Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 : Mantra Bernama Shani
Kopi yang sejak satu jam lalu dipesannya kini telah dingin. Tak ada uap, tak ada rasa yang tersisa selain pahit yang menggantung di permukaan. Namun, Freya tidak menggubris. Seolah waktu tidak berlaku di ruang ini, di pojok jendela Cafe tua yang temaram, tempat ia selalu duduk setiap senja basah datang mengetuk. Pandangan matanya kosong namun dalam. Ia tak benar-benar melihat langit kelabu atau bangunan tua yang berjejer di seberang. Pandangannya menembus segalanya—menyatu dengan melodi pilu dari piano yang dimainkan oleh seorang lelaki tua di luar teras. Nada-nada itu tak sekadar bunyi. Ia seperti luka yang dilagukan. Seperti kesedihan yang menemukan bentuknya dalam suara.
Freya menutup mata. Ia membiarkan suara piano itu membelah pikirannya yang berkabut. Lagu itu, entah mengapa, selalu terasa seolah ditujukan untuknya. Seolah sang pianis mengetahui isi hatinya yang belum sempat dijahit kembali. Mungkin bukan hanya ia yang merasa begitu. Para pengunjung lain pun terdiam dalam damai yang ganjil, terhipnotis oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Dan anehnya, sang pianis itu hanya datang saat hujan. Seolah hujan dan dirinya terikat oleh takdir yang tak kasat mata.
Orang-orang menyebutnya Sang Pianis Hujan, dan tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Ia seperti sosok dari dunia lain yang hanya hadir ketika langit menangis. Dan entah mengapa, setiap kali Freya mendengar alunan pianonya, sesuatu dalam dirinya seperti terbuka—sebuah ruang kecil yang menyimpan tanya-tanya tak berjawab tentang cinta, kesendirian, dan dunia yang seolah berjalan mundur ketika kita mencoba mengerti arti kehilangan.
Dalam ruang sunyi itulah kisah ini dimulai. Dari seorang gadis bernama Freyanashifa Arunika, yang tidak sedang menunggu siapa pun—tapi justru sedang ditemukan oleh sesuatu yang lebih besar dari cinta itu sendiri. Sesuatu yang akan menuntunnya melintasi batas antara kenyataan dan keajaiban. Sebuah nada yang jatuh bersama hujan, dan membawa takdir di balik tiap ketukannya. Karena kadang, kisah cinta tidak dimulai dengan pertemuan... tapi dengan kehampaan yang tiba-tiba diisi oleh musik.
......***......
"Jadi begitulah, asal usul dari 7 misteri yang ada di sekolah ini…" ucap Zee, suaranya merendah di akhir kalimat seolah ingin membangkitkan suasana mencekam.
"Hei, bukankah itu hanya sebuah mitos…" balas Ashel, nada suaranya mencampurkan rasa ragu dan geli.
"Ya, aku pernah kembali ke sekolah pada saat malam hari, dan aku tidak menemukan apa pun," timpal Adel, dengan ekspresi datar seperti ingin menegaskan bahwa ia tak percaya pada hal-hal semacam itu.
"Itu bukan mitos, tapi urban legend. Misteri yang belum terpecahkan di sekolah kita…" Zee tetap bersikukuh pada pendapatnya, matanya bersinar aneh seolah ia menikmati ketegangan yang ia ciptakan sendiri.
Sementara itu, Freya mengalihkan sebentar pandangannya dari novel yang sedang ia baca ke arah teman-temannya di bangku lain. Mereka tampak asyik dengan cerita horor yang sedang dibawakan Zee. Bibir Freya terangkat tipis, bukan karena tertarik, tapi lebih kepada sebuah jeda dari dunianya sendiri yang begitu sunyi. Ia menghela napas pelan, dan di udara yang dingin, uap dari napasnya terlihat melayang perlahan seperti roh yang tersesat. Ia kembali membalik halaman novelnya, namun suara gemuruh guntur dari langit membuatnya menoleh ke arah jendela. Hari ini cerah berawan. Warna langit biru tampak pekat, meski awan-awan kapas menggantung bimbang. Freya menatap langit seperti sedang membaca sesuatu di antara jeda petir dan awan—sebuah pertanda, mungkin. Atau hanya kebiasaan melankolis seorang gadis yang terlalu akrab dengan kesepian.
