Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Penyelamat?
Saat mereka melintas, Ucup menyadari ada sesuatu yang aneh. Di dekat sebuah kafe yang cukup mewah, sebuah kerumunan kecil terbentuk. Bukan kerumunan orang yang mengantre, ini adalah kerumunan yang tertarik pada sebuah drama. Beberapa orang berdiri, pura-pura melihat ponsel tapi telinga mereka jelas tertuju pada satu titik.
"Ada apaan tuh?" bisik Ucup, rasa penasarannya terusik.
Arjuna ikut melihat ke arah kerumunan itu. Dari sela-sela kerumunan, ia bisa mendengar suara-suara yang meninggi. Suara seorang perempuan yang bergetar karena marah, dan suara seorang pria yang terdengar angkuh dan meremehkan.
"Yuk, lihat sebentar," ajak Ucup, menarik lengan Arjuna pelan.
Mereka mendekat, berdiri di barisan paling belakang kerumunan, mencoba melihat apa yang terjadi. Pemandangannya cukup jelas. Ada tiga orang yang menjadi pusat perhatian. Seorang wanita yang sangat cantik dengan rambut hitam panjang terurai rapi. Ia berdiri dengan postur tegap meski wajahnya memerah menahan emosi. Di hadapannya, berdiri seorang pria yang juga tampan dan berpakaian mahal, namun dengan seringai sinis di wajahnya. Di samping pria itu, berdiri seorang wanita lain yang terus menundukkan kepala, seolah malu dan takut.
"Aku tidak percaya kamu setega ini, Rian!" suara wanita cantik itu terdengar jelas, sarat dengan luka. "Dan kamu, Sinta... sahabatku sendiri... kamu tega melakukan ini di belakangku?"
Pria yang dipanggil Rian itu tertawa sinis. "Tega? Yang seharusnya sadar diri itu kamu! Jangan selalu merasa jadi korban, deh!"
Arjuna dan Ucup saling berpandangan. Ini jelas pertengkaran sepasang kekasih yang rumit.
"Selama ini kamu itu cuma sok!" lanjut Rian dengan suara yang semakin keras, sengaja agar didengar banyak orang. "Sok cantik, padahal di luar sana banyak yang lebih dari kamu! Sok pintar, selalu mau ngatur-ngatur hidup aku! Dan yang paling parah, sok bijak! Nasihatin orang ini-itu, padahal hidupmu sendiri kaku kayak robot!"
Setiap kata yang keluar dari mulut Rian seperti sebuah cambuk. Wanita di hadapannya tampak menahan napas, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha keras untuk tidak menangis di depan umum.
Arjuna merasakan darahnya mulai panas. Cara pria itu mempermalukan seorang wanita di depan umum terasa sangat tidak pantas dan kejam.
Seolah belum cukup, Rian melontarkan pukulan terakhir yang paling menyakitkan.
"Dengar ya, Mia!" katanya, menyebut nama wanita itu. "Kalau bukan karena kamu kaya, kalau bukan karena semua fasilitas mewah yang aku dapat dari kamu, aku nggak akan sudi bertahan pacaran sama perempuan sedingin dan sekaku kamu! Sinta jauh lebih hangat dan menyenangkan!"
Arjuna dan Ucup sama-sama terkejut mendengar kekejaman kata-kata itu. Ini bukan lagi pertengkaran biasa, ini adalah penghinaan total.
"Gila, cowoknya jahat banget mulutnya," bisik Ucup, matanya tak berkedip dari tontonan di depannya.
Arjuna tidak menjawab. Amarah dingin menjalari dirinya. Ia tidak kenal wanita bernama Mia itu, tapi melihat seseorang, siapapun itu, diperlakukan serendah ini di depan umum, membangkitkan insting pelindung di dalam dirinya. Cincin di jarinya berdenyut pelan, seolah merespons gejolak keadilan di hatinya.
Rian, pria itu, tampak puas melihat Mia yang kini hanya bisa diam membeku. Ia lalu dengan angkuh merangkul bahu Sinta—sahabat yang telah mengkhianati Mia—dan bersiap untuk pergi, meninggalkan Mia yang berdiri mematung sendirian di tengah kerumunan yang berbisik-bisik, menjadi tontonan dan bahan gosip.
Arjuna dan Ucup tidak beranjak. Rasa penasaran mereka justru semakin besar. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada wanita itu? Dan di dalam benak Arjuna, sebuah pertanyaan lain muncul: haruskah ia diam saja?
Melihat Rian dan Sinta yang hendak pergi begitu saja seolah ia adalah sampah di pinggir jalan, sesuatu di dalam diri Mia tersentak. Rasa sakit hatinya berubah menjadi amarah yang membara. Ia tidak akan membiarkan mereka pergi dengan mudah setelah mempermalukannya seperti ini.
"Mau lari ke mana kalian berdua? Pengecut!" seru Mia, suaranya kini tidak lagi bergetar karena sedih, melainkan tajam karena amarah.
Langkah Rian terhenti. Ia berbalik, seringai di wajahnya menunjukkan bahwa ia justru menikmati drama ini. Semakin banyak orang yang berhenti untuk menonton, ponsel-ponsel mulai terangkat, merekam setiap detik dari penghinaan publik ini.
Dengan sengaja, Rian menarik Sinta lebih dekat ke dalam pelukannya, memeluk pinggangnya dengan posesif tepat di hadapan Mia. Sinta hanya menunduk, tidak berani menatap wajah sahabat yang telah ia khianati.
