Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Serangan di Perbatasan
Seminggu telah berlalu sejak malam di perpustakaan, dan Shadowfall terasa sedikit berbeda. Tidak ada perubahan besar—langit masih kelabu dan dinding masih hitam—tapi ada denyut kehidupan baru yang samar.
Di dalam rumah kaca kuno, suara gemericik air terdengar seperti musik.
Berkat terjemahan Kaelen dan tenaga kasar si kembar Brann dan Brom, sistem Hydro-Magica telah pulih. Air jernih dari mata air bawah tanah kini mengalir melalui pipa-pipa kristal, membasahi tanah yang telah Elara perkaya dengan kompos buatannya sendiri.
"Lihat itu," bisik Elara, menunjuk ke sudut pot batu.
Di sana, di antara daun-daun Silver-Fern yang baru bersemi, sebuah kuncup bunga kecil berwarna putih susu mulai merekah. Moondrop. Bunga pertama yang mekar di istana ini dalam satu dekade.
"Cantik sekali, Nona," puji Brann, wajah raksasanya merona merah. Dia menyeka tangannya yang kotor di apron kulitnya. "Raja harus melihat ini."
"Aku akan memberitahunya nanti sore saat mengganti perbannya," kata Elara sambil tersenyum puas.
Hubungan mereka membaik. Kaelen masih dingin, sarkastis, dan sering menggerutu, tapi dia tidak lagi mengusir Elara. Setiap sore, Elara datang ke ruang kerjanya untuk memeriksa lukanya (yang sudah sembuh total, tapi Elara bersikeras melakukan 'perawatan pencegahan'), dan kadang mereka berdebat tentang teori botani atau sejarah kerajaan.
Itu adalah rutinitas yang aneh, tapi nyaman.
Namun, kedamaian di Shadowfall adalah ilusi yang rapuh.
WUUUUUUUUUUUNG!
Suara itu merobek udara. Bukan lonceng menara. Itu adalah suara tiupan tanduk raksasa—dalam, bergetar, dan memekakkan telinga. Suara yang membuat tulang rusuk Elara bergetar.
Brann dan Brom langsung menjatuhkan sekop mereka. Wajah mereka yang ramah berubah menjadi topeng ketakutan dan kewaspadaan prajurit.
"Tanduk Perang," kata Brom, suaranya tegang. "Itu tanda dari Tembok Utara."
"Serangan?" tanya Elara, jantungnya berpacu.
"Serangan besar," koreksi Brann. "Satu tiupan untuk patroli. Dua untuk serangan kecil. Itu tadi tiupan panjang tanpa putus. Itu artinya Breach (Pebobolan)."
Tanpa kata lagi, kedua prajurit itu berlari keluar rumah kaca, meninggalkan Elara sendirian dengan bunga Moondrop-nya yang bergoyang tertiup angin yang tiba-tiba kencang.
Elara tidak tinggal diam. Dia menyambar tas obatnya yang selalu dia letakkan di dekat pintu, lalu berlari menuju halaman utama.
Halaman utama istana telah berubah menjadi lautan besi dan api.
Ratusan prajurit Shadowguard berbaris dengan disiplin militer yang menakutkan. Mereka mengenakan zirah pelat hitam penuh, tombak-tombak mereka memancarkan ujung sihir ungu. Kuda-kuda Nightmare meringkik liar, napas mereka mengeluarkan asap belerang.
Dan di tengah kekacauan itu, ada Raja Kaelen.
Elara berhenti napas melihatnya.
Jika selama ini Elara melihat Kaelen sebagai 'pria sakit yang pemarah', hari ini dia melihat The Thorn King yang legendaris.
Kaelen mengenakan zirah perang yang terbuat dari logam hitam Stygian. Tapi zirahnya tidak menutupi seluruh tubuhnya. Di bagian kanan—bagian tubuh monsternya—zirah itu sengaja dibiarkan terbuka, membiarkan duri-duri kristal hitam tumbuh memanjang dan tajam, menjadi senjata alami yang mengerikan.
Dia sedang menaiki seekor Nightmare raksasa yang lebih besar dari yang lain, seekor kuda hitam legam dengan surai api biru. Vorian berada di sampingnya, meneriakkan perintah kepada para komandan pasukan.
"Kita berangkat sekarang!" teriak Kaelen, suaranya menggelegar di atas kebisingan pasukan. "Jangan biarkan satu pun Void Walker melewati celah itu! Lindungi desa-desa di lembah!"
Kuda Kaelen berjingkrak, siap memacu.
"Tunggu!"
Elara menerobos barisan prajurit, mengabaikan teriakan para penjaga yang menyuruhnya minggir. Dia berlari tepat ke depan kuda Kaelen.
Kuda monster itu meringkik dan mengangkat kaki depannya, hampir menginjak Elara.
"Elara!" seru Kaelen, menarik kekang kudanya dengan kasar. Mata merah dan abu-abunya membelalak kaget. "Apa yang kau lakukan? Minggir! Kau mau mati terinjak?"
"Anda mau pergi ke mana?" teriak Elara, napasnya tersengal.
"Ke neraka," jawab Kaelen kasar. "Perbatasan jebol. Ratusan Void masuk. Kembali ke dalam istana, kunci pintu, dan jangan keluar sampai aku kembali. Jika aku kembali."
