Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Jerat Dosa, Tangisan Darah
Ponsel Ayana terlepas dari genggamannya, jatuh ke karpet, suaranya bergema dalam keheningan yang mematikan. Kedua matanya melebar, menatap Arfan, dipenuhi kengerian yang tak terlukiskan. Semesta Ayana benar-benar runtuh, bukan hanya karena rahasia masa lalu, tetapi juga karena ancaman mengerikan di masa depan anaknya.
“Raya… kecelakaan?” bisik Ayana, suaranya putus asa, dunianya gelap gulita. Apa yang akan terjadi pada putrinya? Apa yang akan terjadi padanya?
Arfan menatap Ayana, wajahnya semakin pucat. Ia tahu, dari semua masalah yang kini mereka hadapi, ancaman terhadap Raya adalah pukulan yang paling telak, yang paling tak terduga. Dan ia juga tahu, ini belum berakhir.
“Kita harus ke sana sekarang, Ayana!” Suara Arfan pecah, namun ada ketegasan di dalamnya. Ia menarik Ayana bangkit, mencengkeram lengannya erat, seolah menyalurkan kekuatannya yang tersisa. Wajah Ayana masih beku, air mata mulai mengalir deras tanpa suara.
Mereka berdua berlari keluar apartemen Arfan seperti orang gila. Hati Ayana mencelos, setiap napas terasa sakit. Kata-kata Vina terus terngiang, ‘Raya… kecelakaan!’ Ini pasti karena dirinya. Semua dosa, semua kebohongan yang ia jalani bersama Arfan, kini menuntut bayaran, dan bayaran itu adalah anaknya.
Arfan mengemudi dengan kecepatan gila, namun terasa seperti keong bagi Ayana. Jalanan basah oleh gerimis malam, seolah langit ikut menangisi nasibnya. Ayana terus memegangi dadanya yang terasa sesak, napasnya tersengal-sengal. “Raya… Anakku…” bisiknya berulang kali, suaranya hancur.
Arfan mencengkeram kemudi, buku-buku jarinya memutih. Ia tak bicara, matanya fokus ke jalan, namun rahangnya mengeras, menandakan badai amarah dan kekhawatiran yang berkecamuk di dalam dirinya. Pikirannya melayang pada sosok Vina yang menelepon. Apakah ini kebetulan? Atau… sesuatu yang lain?
Setibanya di rumah sakit, Ayana menerobos masuk seperti kesetanan. Aroma antiseptik menusuk hidungnya, suara hiruk pikuk di koridor seolah membungkam hatinya. Matanya liar mencari, sebelum akhirnya menangkap sosok Vina yang berdiri di dekat pintu IGD, wajahnya tampak… cemas?
“Vina! Di mana Raya? Di mana anakku?!” teriak Ayana, suaranya parau, air mata menganak sungai di pipinya. Ia langsung menghampiri Vina, mencengkeram bahunya kuat-kuat.
Vina tersentak, menatap Ayana dengan ekspresi campur aduk. Ada sedikit kaget, sedikit prihatin, dan entah mengapa, Ayana menangkap kilasan kepuasan di mata Vina. Atau hanya perasaannya saja?
“Ayana, tenanglah. Dokter sedang menanganinya,” Vina mencoba menenangkan, namun suaranya terdengar terlalu dingin di telinga Ayana yang kalut. “Dia ada di dalam. Kondisinya… cukup parah. Ada benturan di kepala dan patah tulang di kakinya.”
Kaki Ayana lemas seketika. Jika saja Arfan tidak sigap menahan tubuhnya, ia pasti sudah ambruk. “Patah tulang… benturan kepala…” gumam Ayana, rasanya otaknya berhenti bekerja. Ia tidak bisa membayangkan putrinya terbaring terluka, sendirian.
Arfan maju ke depan, menatap Vina tajam. “Apa yang terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi?” Nada suaranya penuh tuntutan, menahan diri untuk tidak mencengkeram kerah Vina.
Vina mengangkat bahu, berpura-pura tidak tahu. “Aku juga tidak tahu detailnya, Arfan. Aku hanya mendapat telepon dari sekolah Raya, lalu segera ke sini.” Ia menoleh ke Ayana. “Maaf, Ayana, aku sudah berusaha yang terbaik, tapi…”
“Cukup!” potong Arfan tajam. “Mana dokter yang menanganinya?”
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang IGD. Wajahnya tegang, napasnya berat. “Dengan keluarga Nona Raya?”
Ayana segera maju. “Saya ibunya, Dok. Bagaimana anak saya? Dia baik-baik saja, kan?”
Dokter menghela napas panjang. “Nona Raya mengalami benturan keras di kepala yang menyebabkan pendarahan ringan, dan patah tulang terbuka di tibia kaki kanannya. Kita harus segera melakukan operasi untuk membersihkan pendarahan dan menyatukan kembali tulangnya.”
