NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:261
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HILANG KESEMPATAN

Arum tak pernah menyangka akan bertemu dengan Langit—seorang pria yang, dalam bayangannya sendiri, terasa terlalu sempurna untuk ia miliki. Langit tidak hanya tampan dengan garis wajah tegas dan sorot mata yang tenang, tetapi juga memiliki pembawaan yang membuat orang merasa aman berada di dekatnya. Sikapnya dewasa, tutur katanya terukur, dan setiap keputusan yang ia ambil selalu tampak dipikirkan dengan matang.

Di balik penampilannya yang rapi dan berkarisma yang tak dibuat-buat, Langit adalah sosok yang bertanggung jawab. Ia tahu kapan harus bersikap lembut, dan kapan harus berdiri tegak melindungi orang yang ia cintai. Perhatiannya tidak berlebihan, namun selalu tepat sasaran—hal-hal kecil yang sering luput dari orang lain justru tak pernah ia abaikan.

Bagi Arum, Langit bukan hanya pria sempurna dari luar, tetapi juga dari cara ia hadir begitu tenang, pasti, dan membuatnya merasa cukup, seolah untuk pertama kalinya Arum tak perlu merasa kurang di hadapan siapa pun.

Berhari-hari Arum terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani aroma antiseptik yang menusuk dan bunyi mesin monitor yang setia berdetak di sekelilingnya. Setiap hari tubuhnya sedikit demi sedikit kembali kuat, meski rasa nyeri masih kerap datang tanpa aba-aba.

Disamping itu, seorang perawat rutin mengganti infusnya dan sang dokter memeriksa kondisinya dengan wajah serius namun menenangkan, hingga akhirnya kalimat yang ia tunggu-tunggu itu terucap, kondisinya cukup stabil untuk meninggalkan kamar sejenak.

"Jadi, maksud dokter hari ini saya diperbolehkan untuk bertemu dengan Mas Langit, pacar saya Dok?" Tanya Arum, memastikan.

Sang dokter mengangguk pelan, sebuah gerakan sederhana yang justru mengguncang hati Arum. Dadanya terasa menghangat sekaligus bergetar, seolah harapan yang selama ini ia genggam rapuh kini diberi ruang untuk bernapas.

Perawat itu kemudian mendekat dengan langkah hati-hati, mendorong kursi roda ke hadapan Arum. Tangannya cekatan namun lembut, memastikan selang infus tetap aman sambil menutupi rapi kakinya dengan selimut. “Pelan-pelan ya, Bu,” Ucapnya menenangkan.

Arum mengangguk, jari-jarinya menggenggam tepi kursi roda, napasnya ditahan sejenak saat roda mulai bergerak keluar dari ruangan yang sudah tak asing lagi baginya.

****

Lorong rumah sakit terasa panjang dan sunyi. Derit halus roda kursi bergema di lantai mengilap, berpadu dengan bunyi alat medis yang samar dari balik pintu-pintu tertutup. Lampu putih menggantung di atas kepala, dingin namun terang, mengiringi setiap meter jarak yang semakin mendekatkannya pada Langit bersama jantungnya yang berdebar tak karuan—antara takut melihat kenyataan dan rindu yang tak tertahankan.

Ketika pintu ICU akhirnya tampak di depan mata, langkah perawat melambat. Arum menelan ludah, sementara tangannya gemetar.

Ketika perawat itu membawanya masuk ke dalam ruangan, muncul sang dokter masuk lalu mendekat. "Kondisi pasien telah melewati masa krisis..." Ujarnya. Tak bermaksud mengejutkan, namun cukup membuat Arum tersentak saat dirinya tak percaya memandang pria yang ia cintai tengah terbaring lemah di ranjang pasien. Nampak, Langit tengah berjuang dalam diam, mempertaruhkan nyawanya sendirian antara hidup dan mati.

“…meski begitu, mohon untuk tidak membuat pasien terkejut,” Lanjut sang dokter dengan nada tenang. “Kondisinya memang belum sadar, namun indera pendengarannya masIh berfungsi. Ia masih dapat mendengar apa pun yang terjadi di sekitarnya.”

Dokter itu kemudian melirik perawat, memberi isyarat halus agar untuk memberi Arum waktu.

Begitu pintu ruang ICU tertutup perlahan, menyisakan bunyi klik pelan yang terasa begitu nyaring di telinga Arum, seketika ruangan itu terasa hening. Hening yang berat—hanya deru mesin monitor yang berdetak stabil, seolah menjadi satu-satunya penanda bahwa waktu masih berjalan.

Arum menahan napasnya. Kursi roda berhenti tepat di sisi ranjang Langit. Tubuh kokoh yang selalu menjadi pelindungnya, kini terbaring kaku, dipenuhi selang dan kabel yang menempel di kulit pucatnya. Wajah yang dulu selalu tampak tenang dan penuh wibawa kini terlihat rapuh, namun tetap memancarkan keteduhan yang sama. Dadanya naik turun pelan mengikuti alat bantu napas, setiap tarikannya itu terasa seperti harapan yang dipinjamkan semesta.

