Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Riana menoleh ke arah sumber suara, meski ia sangat mengenal suara itu milik Septian. Namun, pandangannya justru tertumbuk pada sosok sang kakak yang berdiri di samping suaminya. Septian sendiri tengah menggendong Lira, dan pemandangan itu terasa menusuk, siapa pun yang melihat pasti akan mengira mereka keluarga kecil yang bahagia.
“Riana! Apa yang kamu lakukan? Siapa dia?” suara Septian terdengar dari kejauhan. Ia sama sekali tidak berniat mendekat, justru memberi isyarat dengan tangannya agar Riana yang menghampiri.
Septian mengira Riana akan menurut seperti biasanya. Namun kali ini Riana tetap bergeming di tempatnya. Dengan nada tenang ia berkata, “Aku ada urusan penting. Dia dokter Alif.”
“Riana, kamu tidak perlu memanggil dokter,” sela Septian cepat. “Ibu sudah mendingan. Kebetulan kakakmu punya kenalan dokter di sini. Ayo, ke sini. Kita ke ruang perawatan Ibu bersama-sama," imbuh Septian dengan nada bangga pada Liliana seolah Liliana adalah penyelamat ibunya.
Riana tidak peduli dengan ekspresi Septian yang ditunjukkan pada sang kakak, ia hanya menggeleng pelan lalu berkata, “Aku tidak bisa. Ada hal yang harus kubicarakan dengan dokter Alif.”
Jawaban itu membuat wajah Septian langsung berubah. Rahangnya mengeras, sorot matanya meruncing penuh amarah. “Riana! Apa maksudmu bicara seperti itu?!” suaranya meninggi, hingga membuat beberapa orang yang lalu lalang menoleh ke arah mereka.
Lira di pelukannya tampak terusik, menggeliat gelisah. Namun Septian tidak peduli. Ia melangkah setengah maju, tapi tetap tidak mendekat sepenuhnya, seolah gengsi menuntunnya. “Jangan buat aku dipermalukan di depan orang banyak. Aku suruh kamu ke sini, Riana! Kenapa kamu membangkang?!”
Riana menahan napas, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Ada getar halus di bibirnya, tapi ia tetap berdiri tegak. “Aku tidak membangkang. Aku hanya memilih untuk tetap di sini.”
Urat di pelipis Septian menegang. “Kamu keterlaluan!” hardiknya, suaranya cukup keras hingga membuat beberapa orang menoleh. Kakak Riana yang berdiri di sampingnya buru-buru menyentuh lengan Septian, berusaha meredakan amarahnya.
Melihat Septian masih terbawa emosi, Liliana akhirnya menoleh ke arah adiknya. “Riana, sudah… ikuti saja kata suamimu. Dia semalaman menjaga Ibu, belum istirahat sama sekali. Jangan bikin masalah kecil jadi tambah besar.”
Riana menggigit bibirnya, menahan perasaan yang campur aduk. “Tapi aku memang masih ada urusan, Kak. Kalau nanti sudah selesai, kalau Mas Septian mau membawaku bertemu Ibu, aku akan datang.” Ucapannya bernada hati-hati, seolah memberi kode, namun ditangkap berbeda oleh Septian.
“Kamu jangan bertingkah seperti anak kecil, Riana!” suaranya meninggi lagi. “Harusnya aku yang marah! Kenapa semalam kamu tidak menyusul? Dan sekarang, bukannya langsung ke ruang Ibu, malah berdiri di sini sambil bilang ada urusan. Memangnya ibu rumah tangga sepertimu punya urusan apa dengan dokter itu?”
Riana tidak percaya dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Septian 'Ibu rumah tangga sepertimu' bukankah semua ini adalah bentuk pengorbanan untuk bisa merawatnya? Namun seperti biasa tidak ada penghargaan yang berarti.
“Kenapa aku harus menyusul Mas? Aku pikir… Mas memang tidak ingin aku datang,” balas Riana suara terdengar pelan, tapi tegas.
Sepasang alis Septian berkerut. “Apa maksudmu?”
Riana menghela napas panjang, seolah kehabisan tenaga untuk menjelaskan isi hatinya. Ia tahu, kata-katanya hanya akan memantul tanpa pernah benar-benar dimengerti. “Lira sudah lelah. Lebih baik Mas bawa dia ke ruangan supaya bisa istirahat. Dan… jangan bicara dengan nada tinggi lagi. Kamu hanya mengganggu tidurnya.”
“Riana, kamu…!” Septian hampir meledak lagi. Suaranya tercekat di tenggorokan, amarahnya siap meluap.
Liliana buru-buru menepuk lengannya, mencoba meredam. “Tian, sudah… jangan keras-keras. Riana mungkin salah paham dengan tindakan kita yang meninggalkan surat di rumah tanpa menghubunginya. Itu pasti membuat dia tersinggung.”
Kalimat Liliana membuat suasana kian membeku. Riana menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca, merasa campuran sakit hati dan lega sekaligus, setidaknya ada yang mengakui kalau dirinya memang ditinggalkan.
Septian terdiam sesaat, rahangnya mengeras. Matanya bergeser dari Liliana ke Riana, tapi bukannya merasa bersalah mendengar penjelasan kakak iparnya, justru emosi semakin menguasai dirinya.
“Riana, hanya karena itu kamu bertingkah seperti anak kecil?”
“Hanya karena itu, Mas?” ulang Riana dengan nada tak percaya.
Dokter Alif yang berada di sampingnya ikut tercekat. Nada suara Riana membuat dadanya ikut perih. Baginya, Riana adalah permata yang dulu rela ia lepaskan ketika memilih menikah dengan Septian. Ia mengubur dalam-dalam rasa sukanya, tapi kini melihat wanita itu tersakiti seperti ini membuat hatinya hancur.
“Riana…” panggil Alif lirih, penuh prihatin.
Riana hanya menoleh sebentar, lalu segera menunduk. Rasa malu mengalir deras dalam dirinya. Ia ingin segera menyudahi pertengkaran ini demi menjaga sisa harga dirinya di depan dokter Alif. Sayangnya, Septian tidak memberinya kesempatan.
Septian sama sekali tidak merasa bersalah. Ingatannya melayang pada kejadian semalam, saat ia dalam perjalanan menuju restoran, Liliana menelepon memberitahu bahwa Lira demam dan membutuhkan obat. Belum sempat ia bertindak, kabar lain datang dari adiknya, bahwa Rahayu—ibunya, tiba-tiba penyakitnya kambuh. Dalam kepanikan, ia tida punya waktu untuk menghubungi Riana, ia hanya sempat menuliskan sepucuk surat singkat sebelum bergegas ke rumah sakit.
Bukankah itu sama saja? pikir Septian, dadanya membara. Ia merasa semua tindakannya semalam sudah benar, bahkan sudah berkorban banyak demi kebaikan bersama. Namun kini, di hadapan banyak orang, Riana justru membuatnya tampak seperti lelaki yang tidak bertanggung jawab.
“Riana, aku tidak salah!” suaranya melengking, menekan setiap kata. “Semalam aku di jalan waktu Liliana telepon bilang Lira demam dan obat di rumah habis. Belum sempat aku bernapas lega, adikku kasih kabar penyakit Ibu kambuh. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan apa pun padamu. Makanya aku tulis surat itu dan langsung ke rumah sakit. Dan sekarang kamu berdiri di sini seolah-olah aku sengaja meninggalkanmu?”
Setiap kata-kata Septian jatuh seperti cambuk, membuat dada Riana sesak. Ia menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Semua orang di sekitarnya bisa melihat jelas bagaimana Septian meninggikan suara pada istrinya, sementara Riana hanya bisa diam.
Dokter Alif yang sejak tadi berusaha menahan diri akhirnya melangkah setengah maju. “Cukup, Pak. Anda mungkin punya alasan, tapi cara Anda berbicara pada istri Anda di tempat umum seperti ini… itu tidak pantas.”
Tatapan Septian beralih cepat, menajam pada dokter Alif. “Kamu jangan ikut campur urusan rumah tanggaku!” bentaknya, nada suaranya bergetar menahan amarah.
Riana spontan menoleh, tubuhnya kaku. Ia takut keadaan benar-benar lepas kendali, tapi di sisi lain, ada secuil rasa hangat karena untuk pertama kalinya ada yang berani menegur suaminya demi dirinya.
Wajah Septian memerah, urat di pelipisnya menegang. Tatapannya menusuk ke arah dokter Alif lalu beralih cepat pada Riana.
“Jadi ini maksudmu?!” suaranya menggema di lorong rumah sakit. “Kamu sengaja membangkang, bikin aku malu di depan orang lain, lalu sembunyi di balik lelaki ini?!”
“Mas, cukup...” suara Riana bergetar, tubuhnya menegang menahan tangis.
“Tidak, Riana!” bentak Septian, telunjuknya gemetar menunjuk ke arahnya. “Kalau kamu sudah tidak bisa lagi jadi istri yang nurut, kalau kamu lebih suka dibela orang lain daripada suamimu sendiri...” Ia terhenti sejenak, rahangnya terkunci, sebelum akhirnya kata itu meluncur tanpa kendali.
“…lebih baik kita cerai saja!”