"Lihat?" kata Rian dengan nada mengejek, menatap Mia dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan. "Sinta bisa memberikan kehangatan yang aku mau. Dia mengerti aku." Ia berhenti sejenak, tatapannya menjadi lebih kejam. "Tapi kamu...?"
Kalimat menggantung itu adalah penghinaan terakhir yang bisa Mia tahan.
"Bajingan brengsek!" teriak Mia, suaranya melengking menembus kebisingan food court. Semua urat kesabarannya telah putus. Ia lalu menatap tajam ke arah Sinta yang gemetar dalam pelukan Rian. "Dan kau, pengkhianat! Teman bermuka dua!"
Umpatan itu membuat wajah Rian langsung mengeras. Seringainya lenyap, digantikan oleh ekspresi marah yang bengis. Dipermalukan di depan umum seperti ini oleh seorang wanita adalah pukulan telak bagi egonya. Tangannya di sisi tubuhnya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Apa... kau... bilang?" desisnya, suaranya rendah dan berbahaya.
Bukannya takut, Mia yang kini dikuasai oleh amarah justru menantangnya balik. Ia menatap lurus ke mata Rian, tanpa gentar sedikit pun.
"Aku bilang kau BA-JING-AN!" ulangnya, menekankan setiap suku kata dengan penuh kebencian.
Cukup sudah.
Emosi Rian meledak. Batas kendalinya hancur. "Kurang ajar kau!" geramnya.
Dalam satu gerakan cepat yang dipenuhi amarah, tangannya terangkat tinggi, siap mengayun dengan keras untuk menampar wajah cantik yang telah berani menghinanya itu. Kerumunan orang menjerit pelan, beberapa memalingkan muka, tak sanggup melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ayunan tangan Rian yang penuh amarah itu membelah udara. Gerakannya cepat dan kejam, siap mendarat di pipi Mia.
Kerumunan orang sontak menjerit tertahan. Ucup, di sebelah Arjuna, bahkan sampai memalingkan muka, tidak tega melihatnya. Mia sendiri sudah pasrah. Ia refleks memejamkan matanya rapat-rapat, bahunya sedikit terangkat, mempersiapkan diri untuk menerima rasa sakit dan penghinaan yang akan datang. Ia sudah bisa merasakan panas tamparan itu bahkan sebelum mendarat.
Di sisi kerumunan, Arjuna melihat semua itu dalam sepersekian detik. Ia melihat tangan Rian yang mengayun, ia melihat wajah Mia yang pasrah dan memejamkan mata. Sesuatu di dalam dirinya—naluri, keadilan, atau mungkin energi dari cincin itu sendiri—berteriak. Tanpa sempat otaknya berpikir, tubuhnya bergerak.
Bagi Ucup dan orang lain, apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah kemustahilan. Satu detik Arjuna masih berdiri di samping Ucup, detik berikutnya ia lenyap, hanya menyisakan desir angin.
Bagi Mia, penantian akan tamparan itu terasa aneh. Satu detik... dua detik... tiga detik... Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara keras. Hanya hening yang tiba-tiba terasa ganjil. Perlahan, dengan rasa penasaran yang mengalahkan rasa takutnya, ia memberanikan diri membuka matanya.
Pemandangan di hadapannya membuatnya terkesiap.
Tangan Rian mengambang di udara, hanya beberapa senti dari wajahnya. Tangan itu berhenti, tertahan di tengah ayunannya, seolah waktu membeku. Dan yang menahannya... adalah sebuah tangan lain. Tangan seorang pemuda berpenampilan sederhana yang entah datang dari mana, kini berdiri di antara dirinya dan Rian, menjadi perisai yang tak terduga.
Mia terkejut. Siapa pemuda ini? Kapan ia datang?
Semua orang di kerumunan juga sama terkejutnya. Mereka yang tadinya merekam pertengkaran, kini merekam sebuah adegan yang tidak masuk akal. Seorang pemuda muncul dari ketiadaan dan menangkap tangan yang sedang mengayun dengan kecepatan super.
Rian sendiri adalah yang paling syok. Ia merasakan pergelangan tangannya dicengkeram oleh sesuatu yang terasa seperti baja. Keras, dingin, dan sama sekali tidak bisa digerakkan. Ia mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman itu tidak goyah sedikit pun. Ia menatap marah ke arah si pemilik tangan—anak kampung yang tadi ia lihat sekilas di kerumunan.
Namun, yang paling bingung dari semuanya adalah Ucup. Ia baru saja akan berkata, "Gila, Jun, mau ditampar beneran ceweknya," tapi saat ia menoleh, tempat di sampingnya sudah kosong. Arjuna lenyap. Matanya dengan panik mencari, dan menemukannya... di tengah arena drama, menahan tangan Rian. Otak logis Ucup tidak bisa memprosesnya. Jarak mereka lebih dari lima meter dan terhalang kerumunan. Tidak mungkin. Bagaimana bisa dia tiba-tiba ada di sana?
Di tengah keheningan yang total itu, Arjuna menatap tajam ke arah Rian. Cengkeramannya mengerat.
"Kupikir," kata Arjuna dengan suara yang tenang namun terdengar sangat berbahaya. "Tanganmu itu lebih baik digunakan untuk bekerja daripada untuk memukul seorang wanita."