Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Mau kamu gu-gurkan atau pertahankan anak itu?
Kediaman keluarga Marvionne berdiri megah di atas bukit tinggi, dikelilingi pepohonan pinus yang menjulang dan udara dingin khas pegunungan. Lampu-lampu antik di halaman menyala lembut, memantulkan cahaya ke permukaan batu basah sisa hujan.
Begitu mobil berhenti di depan pintu besar, dua pengawal berseragam hitam segera membungkuk sopan. Pintu dibuka dari luar, dan Amara melangkah turun langkahnya anggun, namun matanya menyimpan kelelahan panjang.
Dari kejauhan, seorang pria muda berusia dua puluh lima tahun berjalan mendekat. Rambutnya hitam rapi, ekspresinya tenang namun penuh kewaspadaan. Begitu jaraknya cukup dekat, ia menunduk hormat.
“Selamat datang kembali, Nona Amara,” ucapnya lembut.
Nada suaranya dalam, berwibawa, itulah Zico, asisten sekaligus rekan paling setia pada Amara sejak dulu.
“Sudah lama sekali ... rumah ini terasa hampa tanpa kehadiran Anda.”
Amara menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil.
“Sudah berapa lama aku pergi, Zico?”
“Tepatnya lima tahun, Nona.”
Zico tersenyum samar. “Dan jujur ... saya tak pernah menyangka Anda akan kembali dalam keadaan seperti ini.”
Amara tidak menjawab, dia hanya menarik napas panjang dan melangkah masuk ke rumah besar yang menyimpan begitu banyak kenangan masa lalunya. Langkahnya berhenti di ujung lorong panjang di depan ruangan besar dengan pintu kayu berat berukir lambang keluarga Marvionne.
Zico membukakan pintu, dan aroma wangi kayu tua serta teh hitam menyeruak keluar. Di dalam, seorang pria tua duduk di kursi empuk dekat perapian. Tubuhnya masih tegap meski rambutnya sudah putih seluruhnya. