandi, mungkin karena dia amat lelah bekerja seharian.
Arumi yang begitu lapar tidak menyentuh makanannya lantaran Raka juga tertidur dalam kondisi menahan lapar. Ia tak tega membangunkan Raka, ia simpan semua makanan itu dan akan dipanaskan jika nanti Raka bangun.
Arumi merebahkan tubuhnya di samping Raka dan mulai memejamkan mata. Sekitar pukul 2 dini hari, pria itu membangunkannya dan meminta untuk disiapkan makanan. Arumi bangun tanpa membantah, dia ke dapur dan memanaskan makanan semalam.
Saat dihidangkan, Raka menatap istrinya dengan tatapan tajam. “Kamu mau membunuhku dengan makanan basi ini? Kenapa tidak membuatkan makanan yang baru? Dasar pemalas,” gerutu Raka dengan wajah tak senang yang membuat hati Arumi begitu sakit.
Arumi tidak menjawab sama sekali, dia memilih untuk kembali ke dapur dan memasakkan makanan baru yang diinginkan suaminya. Padahal makanan semalam tidak basi sama sekali dan masih enak disantap.
Setelah makanan baru tersaji, Raka makan dengan tenang tanpa memuji sama sekali. Arumi memilih untuk makan makanan yang dia panaskan tadi, sayang sekali jika nanti makanan itu terbuang.
“Selalu saja begini, telur ini terlalu asin, Arum. Lain kali kalau memasak telur dadar, kurangi pemberian garamnya.” Lagi-lagi Raka protes akan masakan istrinya.
“Maaf, mungkin aku tadi teledor saat memasukkan garam.” Arumi menjawab singkat.
“Mungkin?” Raka menatapnya dengan sedikit mencondongkan tubuh. “Itu bukan mungkin, Arumi. Kamu selalu saja salah dalam meracik setiap bumbu masakan, tidak ada yang enak dari masakan kamu. Aku sangat lapar sekarang dan harus memakan makanan yang tidak tersentuh lidah sama sekali.” Perkataan Raka sangat menusuk ke hati Arumi tapi masih bisa ia tahan karena memang hari-hari selalu begini. Nada bicara Raka tak pernah meninggi, tapi selalu menyakitkan.
“Maafkan aku, aku akan belajar memasak lebih baik lagi.” Arumi menunduk dan memakan makanannya kembali.
Raka terdengar berdecak kesal lalu menaruh sendok dan garpu dengan kasar di atas meja yang membuat Arumi tersentak kaget.
Pria itu mengakhiri kegiatan makannya dan menarik Arumi pergi dari ruang makan tersebut tanpa peduli kalau saat ini makanan belum habis dan Arumi masih merasa lapar.
Raka kali ini meminta haknya sebagai suami dan ingin dilayani di atas ranjang. Arumi tak protes ataupun membantah, dia hanya menurut dan melayani suaminya dengan baik hingga selesai berhubungan perkataan menyakitkan itu muncul dari mulut suaminya lagi.
“Kenapa makin hari kamu makin tidak bisa memuaskan aku? Tubuhmu bahkan tidak menarik, Arumi. Apa salahnya merawat diri dengan baik.”
Arumi menghela napas dan memiringkan tubuhnya membelakangi Raka yang saat ini tengah mengenakan pakaian. Pria itu keluar dari kamar melanjutkan makan dan merokok dengan santai, sementara Arumi memilih tidur agar suasana hatinya membaik.
“Selama ini aku melayani kamu dengan baik dan selalu merawat diri. Hanya saja, aku tak pernah terlihat cukup untukmu, Raka.” Arumi bergumam lirih dengan air mata yang perlahan menetes sebelum kedua mata itu terpejam.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir