Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Shaka buang berlian demi serpihan kaca
Malam semakin pekat ketika mobil hitam milik Shaka melaju menembus jalanan basah. Wiper bekerja keras menyapu sisa hujan di kaca depan, sementara jantung Shaka berdetak tak karuan.
Tangannya menggenggam setir begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Antara marah, menyesal, dan takut, semua campur menjadi satu.
“Kenapa semua jadi begini, Amara…” gumamnya, suaranya serak menahan sesal.
Sekitar setengah jam kemudian, mobilnya berhenti di depan gerbang besar kediaman keluarga Marvionne. Di balik pagar tinggi itu, lampu-lampu taman menyala redup, dan bayangan penjaga berdiri di pos pengamanan. Begitu Shaka keluar dari mobil, para penjaga langsung bereaksi.
“Maaf, Kapten Shaka, Nona Amara tidak berkenan menerima tamu malam ini,” kata salah satu dari mereka sopan tapi tegas.
Shaka menatap tajam, napasnya berat. “Buka gerbangnya.”
“Kapten, kami tidak bisa...”
“Aku suaminya!” bentaknya, suaranya bergema di halaman luas itu. Para penjaga saling pandang, bingung dan takut. Namun mereka tetap tidak bergerak.
Shaka memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang hampir meledak. Lalu ia berbalik, menatap kamera pengawas di tiang gerbang.
“Amara, aku tahu kamu bisa lihat ini. Aku cuma mau bicara, lima menit saja.”
Tidak ada jawaban hanya suara angin dan deru mesin mobilnya. Shaka mendesah berat, menatap langit gelap di atas kepalanya, sampai akhirnya dari kejauhan, seseorang muncul di balkon lantai dua rumah besar itu.
Wajahnya pucat diterpa cahaya lampu halaman. Ia mengenakan pakaian rumah sederhana berwarna abu-abu, rambutnya diikat seadanya. Tatapan matanya datar, tanpa ekspresi. Tapi di balik ketenangan itu, Shaka tahu ada sesuatu yang hancur. Sesuatu yang dulu ia abaikan.
“Amara…” panggilnya pelan. “Aku cuma mau jelaskan semuanya.”
Suara Amara terdengar jelas, meski datar. “Tidak perlu, semuanya sudah jelas, Mas Shaka.”
“Tidak! Kamu salah paham. Aku ... aku melakukan itu karena aku pikir kamu...”
“Karena Mas lebih percaya mereka daripada aku?” potong Amara tajam. “Karena aku istri yang cuma bisa dicurigai, bukan dipercaya?”
Shaka terdiam, hujan kembali turun, membasahi tubuhnya yang berdiri di depan gerbang. Ia menatap Amara dengan tatapan penuh penyesalan.
“Aku cuma ingin kamu tahu … aku menyesal,” katanya lirih. “Aku kehilangan arah waktu kamu pergi.”
Amara tersenyum kecil, getir. “Menyesal tidak mengubah apapun, Mas. Dan kali ini, aku tidak akan menunggu lagi.” Lalu perlahan, ia mundur dan menutup pintu balkon tanpa sepatah kata lagi, lampu balkon padam.
Shaka tetap berdiri di sana, membiarkan hujan mengguyur seluruh tubuhnya.
Sampai akhirnya, tubuh tegap itu merosot perlahan, berlutut di depan gerbang besi dingin.
Keesokan paginya, langit Jakarta tampak kelabu, seakan ikut menanggung beban yang menekan dada Shaka Wirantara. Semalaman ia tak pulang. Mobilnya terparkir di seberang gerbang megah kediaman keluarga Marvionne. Di tangannya tergenggam surat cerai yang sudah lecek, tanda bahwa Amara benar-benar telah menandatanganinya.
Namun Shaka tidak sanggup menyerah.
Ia keluar dari mobil, langkahnya berat namun tegas menuju gerbang besar itu. Dia tak pernah tahu, semalam Amara telah meninggalkan kediaman Marvionne.
Dari dalam, penjaga tampak menegang, tapi sebelum sempat menghentikan Shaka, Tuan Edward Marvionne muncul di halaman depan, diikuti Zico yang berdiri di sisi kanan pria tua itu. Wajah Tuan Edward datar, dingin, tapi matanya menyimpan kekecewaan yang dalam.
“Cukup, Kapten Shaka,” suara beratnya terdengar jelas. “Cucu saya sudah terlalu banyak meneteskan air mata karena Anda.”
Shaka menunduk dalam, menahan getir di tenggorokan.
“Saya tahu, Tuan. Tapi izinkan saya menemuinya sekali saja. Saya hanya ingin menjelaskan...”
