NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# **BAB 33: KEMBALI KE KEHENINGAN YANG MEMBUNUH**

Hari pertama setelah pertengkaran, Nathan mengetuk pintu kamar Alara pagi-pagi—sebelum berangkat kerja.

"Alara," panggilnya pelan. "Boleh kita bicara?"

Tidak ada jawaban.

"Alara, kumohon. Aku... aku minta maaf. Aku nggak bermaksud—"

"Aku butuh waktu, Nathan." Suara Alara dari dalam—pelan tapi jelas. "Kumohon... beri aku waktu."

Nathan berdiri di sana—tangan masih di daun pintu, dahi hampir menyentuh kayu—dengan perasaan berat yang menghancurkan.

"Baik," bisiknya akhirnya. "Aku akan tunggu."

Lalu ia pergi—dengan hati yang terasa seperti tertinggal di depan pintu itu.

---

**HARI KEDUA**

Alara keluar kamar hanya untuk ke kantor—dan pulang langsung ke kamar lagi. Mereka berpapasan di koridor—Nathan baru pulang, Alara baru keluar dari kamar untuk ambil air.

Mata mereka bertemu sekilas.

Nathan membuka mulut—ingin bilang sesuatu. Tapi Alara mengalihkan pandangan cepat—berjalan cepat kembali ke kamar dengan segelas air di tangan.

Nathan berdiri di koridor itu—menatap pintu yang baru saja tertutup—dengan perasaan seperti ada yang mencengkeram dadanya.

*Ini persis seperti dulu. Seperti awal-awal kita menikah. Asing. Dingin. Hampa.*

Tapi kali ini lebih sakit. Karena Nathan tahu—ia tahu—bagaimana rasanya dekat dengan Alara. Bagaimana rasanya dicintai Alara. Bagaimana rasanya bahagia.

Dan sekarang semua itu... hilang.

---

**HARI KETIGA**

Bi Sari memasak makan malam seperti biasa—dua porsi, satu untuk Nathan, satu untuk Alara. Tapi mereka tidak pernah makan bersamaan.

Nathan makan duluan—sendirian di meja panjang yang terlalu besar untuk satu orang. Ia makan tanpa nafsu—setiap suapan terasa hambar, setiap detik terasa lama.

Setelah Nathan selesai dan naik ke kamarnya, baru Alara turun. Duduk di kursi yang sama—makan sendirian dengan mata yang kosong.

Bi Sari menatap dari dapur dengan hati yang sesak. Ia ingin bilang sesuatu—ingin menyatukan mereka—tapi ini bukan urusannya. Ini antara Tuan dan Nyonya.

Tapi tetap saja... menyedihkan melihat dua orang yang jelas-jelas saling cinta, hidup seperti orang asing.

---

**HARI KEEMPAT**

Nathan tidak bisa tidur. Setiap malam ia terbaring menatap langit-langit—pikiran terus memutar pertengkaran itu. Kata-kata Alara yang menusuk tapi benar:

*"Aku bukan Kiara! Berhenti membandingkan!"*

Dan ia diam. Ia diam karena... karena sebagian dari dia masih membandingkan. Masih takut. Masih terjebak.

*Aku brengsek,* batinnya berkali-kali. *Aku punya wanita yang sempurna—wanita yang nggak pernah menyerah, yang bertahan walau aku terus sakitin dia—dan aku masih... masih nggak bisa lepas dari hantu masa lalu.*

Jam 2 pagi, Nathan keluar kamar—berjalan ke kamar Alara. Berdiri di depan pintu dengan tangan yang hampir mengetuk.

Tapi ia dengar—dari dalam—suara isak yang redam. Alara menangis.

Dadanya remuk. Tangannya turun—tidak jadi mengetuk.

Karena apa yang bisa ia katakan? Maaf? Ia sudah bilang maaf. Tapi maaf tidak cukup kalau ia tidak berubah.

Nathan kembali ke kamarnya—dengan perasaan bahwa ia kehilangan Alara perlahan. Dan ia tidak tahu bagaimana menghentikan itu.

---

**HARI KELIMA**

Alara mulai pulang lebih malam—sengaja. Supaya tidak ketemu Nathan. Ia menghabiskan waktu di kantor sampai jam 10 malam—bekerja pada proyek yang sudah selesai, hanya untuk menghindari rumah yang terasa seperti penjara.

Rian mulai khawatir. "Alara, kamu kenapa? Kamu dan Nathan... kalian bertengkar?"

Alara tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata. "Kami baik-baik aja."

"Bohong. Kamu keliatan hancur."

Alara tidak menjawab—karena ia tidak bisa bohong lagi. Ia memang hancur.

