Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Kata-kata tidak meninggalkan bekas di kulit. Tapi mereka bisa menetap jauh lebih lama di kepala, di dada, di tempat yang tidak bisa dilihat siapa pun. Dan Feng Niu… mulai menyadari betapa mudahnya kata-kata bisa menjadi senjata.
Pagi itu, hujan turun rintik-rintik. Langit kelabu menggantung rendah di atas kota, membuat rumah besar itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Ji Chen sedang mengenakan jas di depan cermin. Gerakannya rapi, seperti biasa. Feng Niu duduk di tepi ranjang, mengikat rambutnya asal-asalan. Perutnya belum terlalu besar, tapi sudah cukup untuk membuatnya merasa tubuhnya bukan miliknya lagi. “Kamu mau ke kantor sepagi ini?” tanyanya tanpa menoleh. “Ada rapat dewan,” jawab Ji Chen.
“Setiap hari rapat.” Feng Niu mendengus kecil. “Perusahaanmu itu seperti istrimu yang sebenarnya.” Ji Chen menegang sedikit. “Ini pekerjaanku.”
“Dan aku apa?” Feng Niu menatapnya akhirnya. “Dekorasi rumah?” Ji Chen berbalik. “Kenapa kamu selalu berbicara seperti itu?”
“Seperti apa?”
“Seolah aku sengaja mengabaikanmu.” Feng Niu tertawa pendek. “Bukankah memang begitu?” Hujan di luar terdengar lebih keras. Ji Chen menghela napas. “Aku bekerja untuk keluarga ini.”
“Untuk reputasi keluarga Fu,” balas Feng Niu cepat. “Bukan untukku.”
“Kamu istriku.”
“Di atas kertas.” Feng Niu berdiri. “Di hatimu? Aku bahkan tidak yakin aku ada di sana.” Ji Chen terdiam. Kata-kata itu menghantam lebih keras dari teriakan. Ia mengambil tas kerjanya. “Aku pulang malam.”
“Tentu saja.” Feng Niu menoleh ke jendela. “Selalu.”
Hari itu, Feng Niu bertemu Qin Mo di sebuah kafe. Qin Mo datang dengan senyum lebar, mengenakan gaun cerah yang kontras dengan suasana Feng Niu. “Kamu kelihatan lelah.”
“Karena aku memang lelah,” jawab Feng Niu sambil mengaduk kopinya.
“Ji Chen lagi?” Qin Mo mengangkat alis. “Dia selalu Ji Chen.” Feng Niu menghela napas. “Dingin. Diam. Selalu merasa benar.”
Qin Mo tersenyum tipis. “Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri.”
“Aku?” Feng Niu tertawa sinis. “Aku yang mengorbankan hidupku.”
“Kamu berhak bahagia,” kata Qin Mo lembut. “Jangan biarkan siapa pun membuatmu merasa kecil.”
Kata kecil itu melekat. Saat Feng Niu pulang sore itu, kata-kata Qin Mo masih berputar di kepalanya.
Malam tiba. Ji Chen pulang larut, seperti yang ia katakan. Jasnya basah oleh hujan. Feng Niu sedang duduk di ruang tamu, menonton televisi tanpa benar-benar melihat. “Kamu sudah makan?” tanya Ji Chen, melepas sepatu.
“Belum,” jawab Feng Niu tanpa menoleh. Ji Chen menuju dapur. “Aku buatkan sesuatu.”
“Aku tidak minta,” potong Feng Niu. Ji Chen berhenti. “Aku tahu. Tapi—”
“Kamu selalu begitu.” Feng Niu berdiri, mematikan televisi. “Selalu melakukan sesuatu yang tidak kuminta, lalu berharap aku berterima kasih.” Ji Chen menatapnya. “Aku hanya mencoba—”
“Mencoba apa?” Feng Niu mendekat selangkah. “Menjadi suami sempurna? Atau menenangkan egomu sendiri?”
Ji Chen terdiam. “Kamu tahu apa yang paling menyebalkan?” lanjut Feng Niu, suaranya dingin. “Kamu tidak pernah marah. Tidak pernah melawan. Seolah aku tidak cukup penting untuk membuatmu bereaksi.”
“Itu tidak benar.”
“Benar.” Feng Niu menatapnya tajam. “Kamu bahkan tidak pernah mengatakan kamu mencintaiku.” Kata itu jatuh di antara mereka. Ji Chen membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Keheningan itu… cukup untuk menjawab segalanya. Feng Niu tersenyum pahit. “Lihat? Bahkan sekarang kamu tidak bisa.”
“Cinta bukan sesuatu yang harus diumbar,” kata Ji Chen akhirnya. “Ah.” Feng Niu mengangguk pelan. “Berarti aku memang tidak pantas.”
“Itu bukan maksudku!”
“Lalu apa?” suara Feng Niu meninggi. “Aku mengandung anakmu, aku terjebak dalam pernikahan ini, dan kamu bahkan tidak bisa memberiku satu kalimat sederhana?”
Ji Chen merasakan sesuatu retak di dadanya. “Kamu selalu membuatku merasa bersalah,” katanya pelan. Feng Niu tertawa kecil. “Mungkin karena kamu memang bersalah.” Kalimat itu seperti pisau.
Hari-hari berikutnya, kata-kata Feng Niu semakin tajam. “Kamu membosankan.”
“Kamu tidak tahu cara membuat wanita bahagia. Aku bahkan tidak tahu kenapa orang tuaku memilihmu. Kamu cuma pria kaku yang kebetulan kaya.” Setiap kalimat diucapkan tanpa teriakan. Tanpa emosi berlebihan. Justru itu yang membuatnya lebih kejam.
Ji Chen mulai diam lebih lama. Senyumnya semakin jarang. Ia pulang lebih larut, pergi lebih pagi. Rumah itu terasa seperti medan ranjau setiap percakapan bisa meledak kapan saja.
Suatu malam, saat Feng Niu mengeluh tentang perutnya yang sakit, Ji Chen menyarankan pergi ke rumah sakit. “Aku tidak perlu dokter,” jawab Feng Niu tajam. “Tapi ini tentang anak—”
“Berhenti!” Feng Niu memotong. “Jangan selalu membawa anak itu untuk memaksaku.” Ji Chen menatapnya, terkejut. “Itu anak kita.”
“Anakmu,” koreksi Feng Niu. “Aku hanya wadahnya.” Kata itu… membuat Ji Chen terdiam lama. “Kamu keterlaluan,” katanya akhirnya. Feng Niu mendengus. “Akhirnya kamu marah.” Bukan kemenangan yang ia harapkan, tapi ada kepuasan kecil di sana.
Di balik pintu kamar, Ji Chen duduk sendirian malam itu. Ia menatap cincin di jarinya. Kilau emasnya terasa dingin. Ia bertanya pada dirinya sendiri kapan kata-kata Feng Niu mulai terasa lebih menyakitkan daripada keheningannya?
Dan di kamar lain, Feng Niu berbaring dengan mata terbuka. Ia tahu kata-katanya kejam. Ia tahu ia menyakiti. Tapi entah kenapa… menyakiti terasa lebih baik daripada terus merasa tak terlihat.
Tanpa mereka sadari, pola itu mulai terbentuk. Feng Niu menyerang dengan kata-kata. Ji Chen bertahan dengan diam. Dan di antara mereka… jarak semakin melebar. Ini bukan pertengkaran besar. Ini lebih buruk. Ini adalah kebiasaan. Dan kebiasaan, jika dibiarkan, akan menjadi luka permanen.