Arum bergetar saat mengulurkan jemari, menggenggam tangan Langit yang dingin. Ada rasa perih yang menjalar di dadanya—campuran lega karena pria itu masih bertahan, dan sakit karena kekasihnya itu tak bisa membuka mata, tak bisa menjawab kehadirannya.

“Mas…” Lirihnya, suaranya nyaris tak lebih dari bisikan. Air mata menetes tanpa bisa ia cegah, jatuh di punggung tangan Langit. “Aku di sini…”

Ia menunduk, menahan isak, lalu kembali menguatkan genggamannya seolah takut pria itu akan menghilang jika dilepaskan.

Bahkan dalam diam, Arum menyandarkan wajahnya ke dada Langit. Matanya terpejam, membayangkan—tentang bagaimana saat pelukan itu begitu hangat melindungi, bagaimana hari-hari yang ia lewati bersama Langit, bahkan tentang ketakutannya serta janji yang masih ingin ia genggam bersama.

Tak lama kemudian, langkah sepatu berhak tinggi masuk ke dalam ruangan, menggema, memecah keheningan, saat Laura muncul dengan wajah tegang dan sorot matanya yang tajam, yang langsung tertuju pada Arum—dingin, penuh tekanan, tanpa sapaan sedikit pun.

Belum sempat Arum bereaksi, tangan Laura mencengkeram lengannya dengan kasar. Tarikan itu begitu tiba-tiba dan kuat hingga tubuh Arum terhuyung.

Kursi roda yang Arum duduki berderit pelan, hampir tergeser, dan berhasil membuat Arum terjaga dalam keseimbangannya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tercekat oleh keterkejutan dan rasa sakit yang menjalar di pergelangan tangannya.

"Ta-Tante..." Lirih Arum.

"Penyebab Langit sekarang... itu semua karena kamu!" Tandas Laura. "Sudah cukup, ya... drama romantis murahan yang kamu buat selama ini! Mulai sekarang... jangan pernah lagi kamu dekati anak saya!"

"Tapi, Tante..."

Laura mendekat, menatap Arum lekat dari sebelumnya. "Kamu hamil, bukan?!"

Laura segera melemparkan sebuah cincin sebelum Arum menjawab. Cincin yang pernah Arum beli di toko perhiasan di mal, sebelum kejadian itu. Cincin yang akan dijadikan sebagai mas kawin di acara pernikahannya nanti. Arum tertegun, menatap wanita itu di antara getir dan kebingungan.

"Kamu bisa jual cincin itu untuk menggugurkan kandungan kamu, maka semuanya selesai!" Ujar Laura, tajam dan penuh penekanan.

Arum tersentak. Ia menggeleng. "Ta-Tante suruh aku gugurin anak ini? calon cucu, Tante?"

"Apa kamu bilang? Calon cucu?" Ulang Laura. "Saya gak salah dengar? Dasar wanita tidak tahu malu! Kamu anggap anak haram di janin itu calon cucu saya?!" Ia mendesis pahit dengan gelengan di kepala. "Saya gak sudi punya keturunan dari wanita jalang seperti kamu! Lupakan anak saya."

Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam dadanya tanpa ampun. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat, seolah udara di sekitarnya mendadak menghilang. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya runtuh, mengalir deras membasahi pipinya.

Ia menggeleng pelan, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah tanpa suara, hanya isak tertahan yang menyayat. Tangan kecilnya refleks menutupi perutnya, seakan ingin melindungi sesuatu yang kini bahkan tak diakui keberadaannya. Rasa sakit itu bukan hanya karena penghinaan, melainkan karena penolakan yang begitu kejam

"Kamu..." Lanjut Laura. "Tunggu apalagi, disini?! Pergi dari sini sekarang juga!"

Arum menggeleng. "Enggak, Tante. Biarkan aku disini bersama Mas Langit," Isaknya memohon.

Tanpa setitik belas kasihan, Laura mencengkeram pegangan kursi roda itu kuat-kuat. Dengan gerakan kasar dan tergesa, ia mendorong Arum keluar ruangan, seolah perempuan itu hanyalah beban yang ingin segera disingkirkan. Roda kursi berderit panjang menyayat keheningan ruangan yang steril itu.

Tangisan Arum menggema, bercampur dengan permohonannya yang putus asa untuk tetap tinggal, untuk menemani Langit. Tetapi Laura, tanpa sedikitpun empati, ia tetap melangkah cepat, seakan tak mendengar apa pun. Pintu ditarik dan ditutup keras di belakang mereka, memutus Arum dari ruangan itu—dan dari harapan terakhir yang ia genggam dengan sisa tenaganya.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!