Mereka sibuk membahas misteri yang katanya menakutkan, tapi bagi Freya, misteri paling menakutkan justru adalah dirinya sendiri. Ia tak butuh hantu untuk merasa gentar—ia cukup menatap bayangannya di cermin. Karena di balik tatapan tenangnya, ada keretakan kecil yang tak bisa dilihat siapa pun. Hidupnya bukan tentang tujuh misteri, melainkan satu kesunyian panjang yang tak pernah selesai dijelaskan. Kadang ia merasa seperti novel yang tengah ia baca—halaman demi halaman dibalik, tapi tak pernah benar-benar dipahami.
Dan saat kilat menyambar jauh di balik awan, Freya bertanya dalam hati, Apakah manusia seperti dirinya juga termasuk dalam legenda yang tak pernah berhasil dipecahkan? Atau hanya jejak samar yang perlahan dilupakan waktu?
Ia memejamkan mata sejenak. Di balik kelopak matanya, dunia terasa lebih sunyi… dan lebih jujur. 'Andai aku punya pacar…' Batinnya mulai berbicara, mengisi ruang kosong dalam dirinya yang tak pernah benar-benar sunyi. Kata-kata itu tak pernah ia ucapkan lantang. Hanya bergema dalam hatinya yang terdalam—di tempat di mana kesepian tak pernah meminta izin untuk tinggal.
Ya, sampai sekarang Freya masih sendiri. Bukan karena tak ada yang mendekat, bukan karena tak ada yang mencoba. Tapi karena ia sendiri yang menciptakan jarak. Satu, dua, bahkan lima orang telah menyatakan cinta kepadanya jauh-jauh hari, beberapa dengan bunga, beberapa dengan puisi, dan ada pula yang hanya lewat pandangan penuh harap. Namun, semuanya berakhir dengan senyum sopan dan penolakan yang tenang.
Bukan tanpa alasan Freya menolak mereka. Baginya, cinta tidak bisa dipaksakan oleh waktu, tidak bisa diatur oleh logika, atau didefinisikan dengan status.
Cinta sejati, pikir Freya, adalah hal yang tak berwujud namun terasa lebih nyata dari apapun. Ia tak terukur oleh hadiah, tak terbeli oleh janji manis, dan tak bisa dibayar dengan perhatian yang setengah hati. Cinta adalah rasa yang muncul ketika seseorang tidak lagi mencari, tapi malah menemukan. Namun hingga kini, Freya merasa belum benar-benar menemukannya. Entah karena dia yang terlalu selektif, atau karena takdir memang belum sampai pada titik itu. Mungkin, pikir Freya, cinta sejati itu seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Kau tidak pernah tahu kapan datangnya, tapi ketika ia tiba, kau tahu… inilah waktunya.
Kelas yang semula tenang, dihiasi hanya oleh detak jam dinding dan desah pelan angin dari jendela yang terbuka setengah, tiba-tiba berubah ramai. Suara tangis terdengar pelan, lalu makin jelas. Seorang gadis dibantu berjalan oleh dua temannya. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan langkahnya limbung. Tangisnya tidak meledak, tapi lirih—seperti rintik hujan yang jatuh di sore yang pilu. Freya hanya menoleh, sekilas. Tak ada niat untuk menghampiri. Ia sudah cukup paham bahwa tidak semua duka perlu disambut dengan pelukan. Kadang, beberapa orang hanya butuh diam dan udara untuk tenang.
Gadis itu, Gracia, duduk di bangkunya dengan bantuan teman-temannya. Kepalanya tertunduk, bahunya naik-turun menahan isak. Kelompok Zee yang sejak tadi asyik berceloteh horor, langsung beralih haluan. Mereka mengerumuni Gracia dengan pertanyaan dan gumaman keheranan.
