udihianati sahabat sendiri, Amalia malah dapat CEO.
ayok. ikuti kisahnya ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Pagi menyambut dengan sinar matahari yang malu-malu menerobos tirai tipis. Lia mengerjap pelan, menggeliat kecil, dan membeku. Matanya membelalak saat melihat kepala Bara tepat di dadanya, satu tangan melingkar di pinggangnya.
"BARA!"
Bara terbangun seketika. "Aduh," gumamnya sambil meringis karena Lia sudah memukulnya dengan bantal. "Selamat pagi, istri…"
Pluk! Bara sudah kena pukul bantal lagi.
"APA KATAMU?!"
Lia mendorong tubuh Bara dengan tenaga penuh. "Kamu GILA ya?! Masuk lewat jendela, tidur sama aku, kalau teman serumahku lihat, gimana coba?!"
"Tenang, aku nggak ngapa-ngapain," jawab Bara santai, duduk sambil mengucek mata. "Aku cuma pengen jagain kamu dan anak kita…"
"Jagain!? Enggak pakai baju?"
Bara mengusap dada dan perutnya yang berotot dan bertato. "Oh, ini?"
Dalam hati, Lia mengagumi, tapi dia lantas menggeleng agar sadar.
"Ayo menikah!"
"Nanti! Nanti, Bara! Kamu harus pergi sekarang juga sebelum..."
Suara langkah mendekat dari luar kamar membuat Lia panik. "Cepat! Lewat jendela lagi! Sekarang!"
Bara tertawa kecil, lalu berdiri menyambar jas dan kemejanya. Lalu, ia melompat keluar dengan ringan. Dari luar jendela, ia masih sempat melambai.
"Cepat pergi!"
"Aku tetap di sini, Lia. Nggak akan pergi sampai kamu resmi jadi istriku."
Lia menghela napas panjang, antara kesal, bingung, dan... entah mengapa, dadanya terasa hangat.
"Dasar...."
****
Pagi masih segar saat Lia hendak men-starter motornya untuk berangkat kerja. Tapi belum sempat ia menyalakannya, sebuah mobil berhenti mendadak di depan pagar.
Bara turun dari dalam, melangkah cepat menghampiri.
"Nggak usah naik motor. Aku antar kamu," katanya, membuka pintu mobil.
"Lagi-lagi kamu muncul tiba-tiba. Aku mau kerja, tidak usah mengantar!"
"Bukan itu. Aku cuma mau kita ke satu tempat dulu sebelum kamu kerja."
"Tempat apa?"
"Catatan sipil."
Lia mengernyit. "Apa?!"
"Menikah sekarang."
"BARA!"
****
Di dalam kantor catatan sipil yang masih sepi, seorang petugas yang wajahnya masih ngantuk duduk di meja. Entah dengan cara apa Bara bisa membuat mereka buka lebih awal.
"Astaga, jam segini mereka sudah buka?"
"Tentu saja, karena kita akan menikah."
Dan tentu saja, tak sampai satu jam kemudian, sebuah buku nikah berpindah ke tangan mereka.
"Aku... Beneran sudah menikah."
Lia masih termangu saat menatap buku itu. Namanya dan nama Bara, tertera jelas. Sebuah pernikahan yang datang secepat angin, menggulung semua keraguan dan masa lalu.
"Iya, menikah. Astaga, aku tampan sekali," kata Bara pelan menatap dua foto yang berdampingan sangat kontras. Satu tersenyum lebar, dan satu lagi tersenyum terpaksa. "Kamu nggak tahu betapa bahagianya aku sekarang."
Lia menunduk, tak bisa menyembunyikan senyumnya yang lirih. "Bara... kamu memang sinting."
"Tapi gila yang sayang kamu sepenuhnya."
Bara mengantar Lia ke kantor dengan wajah berseri-seri, saat hendak keluar untuk membuka pintu, Lia menahannya.
"Jangan turun, biar aku saja."
"Kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa. Aku keluar, kamu lanjut jalan, mengerti?"
Bara menatap lama. Seperti tidak terima diatur begitu. Lia menghela napas, lalu mencium bibir Bara. Lelaki itu balas menyesap lebih dalam, sampai Lia seperti kehabisan air liur.
"Kau...." Lia menahan kesal. Bara tersenyum kesenangan. Lia menghela napas. "Aku keluar, kamu jangan keluar, ya?"
"Oke."
Setelah Lia masuk ke dalam gedung, Bara menelepon Bebby.
"Beb, siapkan pesta. Meriah, mewah, romantis!"
Di seberang sana, Bebby menghela napas panjang. "Oke siap laksanakan, bos."
****
Lia bekerja seperti biasa, walau pikirannya masih melayang-layang. Ia bahkan sempat tersenyum sendiri saat mengingat Bara yang memaksa menikah pagi ini.
Baru satu setengah bulan lalu ia dihancurkan oleh orang yang ia percaya. Tapi kini, ia justru menikah dengan seseorang yang tak pernah ia duga. Bara, lelaki asing, gila, keras kepala tapi penuh kejutan.
Namun lamunannya terpotong saat Rama, atasannya, mendekat.
"Lia, ikut aku. Ada klien yang harus kita temui."
"Eh, Pak... Tapi saya kan baru masuk, apa saya pantas...." karena di ruangan yang ada karyawan lain, Lia berbicara sedikit formal pada Rama.
"Kamu punya kemampuan. Aku tahu itu." Rama tersenyum sambil menarik Lia. "Anggap ini latihan. Ayo," paksanya sambil mengedipkan mata.
Sepanjang perjalanan, Lia merasa sorot mata dari rekan-rekan kerjanya mengikutinya. Ada yang sinis, ada yang penasaran.
