Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman
“Tinggal satu loyang lagi.” Bisik Ariana menuangkan adonan untuk pesanan terakhir hari ini. Efek kue buatannya yang viral waktu itu Ariana membatasi untuk jumlah pesanan kue setiap harinya. Semacam pre order, ia tidak lagi menerima orderan mendadak pada hari yang sama.
Pintu pagar berderit pelan. Ariana membuka pintu setelah membersihkan tangannya dari sisa adonan. Sepertinya pelanggannya sudah datang mengambil pesanan.
“Iya sebentar, mau am…” Ariana terdiam melihat seseorang yang tidak diduga menginjak halaman rumahnya yang sederhana. Tubuh proporsional, lipstik merah gelap dengan kacamata hitam merek ternama yang menghiasi wajahnya yang tirus. Ia mengangkat kacamata pelan lalu memindai tubuh Ariana dari atas ke bawah.
‘Apa yang Sean lihat dari si upik abu ini. Bahkan dasternya tidak pantas jadi keset kaki di depan pintu kamar mandiku.’
“Tempatnya lebih sempit dari bayanganku.” ujarnya dengan tatapan mengejek, matanya menyapu sekeliling rumah kecil Ariana.
“Ada kepentingan apa sehingga Nona Clarissa yang terhormat sudi datang ke rumahku yang sempit ini.” Ariana tidak tersinggung atau merasa terhina dengan ucapan Clarissa.
“Kukira kau tidak akan mengenaliku,” katanya sambil tersenyum tipis.
Ariana menjawab dengan tegas, tidak terintimidasi dengan kehadiran Clarissa. “Bagaimana aku bisa melupakan orang yang dulu selalu berdiri di sebelah suamiku.”
Clarissa berjalan masuk tanpa diundang. “Bagus kalau kau sudah tau, artinya aku tidak perlu repot-repot menjelaskan lagi. Aku dan Sean sudah bertunangan, tapi Dia kadang masih merasa bersalah atas apa yang terjadi padamu. Bahkan setelah kau pergi, dia…”
“Masih datang ke rumah ini?” potong Ariana dengan suara. Tidak ada raut kaget atau tertekan di raut wajahnya. Ariana tersenyum sinis “Kau kira aku tidak tahu?”
Clarissa terdiam sejenak, Ariana melihat sedikit rasa… kaget di wajahnya meski itu samar.
“Jadi kau sudah tau tapi kau sengaja membiarkannya?” Nada suara Clarissa mulai meninggi.
Ariana tersenyum samar, “Memangnya apa yang bisa kulakukan? Aku tidak punya hak untuk mengatur ke mana kaki Sean ingin melangkah. Lagi pula selagi dia tidak menguntungkan atau pun merugikanku. Aku tidak peduli.” Ujar Ariana dengan tegas. Benar, ia menyadari keberadaan Sean setiap pagi, siang, sore, malam dan bahkan saat gerimis datang sekalipun. Ariana hafal siluet dan aroma Sean di luar kepala. Ia sendiri tidak tahu apa tujuannya, tapi kedatangan Clarissa hari ini membuat egonya sedikit bahagia.
“Kau…!” Clarissa mengepalkan kedua tangannya menahan emosi.
Ariana terkekeh kecil, “Kalau kau datang ke sini dengan tujuan untuk memintaku menjauhi Sean kau salah tempat. Karena aku tidak pernah memintanya untuk kembali. Sebaiknya kau menemuinya langsung dan menyuruhnya untuk tidak membuang waktunya yang berharga di depan rumah kecilku yang kau hina ini.”
“Kehadiranmu di depan rumahku menunjukkan bahwa kau sedang terancam dengan kehadiranku. Itu membuatku sedikit… bahagia.” Ariana menambahkan tidak dengan memaki atau dengan nada tinggi. Namun mampu membuat Clarissa tidak bisa menahan diri.
“Kau… pantas Tante Florence mengatakan kau upik abu yang tidak tau diri. Ternyata selama ini kau berlindung dibalik wajahmu yang polos.”
“Oh ya, aku sangat… tidak terkejut.” Ujung Bibir Ariana naik ke atas.
Clarissa menahan napas. Ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya lagi.
“Sean tunanganku, sebentar lagi kami akan menikah. Aku hanya ingin kau tau batasanmu. Kalau tidak… lihat saja apa yang bisa aku lakukan padamu.”
“Itu ancaman?” Tanya Ariana menatap Clarissa.
Tidak ada ketakutan di dalam matanya dan itu membuat Clarissa sedikit terkejut. Ariana berbeda dari apa yang Florence ceritakan padanya selama ini. Dia tidak selemah itu. “Anggap saja itu ancaman dan aku nggak pernah main-main dengan ancaman.”