Setiap hari terasa seperti hidup di limbo—tidak maju, tidak mundur. Hanya... ada. Bernapas karena harus bernapas. Bekerja karena harus bekerja.

Tapi tidak hidup. Tidak benar-benar hidup.

---

**HARI KEENAM**

Nathan mencoba lagi—meninggalkan note di meja makan sebelum Alara bangun:

*"Aku tahu aku salah. Aku tahu aku menyakitimu. Dan aku nggak expect kamu langsung maafin aku. Tapi tolong... tolong jangan menjauh. Aku butuh kamu. - N"*

Alara menemukan note itu saat sarapan. Ia menatapnya lama—jemari menelusuri tulisan tangan Nathan yang sedikit berantakan.

Air matanya jatuh ke atas kertas—membuat tinta sedikit luntur.

*Aku juga butuh kamu, Nathan. Tapi aku nggak tahu... aku nggak tahu apakah kita bisa memperbaiki ini.*

Ia melipat note itu—memasukkan ke saku blazer-nya—lalu pergi ke kantor dengan hati yang masih berat.

---

**HARI KETUJUH**

Minggu malam. Satu minggu penuh sejak pertengkaran.

Nathan duduk di ruang tamu—sendirian dengan segelas whiskey yang tidak ia sentuh. Hanya menatapnya dengan pikiran yang kacau.

Ia mendengar pintu depan terbuka—Alara pulang dari entah kemana. Nathan tidak tanya—karena ia tidak punya hak untuk tanya.

Alara masuk—melihat Nathan duduk di sana. Untuk sesaat, mata mereka bertemu.

Dan di mata Nathan, Alara melihat—melihat lelah, melihat penyesalan, melihat... rasa sakit yang dalam.

Tapi Alara tidak mendekat. Ia hanya berdiri di sana—jarak beberapa meter yang terasa seperti jurang yang tidak bisa diseberangi.

"Alara," panggil Nathan—suara yang serak, seperti sudah lama tidak dipakai untuk bicara.

"Ya?" Suara Alara juga pelan—hampa.

"Aku... aku rindu kamu." Kata-kata yang keluar begitu saja—jujur, menyakitkan.

Alara merasakan dadanya sesak mendengarnya. "Aku ada di sini."

"Tapi kamu nggak benar-benar di sini," bisik Nathan—menatap Alara dengan tatapan yang hancur. "Kamu ada secara fisik. Tapi... tapi kamu sudah jauh."

Alara menunduk—tidak bisa menatap Nathan lebih lama karena ia takut akan menangis.

"Aku butuh waktu," bisiknya lagi—kata-kata yang sama sejak seminggu lalu.

"Berapa lama?" tanya Nathan—suara yang putus asa.

"Aku nggak tahu."

Hening yang panjang—hening yang menyakitkan.

"Apa aku... apa aku sudah kehilangan kamu?" tanya Nathan—pertanyaan yang ia takut jawabnya.

Alara mengangkat wajah—menatap Nathan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aku nggak tahu," jawabnya jujur—suara yang bergetar. "Aku nggak tahu lagi, Nathan. Aku... aku lelah. Lelah terus merasa nggak cukup. Lelah hidup dalam bayangan dia. Lelah—"

Suaranya putus. Ia menutupi mulutnya dengan tangan—mencoba menahan isak.

Nathan berdiri—ingin mendekat, ingin peluk Alara. Tapi kakinya tidak bergerak—karena ia takut Alara akan menolak. Dan penolakan itu... akan lebih menyakitkan dari apa pun.

"Maafkan aku," bisik Nathan—suara yang hancur total. "Maafkan aku karena... karena nggak bisa jadi yang kamu butuhkan."

Alara menatapnya—menatap dengan tatapan yang penuh luka tapi juga... masih ada cinta. Cinta yang terluka tapi belum mati.

"Aku nggak butuh kamu yang sempurna, Nathan," bisiknya. "Aku cuma butuh kamu yang... yang bisa lihat aku. Beneran lihat aku. Bukan bayangan dia."

Lalu ia berbalik—naik tangga dengan langkah goyah—meninggalkan Nathan yang berdiri di ruang tamu dengan hati yang remuk total.

Dan malam itu—malam yang mengakhiri minggu terburuk dalam hidup mereka—Nathan menyadari sesuatu.

Ia harus memilih.

Memilih antara terus terjebak di masa lalu dengan Kiara—atau benar-benar move on dan berjuang untuk Alara.

Dan kalau ia tidak memilih sekarang—kalau ia terus ragu—ia akan kehilangan Alara untuk selamanya.

Pertanyaannya adalah: apakah ia cukup berani untuk melepaskan hantu masa lalu?

Atau apakah ketakutannya akan lebih kuat dari cintanya?

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 34]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!