Dunia Ayana runtuh lagi. Pendarahan di kepala. Operasi. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya seperti badai. “Operasi? Tapi dia masih sangat kecil, Dok…” bisiknya, air matanya tak lagi bisa dibendung.
“Ini satu-satunya cara, Ibu. Kita tidak bisa menunda lebih lama lagi,” kata dokter dengan nada prihatin. “Mohon tanda tangani surat persetujuan operasi segera.”
Arfan segera memegang tangan Ayana yang gemetar. “Aku yang akan mengurusnya, Ayana. Kau temani Raya.” Ia menoleh ke Vina. “Vina, kau bantu Ayana, temani dia.”
Vina mengangguk kaku, sorot matanya sulit diartikan. Ia mengikuti Ayana yang berjalan gontai, seolah setiap langkahnya menguras seluruh energinya, menuju ruang observasi tempat Raya kini terbaring.
Melalui panel kaca, Ayana melihat Raya. Wajah kecilnya pucat pasi, kepalanya dibalut perban, infus menancap di lengannya yang mungil. Dada Ayana terasa seperti dihantam godam. Anak perempuannya, satu-satunya hartanya yang paling berharga, terbaring tak berdaya karena… dirinya.
Air mata Ayana jatuh tak terbendung, membasahi panel kaca. Ia mengecupnya, seolah bisa mencium putrinya dari balik dinding dingin itu. “Raya… maafkan Ibu… maafkan Ibu…” isaknya pilu.
Vina berdiri di sampingnya, memandangi Raya, lalu menatap Ayana. “Ayana, aku tahu ini berat. Tapi kau harus kuat untuk Raya.”
Ayana tak menghiraukan Vina. Ia hanya ingin memeluk putrinya, memohon ampun atas segala dosa yang tak disengaja ini. Ia ingin memutar waktu, kembali ke saat ia memilih untuk tidak membiarkan Arfan masuk ke dalam hidupnya.
Beberapa jam kemudian, operasi Raya dimulai. Arfan kembali setelah mengurus semua administrasi, wajahnya terlihat lebih tegang. Ia duduk di samping Ayana di ruang tunggu, menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Ayana bersandar padanya, menangis dalam diam, kelelahan mental dan fisik yang luar biasa.
“Aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini, Ayana,” bisik Arfan, suaranya dipenuhi amarah yang membara. “Aku bersumpah.”
Tepat pada saat itu, seorang petugas kepolisian menghampiri mereka. “Maaf, dengan keluarga Nona Raya?”
Arfan dan Ayana mengangguk serempak. Vina yang duduk tak jauh dari mereka pun ikut menoleh, raut wajahnya berubah sedikit cemas.
“Kami ingin menanyakan beberapa hal terkait insiden kecelakaan Nona Raya,” kata petugas itu serius. “Berdasarkan keterangan saksi mata dan rekaman CCTV dari area sekitar sekolah, sepertinya kecelakaan ini bukan murni kelalaian. Ada indikasi… ada orang dewasa yang memicu Raya hingga lari ke jalan.”
Jantung Ayana berdebar kencang. Orang dewasa? Siapa?
“Pihak sekolah menginformasikan bahwa Nona Raya sangat gelisah dan menangis sejak jam istirahat siang. Beberapa teman sekelasnya mendengar Raya berbicara dengan seseorang yang datang menjemputnya lebih awal dari jadwal.” Petugas itu menatap Ayana. “Apa ada keluarga lain yang menjemput Raya dari sekolah hari ini?”
Ayana menggeleng cepat. “Tidak ada, Pak. Hanya saya atau ibu saya. Raya tidak pernah dijemput orang lain.”
“Tetapi menurut keterangan penjaga sekolah, Raya dijemput oleh seorang wanita yang sangat familiar dengan keluarga Anda, dan wanita itu juga yang terakhir terlihat berbicara dengan Raya sebelum kejadian.” Petugas itu diam sejenak, menatap Ayana dan Arfan, lalu mengalihkan pandangannya pada Vina yang kini terlihat sangat pucat dan gelisah.
“Dan Raya sempat berbicara dengan perawat di IGD sebelum pingsan karena syok. Ia terus mengulang kalimat, ‘Tante Vina bilang… Ibu tidak sayang Raya lagi… Ibu jahat…’”
Darah Ayana mendidih. Wajahnya memerah padam. Ia mendongak, tatapannya menyalang, langsung menembus mata Vina. Semua kepingan puzzle mendadak tersusun. Kecemasan Vina yang terlalu dibuat-buat, kilasan kepuasan di matanya, dan sekarang… pengakuan Raya.