"Aku ikut," kata Elara tegas.
Hening seketika di lingkaran terdekat mereka. Vorian menatap Elara seolah dia gila. Kaelen menatapnya seolah dia ingin mencekiknya.
"Jangan konyol," geram Kaelen. "Ini bukan piknik botani. Ini perang. Darah, usus terburai, dan monster yang memakan jiwamu. Tempatmu di sini, aman di balik dinding."
"Tempat saya di samping pasien saya!" balas Elara, tidak mau kalah. Dia mencengkeram tali kekang kuda Kaelen, tindakan yang membuat beberapa prajurit menahan napas ngeri.
"Dengar," Elara melanjutkan dengan cepat sebelum Kaelen bisa membentaknya lagi. "Anda baru pulih dari infeksi minggu lalu. Jika Anda menggunakan sihir penghancur secara berlebihan di medan perang, kutukan itu akan menyebar lebih cepat. Tubuh Anda akan memanas. Anda akan menjadi batu sebelum musuh sempat membunuh Anda."
Kaelen terdiam. Rahangnya mengeras. Dia tahu gadis itu benar. Setiap kali dia berperang, dia kehilangan sedikit lagi bagian kemanusiaannya.
"Saya adalah baterai penyeimbang Anda," kata Elara, menggunakan istilah teknis yang dia baca di buku Kaelen. "Saya bisa meredam efek samping sihir Anda saat Anda bertarung. Saya bisa menjaga Anda tetap sadar."
"Itu terlalu berbahaya, Elara," suara Kaelen melembut sedikit, putus asa. "Aku tidak bisa melindungimu di sana."
"Saya tidak minta dilindungi. Saya minta diizinkan bekerja," Elara menatap tajam mata Kaelen. "Perjanjian kita, ingat? Saya harus menjaga Anda tetap hidup selama 30 hari. Jika Anda mati di medan perang hari ini karena tubuh Anda kaku menjadi batu, saya gagal. Desa saya hancur."
Kaelen menatap gadis kecil di hadapannya. Rambutnya berantakan tertiup angin, gaunnya kotor oleh tanah rumah kaca, tapi matanya menyala dengan tekad baja yang menyaingi prajurit veteran mana pun.
Dia butuh Elara. Logikanya mengakui itu. Tapi hatinya berteriak menolak membawa cahaya sekecil itu ke dalam kegelapan.
"Tuanku," Vorian menyela pelan dari samping. "Nona Elara benar. Terakhir kali Anda melawan Void Lord, Anda koma selama tiga hari. Kita tidak punya kemewahan itu sekarang. Duke Vane sedang mengawasi. Kita butuh Anda kembali berdiri tegak setelah pertempuran."
Kaelen mengumpat kasar. Dia memukul pelana kudanya dengan tangan besi.
"Baik!" bentaknya. "Tapi dengar aturanku. Satu: Kau tidak boleh jauh lebih dari lima meter dariku atau Vorian. Dua: Jika aku menyuruhmu lari, kau lari. Jangan berdebat, jangan jadi pahlawan. Mengerti?"
"Mengerti," jawab Elara cepat.
"Vorian, berikan dia kuda," perintah Kaelen.
"Tidak perlu," kata Elara. Dia menunjuk ke arah kandang. Brann sudah berlari keluar menuntun seekor kuda putih biasa—bukan Nightmare—yang tampak gugup tapi patuh. Itu kuda tua yang biasa menarik kereta logistik, tapi cukup kuat.
Elara naik ke atas kuda itu dengan gerakan yang tidak terlalu anggun, tapi cukup efektif. Dia menyelipkan tas obatnya ke punggung.
Kaelen menatapnya sekali lagi, menggelengkan kepala tak percaya. "Kau akan menjadi kematianku, Gadis Herbal. Entah karena kutukan atau karena serangan jantung."
Elara tersenyum tipis, meski tangannya gemetar memegang tali kekang. "Ayo selamatkan kerajaan Anda, Yang Mulia."
Kaelen berbalik menghadap pasukannya. Wajahnya kembali menjadi topeng perang yang menakutkan. Dia mengangkat pedang hitam besarnya ke udara. Cahaya ungu menjalar di sepanjang bilahnya.
"MAJU!"
Bumi bergetar saat ratusan kuda Nightmare memacu langkah mereka. Gerbang utama Shadowfall terbuka lebar.
Mereka keluar dari benteng, menuruni jalan pegunungan yang curam, menuju ke arah utara di mana langit tampak sobek dan mengeluarkan asap hitam pekat.
Elara memacu kudanya di samping Vorian, tepat di belakang Kaelen. Angin dingin menampar wajahnya. Rasa takut mencekik lehernya, tapi dia menelannya bulat-bulat.
Dia melihat punggung Kaelen yang lebar. Duri-duri di bahunya tampak bersinar merah, bereaksi terhadap kedekatan musuh.
Bertahanlah, batin Elara, mengirimkan doa pada siapa pun dewa yang mendengarkan. Jangan biarkan dia menjadi batu hari ini.
Perang pertamanya dimulai.
BERSAMBUNG...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️