"Gracia kenapa?" tanya Zee, nadanya sedikit bersemangat.
"Biasa, dia habis ditolak sama Shani…" jawab Feni cepat, tanpa banyak drama.
"Oh, si ganteng peringkat satu itu…" timpal Adel, dengan nada sedikit menyindir namun tetap penasaran.
Freya menutup novelnya perlahan. Bukannya tidak tertarik, tapi dia tahu akhir dari kisah ini. Cinta yang tidak dibalas, luka yang tidak kasat mata. Dunia remaja selalu sibuk mencintai mereka yang tak peduli, dan mengabaikan mereka yang diam-diam peduli. Ia menghela napas. Di luar, awan mulai menebal, menutup langit biru yang tadi sempat menyapa. Seperti hati Gracia yang kini ditutup kecewa, dan seperti hatinya sendiri—yang lama-lama terbiasa menjadi sunyi. Karena kadang, lebih mudah mengobati luka dari penolakan... daripada membiarkan diri berharap pada sesuatu yang tak pernah nyata. Freya memundurkan sedikit kursinya, kemudian beranjak berjalan keluar kelas.
"Mau ke mana, Fre?" tanya Zee.
Freya menoleh sebentar. "Toilet..." ucapnya pelan.
"Bareng, deh." Zee ikut beranjak dari duduknya. Kedua gadis tersebut sama-sama meninggalkan suasana kelas yang mulai mereda.
...***...
Selesai dengan kegiatannya, Freya dan Zee keluar dari bilik kloset. Freya mencuci tangannya, lalu merapikan anak rambut di depan kaca wastafel. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata—seperti selembar puisi yang belum selesai ditulis.
"Fre, gak mau nyoba nembak si Shani juga?" tanya Zee. Ia sudah berada di samping Freya, ikut merapikan dirinya. Nada suaranya dibuat santai, tapi ada kegelisahan samar di ujungnya—seolah tahu bahwa pertanyaan itu lebih berat dari yang terdengar.
Freya diam sejenak, menatap pantulan dirinya. "Gadis secantik Gracia saja ditolak, apalagi aku..." ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, tanpa menoleh.
"Siapa tahu dia sukanya dengan gadis sepertimu. Suka baca buku, nggak suka clubbing, sering ke perpus, jago bikin puisi, dan... jago menyanyi," timpal Zee, mencoba terdengar optimis.
Freya tertawa kecil. Tawa yang hambar. Bukan karena lucu, tapi karena ia lelah membohongi dirinya sendiri. "Nggak tahu. Lihat nanti aja..." balas Freya.
Dalam hati, ia menatap dirinya sendiri. Banyak hal yang tidak pernah ia katakan kepada siapa pun. Tentang rasa sepi yang menempel di punggungnya seperti bayangan. Tentang Shani yang selalu ia perhatikan dari jauh—seperti bintang yang terlalu tinggi untuk digapai, tapi terlalu terang untuk diabaikan. Ia selalu berpikir, perasaan seperti ini bukan untuk diumbar. Karena di dunia ini, orang yang mencintai diam-diam adalah orang yang paling sering menanggung luka sendirian. Diam-diam berharap. Diam-diam patah. Dan Freya tahu, ada cinta yang tumbuh tidak untuk dimiliki, tapi untuk dikenang. Untuk diam-diam membuat puisi yang tidak pernah selesai. Untuk menyanyikan lagu yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, di dalam kepalanya, sebelum tidur.
"Shani..." gumamnya, hampir tidak terdengar. Namanya seperti mantra. Mengisi kekosongan tanpa perlu kehadiran.
Zee menoleh, "Apa, Fre?"
Freya tersenyum tipis. "Nggak, cuma ngomong sendiri."
Zee hanya mengangguk, lalu menarik tangan Freya agar berjalan kembali ke kelas. Tapi bagi Freya, perjalanan menuju kelas terasa lebih seperti kembali ke kenyataan—tempat di mana ia harus kembali menutupi semuanya dengan tawa, dengan acuh, dan dengan pura-pura tidak peduli.