“Menjelaskan?” potong Tuan Edward pelan, nadanya sinis namun tenang. “Anda menuduhnya menculik seseorang tanpa bukti, menekan perasaannya hingga hampir kehilangan bayi yang bahkan belum sempat merasakan dunia, dan kini Anda ingin menjelaskan?”
Suara pria tua itu begitu datar, tapi justru itulah yang membuat dada Shaka terasa sesak. Zico melangkah maju, pandangannya tajam.
“Kpaten Shaka, seandainya bukan karena Nona Amara, mungkin perusahaan Anda sudah runtuh semalam. Dia meminta saya menunda penutupan jalur Wirantara selama dua hari, hanya karena dia tidak ingin keluarga Anda hancur … meski Anda sendiri yang menghancurkannya.”
Shaka mendongak pelan, menatap Zico dengan mata merah.
“Apa maksudmu … dia masih...”
“Masih peduli,” jawab Zico datar. “Tapi bukan karena cinta, Kapten Shaka. Karena hati Nona Amara terlalu baik untuk membalas dendam pada pria sekejam Anda.”
Tuan Edward menghela napas panjang, kemudian menatap Shaka lurus. “Saya sudah cukup sabar, Kapten Shaka. Amara tidak ingin melihat Anda lagi. Dan sebagai keluarganya, saya akan menghormati permintaannya.”
“Tuan, saya mohon … izinkan saya bertemu sekali saja. Hanya sekali,” ucap Shaka serak.
Sampai akhirnya Zico berjalan mendekat, menenteng map hitam.
“Dia sudah pergi,” ucapnya datar.
Shaka menatap tajam. “Ke mana?”
Zico menatapnya lurus, lalu berkata pelan, “Ke tempat di mana tidak ada yang bisa menyakitinya lagi. Dan sebelum pergi, dia menitip pesankatanya, "jangan mencariku lagi, Mas Shaka. Aku sudah cukup berjuang sendirian.”
Map itu diberikan pada Shaka. Isinya hanya satu lembar foto lama foto Amara di taman belakang rumah mereka dulu, tersenyum sambil memegang bunga kecil yang ditanamnya sendiri. Shaka menggenggam foto itu erat, sementara Zico berbalik.
Ia hanya menatap kosong, lalu perlahan berlutut di depan gerbang, suaranya nyaris bergetar,
“Amara … kalau saja aku tahu secepat ini kamu akan pergi, aku akan memilih diam daripada menyakitimu…”
Waktu berlalu cepat.
Malam turun perlahan, tapi bagi Shaka Wirantara, waktu seakan berhenti.
Di ruang kerjanya yang kini kosong dan gelap, tumpukan berkas berserakan di lantai, laporan kerugian menumpuk, dan layar laptop menampilkan notifikasi satu per satu, semua kerja sama resmi dibatalkan.
Shaka menatap kosong. Tangannya gemetar memegang foto Amara yang baru ia ambil dari map pemberian Zico. Senyum lembut wanita itu terasa seperti hantaman.
Dan di bawah cahaya redup, ia tertawa pelan tawa getir yang sulit dibedakan dengan tangis.
“Semua berakhir karena aku sendiri, ya, Amara…” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Haris mengetuk pintu, masuk perlahan membawa laporan baru. “Kapten, rapat dewan direksi meminta kehadiran Anda. Mereka … ingin membicarakan posisi CEO...”
Shaka menatap Haris dengan pandangan kosong, lalu berdiri pelan.
“Kalau mereka mau mencopot aku … biarkan.”
“Tapi, Kapten...”
“Sudah cukup, Haris.”
Suara Shaka datar, tapi matanya merah, dan napasnya berat.
“Aku sudah kehilangan segalanya. Apa lagi yang bisa mereka ambil dariku?”
Haris hanya bisa diam, menunduk.
Di hadapannya kini bukan lagi Kapten Shaka yang tegas dan disegani, tapi seorang pria yang dihantui rasa bersalah yang nyaris membunuhnya.
Shaka berjalan menuju jendela besar. Dari lantai tertinggi itu, lampu kota berpendar seperti ribuan luka kecil. Ia menatap ke bawah, suaranya parau.
“Dulu aku pikir bisa mengatur segalanya. Perusahaan, reputasi, bahkan cinta. Tapi ternyata aku cuma pengecut yang takut mengakui kesalahan.”
Angin malam masuk melalui celah jendela, meniup kertas-kertas di mejanya.
Shaka menunduk, matanya menatap kosong ke refleksi dirinya di kaca.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya