"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Tetangga yang Membuang Muka
Langkah kaki itu mendekat, dan Kirana menahan napas, berharap Nyi Laras tidak melihat kain batik berdarah yang ia pegang erat erat di balik sumur.
Kirana menunduk, meringkuk di antara tumpukan melati yang kini berbau seperti dupa yang terbakar habis. Ia merasakan bayangan Nyi Laras jatuh di atasnya. Ia tidak bisa melihat wajah Ibunya, tetapi ia bisa mendengar dengusan napas Ibunya yang pendek dan cepat.
Nyi Laras berdiri diam selama beberapa saat. Ketegangan mencekik. Kirana yakin Nyi Laras sudah melihatnya.
Tiba tiba, Nyi Laras berbicara, tetapi bukan padanya.
"Anak manis, kembalilah ke tempatmu," kata Nyi Laras, suaranya lembut, seolah sedang berbicara kepada bayi. "Ibumu butuh istirahat. Jangan nakal."
Nyi Laras tidak memarahi, tidak menyerang Kirana secara fisik, melainkan berbicara kepada entitas lain mungkin makhluk di dalam rahim Kirana, atau mungkin arwah Kakak Sulungnya.
Setelah itu, Nyi Laras membungkuk, mengambil sebatang dupa yang tersisa di dekat papan sumur, dan meniupnya hingga apinya padam. Lalu, Ibunya berjalan kembali ke pintu, tidak menoleh sama sekali ke tempat Kirana bersembunyi.
Kirana menunggu sampai pintu dapur tertutup rapat. Ia bangkit dengan gemetar. Kepalanya pusing, dan air mata bercampur keringat di pipinya. Ia menyadari: Nyi Laras tahu ia ada di sana, tetapi ia membiarkannya.
Kenapa? Karena Nyi Laras yakin Kirana tidak akan bisa lari.
Dengan adrenalin yang masih memuncak, Kirana berlari ke sisi rumah. Ia harus mencapai jalan.
Ia melintasi pagar rendah di samping pekarangan, masuk ke jalan desa yang berbatu. Di luar gerbang Joglo besar Nyi Laras, kegelapan lebih pekat. Ia melihat cahaya lampu di beberapa rumah
tetangga, sekitar lima puluh meter dari rumahnya.
"Aku harus meminta bantuan. Mereka dukun bayi terkemuka di desa ini. Mereka pasti takut," bisik Kirana pada dirinya sendiri.
Kirana berjalan cepat, berusaha mengabaikan kontraksi palsu yang kembali menyerang perutnya. Ia mencapai rumah pertama yang lampunya masih menyala rumah Pak Kades, berdasarkan plat nomor yang ia lihat saat Dimas parkir mobil.
Ia menggedor pintu kayu rumah itu dengan panik.
"Permisi! Tolong! Saya Kirana! Anak Nyi Laras! Tolong saya!" teriak Kirana.
Beberapa detik berlalu. Lampu di dalam rumah mati.
Kirana menggedor lagi. "Tolong! Suami saya menculik saya! Ibu saya gila! Mereka mau mengambil bayi saya!"
Akhirnya, pintu itu berderit terbuka sedikit. Seorang wanita paruh baya mengintip dari celah, wajahnya ketakutan dan pucat.
"Bu? Saya Kirana. Tolong telepon polisi atau carikan mobil untuk saya pergi!" pinta Kirana, memohon.
Wanita itu, yang wajahnya samar samar pernah ia lihat saat mereka tiba, hanya menggeleng, matanya dipenuhi teror.
"Kami tidak dengar apa apa, Nduk," bisik wanita itu, suaranya hampir tidak terdengar.
"Tapi Ibu baru saja melihat saya! Saya di sini, di jalan!"
"Cepat kembali ke rumahmu. Nyi Laras... beliau tidak suka diganggu," kata wanita itu.
"Dia mau membunuh cucunya sendiri! Bayi saya terancam!"
Wanita itu mendorong pintu lebih tertutup. Kirana mencoba menahan pintu itu.
"Tunggu! Paling tidak, berikan saya ponsel! Saya butuh sinyal untuk menghubungi Jakarta!"
"Kami tidak punya ponsel di sini. Cepat pergi!" Wanita itu berbisik, panik.
"Jangan libatkan kami. Kami tidak tahu apa apa tentang urusan Waris," kata suara pria dari dalam rumah.
Lampu di dalam rumah itu menyala lagi, tetapi bukan untuk Kirana. Lampu itu menyala hanya untuk membiarkan mereka melihat Kirana di pintu, sebelum pintu itu dibanting tertutup dengan keras, dan suara kunci terdengar diputar dari dalam.
Kirana terhuyung mundur. Ia menatap pintu yang tertutup rapat. Mereka membuang muka. Warga desa ini bukan hanya takut pada Nyi Laras, mereka bersekutu dalam kebisuan.
Tiba tiba, terdengar suara Dimas memanggil namanya dari rumah Joglo. Suaranya terdengar marah dan setengah mabuk. "Kirana! Masuk! Atau Ibu akan marah!"
Kirana tahu ia tidak punya waktu lagi. Ia tidak bisa mengandalkan siapa pun. Ia melihat ke jalanan gelap di seberangnya. Ia harus lari.
Ia mulai berlari kecil, memegangi perutnya yang sakit, menyusuri jalan desa. Tetapi setelah sekitar seratus meter, ia menyadari jalan itu terasa sangat panjang, seolah desa ini terputus dari dunia luar.
Ia berhenti. Napasnya terengah engah. Ia melihat ke atas, ke langit malam. Seketika, ia melihat kilatan cahaya merah samar melayang melintasi langit. Kilatan itu bukan bintang jatuh. Itu bergerak terlalu cepat, terlalu aneh.
Kilatan merah itu menuju ke suatu tempat—ke tengah hutan di belakang rumah Nyi Laras.