"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin berubah
Aryan terlalu percaya diri bahwa Anjani masih akan mendengarkan kata-katanya seperti yang sudah-sudah. Bahkan, kini dia sudah mulai tersenyum tipis saat melihat wanita itu hanya diam saja.
Tapi, kepercayaan diri Aryan hanya sebentar saja. Tepat saat Anjani membuka mulut, serasa seperti ada petir yang menyambar didekat gendang telinga Aryan.
"Aku sudah bilang, kalau kita sebentar lagi akan bercerai. Jadi, kamu nggak berhak mengatur hidupku lagi!" Anjani menarik napas. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk melawan sikap diktator Aryan yang tidak berubah.
Sejak menikah hingga sekarang, Aryan hanya ingin pendapat dan keinginannya didengar. Jika tidak, maka dia akan marah dan tak akan mereda jika bukan Anjani yang mengalah.
Tapi, kali ini Anjani tak mau mengalah lagi. Sudah cukup! Dia tak mau jadi bahan lelucon lebih lama lagi.
Lagipula, hidup untuk orang lain sangat melelahkan. Sudah saatnya untuk hidup demi diri sendiri.
"Anjani, kamu..."
"Aku suka pekerjaanku. Jadi, aku tidak akan keluar," potong Anjani dengan cepat.
"Anjani, sejak kapan kamu jadi keras kepala seperti ini?" desis Aryan tak percaya.
Wanita itu hanya tersenyum tipis. Dia menatap Aryan dengan tajam dan penuh percaya diri.
"Aku bukan keras kepala. Aku hanya melakukan hal yang aku anggap benar."
Selepas mengucapkan kata-kata yang perlu dia katakan, Anjani memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun, Aryan tidak mau membiarkan Anjani pergi begitu saja. Pria itu menahan pergelangan tangannya. Menyebabkan langkah Anjani otomatis terhenti.
"Tunggu! Aku masih ingin bicara."
Kali ini, nada suara pria itu terdengar lebih lembut.
"Apa lagi yang harus kita bahas? Tentang perceraian?" tanya Anjani.
Dia menarik tangannya dari genggaman Aryan kemudian memutuskan untuk duduk kembali di kursi semula.
"Baiklah! Silakan mulai!" lanjut wanita itu.
"Ini bukan tentang perceraian," kata Aryan.
"Lalu?" tanya Anjani seraya memiringkan kepalanya.
Glek!
Mendadak Aryan merasa gugup. Tatapan Anjani yang sejernih air membuatnya nyaris terhanyut.
"Kamu... kenapa tubuhmu bisa berubah sedrastis ini?" tanya Aryan salah tingkah.
"Aku diet," jawab Anjani.
"Diet? Kenapa harus diet? Bukankah, aku sudah bilang kalau aku nggak suka perempuan yang kurus?" cecar Aryan. "Ditambah lagi, sekarang kamu juga perawatan? Untuk apa? Semua itu nggak ada gunanya, Anjani. Aku nggak suka. Aku benci wanita yang suka perawatan."
"Kamu selalu bilang kalau benci wanita yang kurus dan suka perawatan. Tapi... setiap kali kamu bertemu dengan Luna, kamu sepertinya selalu memujinya. Kamu bahkan sering membelikan dia kosmetik dan pakaian-pakaian mahal. Bahkan, kamu sering menemaninya perawatan di salon, kan?"
Degh!
Bagaimana mungkin Anjani tahu tentang semua itu? Selama ini, Aryan sudah menyembunyikannya rapat-rapat. Dia tak pernah bersikap akrab dengan Luna jika dihadapan Anjani.
"Jangan sembarangan bicara! Aku nggak pernah melakukan semua hal yang kamu sebutkan tadi! Lagipula, aku dan Luna nggak pernah seakrab itu semenjak kita menikah," elak Aryan sambil membuang muka ke arah lain.
Orang berbohong memang cenderung menghindari kontak mata dengan lawan bicaranya. Persis, seperti yang sedang Aryan lakukan saat ini.
Sayangnya, pria itu tak akan menyangka jika Anjani memiliki sebuah kartu truff untuk membongkar kebohongannya.
Sesuatu, yang memang sudah lama Anjani simpan.
"Orang yang nggak akrab, foto-fotonya bisa seperti ini, ya?"
Anjani memperlihatkan beberapa foto yang tersimpan di galeri ponselnya. Mata Aryan seketika melotot kaget. Dia merebut ponsel itu dari tangan Anjani dan menggulir foto-foto itu satu persatu.
"Ka-kamu dapat foto ini darimana?" tanya Aryan.
"Dari Luna," jawab Anjani.
"Luna?"
"Setiap kali kalian bersama, Luna selalu mengirimkan foto kalian kepadaku."
Wajah panik Aryan akhirnya tak dapat disembunyikan lagi. Pria itu begitu gugup. Mulutnya tampak terbuka untuk mengungkap pembelaan namun tertutup lagi.
"Ka-kami hanya teman lama. Wajar kalau kami akrab. Lagipula, Luna itu adikmu. Otomatis, dia juga adikku. Jadi, adik dan kakak jalan bersama, bukan hal yang aneh, kan?"