Ini bukan kecelakaan. Ini adalah sabotase. Serangan yang kejam, yang menjadikan anaknya sebagai pion. Air mata Ayana yang tadinya adalah kesedihan dan penyesalan, kini berubah menjadi bara api kemarahan. Ia bangkit, melangkah tegak menghampiri Vina yang sudah terhuyung, bibirnya bergetar.
“Kau… Kau yang melakukan ini, Vina?!” Suara Ayana bergetar menahan ledakan amarah. “Kau meracuni pikiran anakku?! Kau memanfaatkan Raya hanya untuk menyakitiku?!”
Vina mundur selangkah, wajahnya kehilangan semua warna. “A-Apa maksudmu, Ayana? Aku tidak tahu apa-apa! Jangan menuduhku sembarangan!”
“Jangan berbohong!” teriak Ayana, kini tanpa peduli lagi akan lokasi mereka. “Raya tidak pernah berbohong! Dia bilang Tante Vina yang membuat dia lari! Kau bilang apa padanya, Vina?! Apa yang kau katakan pada anakku sampai dia ketakutan dan lari sampai kecelakaan seperti ini?!”
Arfan sudah berdiri di belakang Ayana, tangannya mengepal erat, matanya menyala. Kemarahan yang selama ini ia pendam, kini meledak. Ia sudah muak dengan permainan Vina.
Vina menggeleng panik, mencoba mencari alasan. “Aku… aku hanya mencoba menasihati Raya… aku tidak bermaksud…”
“Menasihati?!” Ayana tertawa pahit, air mata kemarahan membasahi pipinya. “Kau memprovokasi anakku! Kau menghancurkan psikisnya! Dan sekarang dia terbaring di meja operasi karena perbuatanmu yang keji, Vina!”
“Aku tidak bermaksud dia celaka! Aku hanya ingin dia tahu siapa ibunya sebenarnya!” Vina membela diri, namun suaranya melengking tinggi, mengungkapkan kebenaran yang tak bisa lagi disembunyikan. “Aku hanya ingin dia tahu kau tidak pantas menjadi ibunya! Kau selingkuh dengan pamannya sendiri, Ayana! Kau menghina mendiang suamimu! Apa kau pikir Raya tidak berhak tahu?! Apa kau pikir ini semua tidak ada konsekuensinya?!”
Bentakan Vina bergema di koridor rumah sakit, menarik perhatian beberapa perawat dan pengunjung. Ayana terhenyak. Semua terungkap. Semua terucap. Di tempat paling mengerikan ini, di saat paling rentan dalam hidupnya, rahasia kotornya dibongkar paksa di depan umum.
Tetapi rasa malu itu dengan cepat tertelan oleh ledakan amarah yang lebih besar. Matanya menatap Vina, bukan lagi sebagai teman atau kerabat mendiang suaminya, tetapi sebagai iblis yang telah menyentuh hal paling sakral dalam hidupnya: putrinya.
Arfan maju, menempatkan diri di antara Ayana dan Vina, seolah takut Ayana akan melakukan hal yang tak terduga. Wajahnya merah padam karena amarah, napasnya memburu. “Vina! Cukup!” bentaknya, suaranya menggelegar.
Vina terdiam, menatap Arfan dengan ketakutan di matanya. Ia baru menyadari seberapa jauh ia telah melangkah, dan seberapa besar kemarahan yang ia timbulkan.
“Kau sudah keterlaluan,” bisik Arfan, suaranya rendah dan penuh ancaman, lebih mengerikan dari bentakan apapun. “Kau menyakiti Raya. Kau menggunakan anak kecil yang tidak bersalah. Aku tidak akan memaafkanmu untuk ini.”
Arfan memutar tubuhnya, menatap Ayana yang masih gemetar menahan amarah, air matanya kini bercampur dengan tekad baja. Ia melihat Vina sudah melangkah mundur, melarikan diri dari konfrontasi. Namun Arfan tahu, ini bukan akhir. Ini baru permulaan dari perang yang sesungguhnya. Raya adalah garis yang tak boleh dilanggar. Dan Vina baru saja melewati garis itu.
“Apa yang akan kita lakukan, Arfan?” bisik Ayana, tatapannya kosong namun penuh ancaman. “Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja setelah menyakiti Raya…”
Arfan memegang erat tangan Ayana, sorot matanya dingin membeku. “Kita akan membela Raya, Ayana. Sampai titik darah penghabisan.”
Namun, di tengah semua kekacauan itu, di balik pintu operasi, kehidupan Raya masih di ujung tanduk. Dan Ayana tahu, perjuangan yang lebih besar, lebih berat, kini baru saja dimulai. Bisakah dia menyelamatkan Raya, dan dirinya sendiri, dari kehancuran yang sudah di depan mata?
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini