NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:543
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Mobil Tua di Jalan Berlubang

Bau bensin bercampur keringat menguap di dalam kabin Daihatsu butut yang tua itu. Udara panas Jawa Timur terasa kental dan mencekik. Kirana, hamil tujuh bulan, mencengkeram sabuk pengaman erat-erat setiap kali ban mobil menghantam lubang di jalanan aspal yang sudah retak. Perutnya terasa mual, bukan hanya karena guncangan keras itu, tapi karena kenyataan pahit yang menghimpit: inilah akhir dari segalanya.

Dimas, Protagonis Laki-laki, mengemudi dengan cara yang ugal-ugalan dan terburu-buru. Wajahnya beku. Sejak mereka menjual apartemen, kendaraan, dan sisa perhiasan untuk melunasi sebagian kecil utang properti mereka, Dimas tampak seperti kehilangan jiwanya.

“Bisa pelan sedikit, Mas? Perutku sakit,” ujar Kirana, suaranya tercekat. Ia berusaha menjaga agar nadanya tidak menuntut.

Dimas tidak menoleh, matanya terpaku pada hutan jati yang kian gelap di sisi jalan. Ekspresinya yang dingin adalah voice barunya sejak mereka menjadi buronan.

“Tanggung, Ran. Jangan rewel,” jawabnya, nadanya datar dan tanpa emosi. “Kalau pelan-pelan, kita bisa kemalaman di hutan. Nyi Laras sudah menunggu.”

Kirana memejamkan mata. Nyi Laras. Ibunya. Ibunya sudah menawarkan bantuan tiga bulan lalu, meminta Kirana kembali ke rumah masa kecil mereka di desa terpencil. Awalnya Kirana menolak ia benci desa itu dan segala keanehannya yang berbau mistis. Tapi kini, tawaran itu adalah satu-satunya pelampung.

“Aku cuma heran, kenapa Ibu mau repot-repot menjemput kita sampai ke luar kota,” Kirana mencoba memecah keheningan yang menyesakkan itu. Ia tahu keengganan Ibunya untuk bepergian.

Dimas mendengus. Itu adalah tawa tanpa kegembiraan. “Kau tahu Ibu seperti apa, Kirana. Dia selalu punya cara sendiri. Lagi pula,” Dimas menarik napas dalam-dalam, “dia bidan desa. Bukankah dia harus memastikan cucunya lahir sehat dan di tempat yang aman?”

Kirana merasakan ada subteks berbahaya dalam kalimatnya. Nyi Laras memang bidan, tetapi reputasi mistisnya lebih terkenal daripada kepandaiannya menyambut bayi. Ia adalah wanita yang wajahnya tampak sepuluh tahun lebih muda dari usianya, dan ia memiliki cara aneh dalam memandang Kirana.

Tiba-tiba, Dimas menginjak rem mendadak. Kepala Kirana nyaris terbentur dasbor. Dari balik kaca depan, mereka hanya melihat kegelapan, rimbun pohon jati, dan kabut yang turun tebal.

“Ada apa, Mas?” Kirana panik. Detak jantungnya langsung melompat tinggi.

Dimas mematikan mesin. Hening seketika. Hening yang terlalu pekat, bahkan suara jangkrik pun hilang. Dimas menyalakan senter ponselnya dan mengarahkannya ke depan mobil. “Bannya kempes total,” katanya, nadanya aneh, hampir lega.

“Ya Tuhan, di sini? Kita di mana, Mas?”

“Hampir sampai. Ini sudah batas desa kita, Ran. Aku akan ganti ban. Kau tunggu di sini.”

“Aku ikut saja. Tidak enak duduk sendirian di sini.”

Dimas menatapnya tajam sebuah tatapan yang jarang ia tunjukkan, dingin dan keras. Ini bukan tatapan seorang suami. "Jangan keras kepala, Kirana. Kau sedang hamil besar. Tugasmu cuma diam. Lima belas menit. Itu saja."

Dimas keluar dan membanting pintu mobil keras-keras. Kirana mengamati punggungnya yang menghilang di kegelapan. Ia menyalakan lampu interior mobil. Perutnya kembali berdenyut sakit, bukan karena lubang jalan, melainkan rasa dingin yang merayap naik dari telapak kakinya.

Saat ia mencari botol air di jok belakang, matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di lantai mobil dekat kaki Dimas tadi. Sebuah amplop kecil berwarna cokelat. Kirana meraihnya. Amplop itu terasa tebal dan berat.

Di dalamnya, bukan uang receh atau bon. Melainkan dua lembar foto, satu tumpukan uang tunai yang tebal, dan sebuah kunci emas kecil.

Foto pertama adalah gambar Nyi Laras sedang tersenyum. Di balik foto itu, tertulis dengan tinta merah: Lunas.

Foto kedua yang membuat darah Kirana surut ke ujung kaki adalah scan hasil USG kandungannya sendiri. Hasil scan itu ditandai dengan lingkaran merah besar yang melingkari janinnya, dan di sampingnya, dituliskan satu kata kasar dengan spidol merah:

TUMBAL.

Kirana mencengkeram kunci emas dan foto janinnya, menyadari bahwa ia bukan kembali ke rumah, melainkan baru saja dikirim ke dalam sebuah perangkap yang telah lama dirancang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!