Setelah memutar otak dengan keras, Aryan akhirnya punya alasan untuk mewajarkan setiap kemesraan antara dirinya dan Luna dihadapan Anjani.
"Ya, anggap saja begitu," angguk Anjani dengan malas. "Kalau sudah tidak ada hal yang perlu dibahas lagi, aku akan kembali ke kamar."
"Anjani, aku ingin dipijat," pinta Aryan.
"Aku juga lelah. Bukan hanya kamu yang bekerja, Aryan!" tolak Anjani dengan dingin.
Ruang makan langsung menjadi hening setelah kepergian Anjani. Aryan masih betah duduk di sana.
Pikirannya dipenuhi dengan keanehan sikap Anjani. Wanita itu tak lagi berusaha menyenangkan dirinya. Wanita itu lagi berusaha meraih hatinya. Wanita itu bahkan tak mau peduli akan diri Aryan lagi.
"Kenapa kamu nggak berusaha membujukku seperti yang sudah-sudah, Anjani?" gumam Aryan putus asa.
"Mungkin, jika kamu membujukku, aku bisa mempertimbangkan soal perceraian kita," lanjutnya bermonolog.
****
Keesokan paginya, Aryan bangun dengan tubuh yang terasa sangat lelah. Semalam, dia tak bisa tidur nyenyak. Bayangan wajah Anjani yang tampak dingin terus berputar di otaknya.
Aryan masih tak percaya jika Anjani benar-benar telah menyerah atas hubungan mereka.
"Selamat pagi!" sapa Anjani dengan senyuman.
Dia sudah sarapan lebih dulu ketika Aryan turun dan bergabung di meja makan.
"Pagi," jawab Aryan. Dia memperhatikan penampilan Anjani yang tampak sangat cantik dengan setelan baju kerja yang melekat pada tubuh rampingnya.
Harus Aryan akui bahwa pesona Anjani jadi berlipat ganda dengan penampilan seperti itu.
"Sarapannya sudah aku siapkan. Jadi, selamat menikmati!" ucap Anjani kemudian.
Perempuan itu berdiri setelah menghabiskan sarapannya. Dia mengambil kotak bekal diatas meja lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Bekal untukku, mana?" tanya Aryan. Biasanya, Anjani selalu membuat bekal makan siang untuknya.
"Tidak ada," jawab Anjani.
"Kenapa tidak buat? Bukannya, kamu tidak pernah absen membuatnya?"
"Katanya, kamu tidak suka bawa bekal saat ke kantor, kan? Jadi, mulai sekarang, aku tidak akan pernah membuatnya lagi."
Kenapa Aryan merasa sangat kecewa saat mendengarkan jawaban Anjani? Jadi, wanita itu benar-benar sudah tak peduli pada Aryan lagi? Padahal, Anjani tahu jika Aryan punya masalah perut yang serius. Dia tak boleh makan sembarangan.
Atau... Jangan-jangan, ini cara baru Anjani untuk mendapatkan hati Aryan sepenuhnya? Semacam, permainan tarik ulur?
"Anjani, bagaimana kalau kita batalkan perceraian kita saja?" celetuk Aryan tiba-tiba.
Pemikiran itu terlintas secara spontan. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa tak rela jika Anjani keluar dari dunianya.
Dia sudah terbiasa dengan perlakuan istimewa yang diberikan Anjani kepadanya. Dia sudah terbiasa menjadi pusat dunia dari wanita itu.
"Aku... ingin tetap bercerai," timpal Anjani sambil tersenyum getir.
"Kenapa?" tanya Aryan dengan kecewa.
"Perempuan itu sudah kamu beri janji untuk kamu nikahi. Dan, sebagai lelaki sejati, kamu harus menepati janji, Aryan! Jangan jadi pengecut!"
"Apa kamu sudah punya lelaki lain, makanya kamu sekarang menolakku, Anjani?"
Mata Aryan mulai memerah. Prasangka itu tiba-tiba saja memenuhi kepalanya.
Tak mungkin, Anjani yang begitu mencintainya bisa menerima perceraian dengan sukarela jika tak ada orang ketiga di hubungan mereka.
"Kamu sekarang menuduhku?" Anjani tertawa. "Jelas-jelas, kamu yang mengajak untuk bercerai lebih dulu demi memberi wanita selingkuhanmu status yang resmi. Dan, sekarang kamu malah menuduh kalau aku yang berselingkuh? Wah, hebat sekali!"
Anjani bertepuk tangan dengan meriah.
"Dengar baik-baik, Tuan Aryan Djatmiko! Tidak semua orang bisa serendah dirimu! Paham?"
Aryan mengepalkan tangannya dengan erat. Ditinjunya permukaan meja makan dengan keras.
Lagi-lagi, Anjani meninggalkan dia begitu saja. Sama seperti tadi malam.
"Jangan lupa, segera berikan surat perjanjian cerai secepatnya!" teriak Anjani dari kejauhan.
Seolah-olah, perceraian bukanlah hal yang begitu penting untuknya. Cerai ya cerai saja! Tak perlu banyak drama.
😄👍👍👍