Mata Clarissa melirik ke arah perut Ariana. Bibirnya yang merah menyeringai tajam.
“Kau yakin itu anak Sean?” Clarissa melangkah lebih dekat mencoba mengintimidasi Ariana, “Atau jangan-jangan, itu hanya akal-akalanmu supaya Sean merasa bersalah?”
“Kalau pun itu bukan anaknya, apa urusannya denganmu Clarissa? Aku bahkan nggak meminta tanggung jawab. Jadi aku rasa bayiku anaknya atau bukan itu tidak penting.”
Clarissa mengerutkan alis. Tidak menyangka akan mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan ekspektasinya. Ariana bukan terlalu diam, tapi… dia terlalu tenang.
“Aku sibuk, dan aku yakin kau juga sibuk. Sebaiknya kau tinggalkan tempat ini sekarang juga. Aku tidak menerima tamu seperti kamu di lain waktu.” Ariana segera mendorong tubuh Clarissa keluar lalu mengunci pintu.
Clarissa mengertakkan gigi. Ia mengambil pot bunga milik Ariana lalu memecahkannya dengan sengaja.
“Aku tau kau ingin menjebak Sean dengan bayi itu supaya dia kembali padamu tapi aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.” Teriak Clarissa
Ariana masih berdiri di belakang pintu rumahnya. Teriakan Clarissa masih terdengar jelas di dalam telinga.
“Kau kira aku tidak bisa melakukan sesuatu pada bayi itu? Lihat saja apa yang bisa kulakukan kalau sampai kau melanggar batasanmu.” Ancam Clarissa masih di depan pintu rumah Ariana sebelum gadis itu berlalu dengan amarah yang belum tuntas.
Ariana mematung, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia merasa perutnya yang sedikit tegang. Setelah suara itu menghilang, ia berjalan dan duduk di sofa dengan perlahan. Ariana mengatur napasnya yang sedikit tak beraturan. Dengan lembut tangannya membelai perutnya yang semakin membulat.
“Hei, maaf kalau kamu dengar semua tadi. Maaf kalau detak jantung Mama jadi lebih cepat. Pasti kamu nggak nyaman.” Bisiknya pelan.
“Tapi kamu harus tahu satu hal, Mama nggak akan biarin siapa pun menyentuhmu bahkan jika taruhannya nyawa sekali pun.” Entah kenapa matanya mulai panas, air matanya turun tanpa bisa dicegah. Bukankah ini… terlalu kejam? Ia hanya ingin ketenangan, tapi kenapa rasanya sulit sekali.
Ariana bersandar lalu memejamkan mata. Tarikan napasnya lebih teratur dan ketegangan di perut perlahan mereda.
“Kita akan baik-baik saja Nak.”
Tok tok tok
Ariana tersentak kaget, tubuhnya bergetar.
“Ariana… ini Bu Ajeng.”
Ia langsung menghela napas lega.
Ariana membuka pintu. Bu Ajeng berdiri di depan pintu dengan senyum kecil dengan satu kantong plastik daun kelor segar di tangannya.
“Buat campuran sayurmu besok pagi,” katanya singkat. “Bagus buat memperlancar ASI-mu nanti.”
“Terima kasih Bu.” Ariana menerimanya dengan senang hati.
Bu Ajeng menatap Ariana lekat, kelopak matanya bengkak, “Kamu nggak apa-apa?”
Ariana terdiam sejenak.
Bu Ajeng duduk di bangku kayu depan rumah, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Ariana dengan erat. “Kalau kamu udah milih jalan ini, kamu harus yakin bisa melewatinya apa pun yang terjadi. Kamu seorang ibu sekarang, ibu yakin kamu bakal jadi ibu yang kuat buat anakmu. Jangan biarkan seseorang menghancurkan keyakinan yang sudah kamu buat Nak. Kamu tidak bisa menyimpan semuanya sendirian, datang ke Ibu dan Bapak. Ibu udah anggap kamu seperti anak sendiri, Risa juga.”
Air mata Ariana kembali mengalir lagi, dadanya terasa sangat sesak karena emosi yang terus-terusan ditumpuk. Bu Ajeng membawa Ariana dalam sebuah pelukan. Punggung Ariana bergetar saking dalamnya tangisan itu. Bu Ajeng hanya bisa memberikan tepukan pelan di punggungnya.
“Kalau kamu merasa nggak aman disini, kamu boleh pindah ke rumah Ibu.”
Ariana melepaskan pelukannya. Untuk pertama kalinya Ariana merasa seperti punya Ibu.
“Makasih ya Bu, Arin sayang sama Ibu.” Ariana memeluk Bu Ajeng lagi, ia hanya ingin mendapatkan ketenangan.
tp sebelumx buat Sean setengah mati mengejar kembali ariana