"Lihat deh itu, lagi-lagi sama pak Rama."
"Aneh, dia kan baru satu bulanan ya? Kok bisa sih?" timpal seorang karyawan lain dengan bisikan kecil.
"Pasti ada apa-apa nih." Yang lain pun ikut menimpali.
"Jelaslah. Apalagi?"
"Mungkin enggak sih, dia pake kecantikannya?"
"Bisa jadi, malah, bisa juga dia jual apemnya."
"Hahah, memalukan. Jangan ya dek, ya."
Bisik-bisik terdengar mengganggu pendengaran Lia. Tapi Lia berusaha tak peduli.
Mereka bertemu beberapa klien penting. Rama memperkenalkan Lia sebagai analis keuangan baru, dan ternyata Lia cukup cepat menangkap kebutuhan para klien. Usai pertemuan, Rama mengajak makan siang dengan beberapa koleganya.
"Kekasih baru ya, Rama?" tanya salah satu rekan dengan senyum menggoda.
Lia tersedak, sementara Rama hanya tertawa. "Bukan. Tapi... siapa tahu nanti."
"Oh, gebetan..."
"Tidak, tidak! Tidak kok. Saya hanya bawahan pak Rama di kantor."
"Ooh, bawahan di kantor, siapa tau nanti jadi bawahan di ranjang juga, hahahha."
Lia makin tak nyaman.
"Tolong jangan bercanda kelewat batas, dia masih wanita terhormat." Rama memotong karena melihat Lia yang tak nyaman.
"Oh, maaf, maaf."
Rama hanya tersenyum tipis sambil melirik wanita cantik di sampingnya.
Di dalam mobil saat perjalanan pulang ke kantor.
"Lia..."
"Heemm?"
"Kita mampir ke suatu tempat, ya?"
"Ke mana?"
"Nanti juga tau."
"Ummm, gimana kalau anter aku ke kantor dulu, atau... Kamu turunkan aku di sini saja deh," pinta Lia yang sudah merasa semakin tak nyaman.
"Jangan gitu, dong. Tanggung nih...bentar doang... Yaaahh?" Rama memasang tampang memelas.
Lia jadi tak enak hati, lalu mengangguk pasrah. Rama tersenyum menang. Setidaknya, apa yang sudah dia siapkan tak sia-sia.
Rama membawa Lia ke sebuah restoran mewah, yang sudah dia reservasi. Lia menatap Rama bingung. Dan Rama tersenyum sangat tampan. Ia memberanikan diri menggenggam tangan Lia. Namun, Lia menarik tangannya, pura-pura menggaruk kepala.
"Aduh, kok gatal, apa ada kutu, ya?" gumamnya nyengir, agar tak menyinggung Rama.
Rama malah tertawa geli dan menggeleng. Ia tau, Lia hanya beralasan. Ia juga bisa melihat Lia yang gugup. Ia sendiri juga gugup sebenarnya. Ini adalah momen terbesar dalam hidupnya.
"Kenapa ke sini?" tanya Lia saat mereka duduk di meja yang dihiasi bunga segar dan lilin kecil.
"Aku cuma... ingin menghabiskan waktu sebentar. Sama kamu."
"Rama..."
"Aku tahu ini mendadak. Tapi aku serius. Aku suka kamu, Lia. Sejak pertama lihat kamu, aku tahu kamu berbeda. Dan aku ingin lebih dari sekadar teman, lebih dari sekedar hubungan kerja."
Lia menatapnya, bibirnya nyaris terbuka untuk menjawab. Tapi dalam benaknya, bayangan Bara muncul, dengan senyum konyolnya, dengan tatapan bahagia saat memegang buku nikah mereka.
Dan entah kenapa, hatinya langsung tertarik ke satu arah.
"Maaf, Rama," katanya pelan. "Aku... Tidak bisa."
"Aahh, kenapa cepat sekali menjawab? Pikirkan dulu." Rama tidak menyangka jawaban Lia begitu cepat.
"Aku benar-benar tidak bisa Ram."
"Kenapa? Kau tidak menyukaiku? Aku bisa membuatmu jatuh cinta. Percayala," katanya tersenyum. Senyum untuk menutup sedikit rasa kecewanya.
"Bukan, tapi... Aku sudah menikah."
"Hahahaha..." Rama tertawa.
"Aku serius."
"Ayolah, kamu baru saja batal nikah, memintaku menjemput kemari. Di catatan data personalia, juga kamu masih lajang. Sekarang, malah bilang udah nikah?"
Bahu Rama masih berguncang oleh tawa. Ia sangat menolak percaya, ia berpikir, Lia hanya beralasan untuk menolak.
"Aku serius, Ram."
"Baiklah, kalau masih tetap bersikeras, mana tanganmu."
Lia menghela napas, ia mengulurkan tangan pada Rama. Lelaki itu tersenyum puas.
"Tidak ada cincin kawin."
"Ram..."
"Tunjukan aku buku nikahmu."
"Tidak kubawa."
"Kalau begitu, foto nikah?"
Lia menghela napas lagi, "Tidak ada."
Rama tersenyum kecut, dan menggeleng. "Apa kurangku, Li? Aku bisa menjamin hidupmu. Aku bisa membuatmu bahagia. Kita tidak akan langsung menikah, Lia. Berpacaran dulu, jika nanti kamu sudah siap, kita bisa membuat pesta. Bagaimana?"
Lia merasa putus asa dengan sikap keras kepala Rama, seperti seseorang. "Rama... Aku benar-benar...."
Suara dering telpon Lia terdengar nyaring, menginterupsi ucapannya. Lia menarik napas panjang, lalu mencoba meraih ponselnya.
"Mama? Kenapa mama menelpon?"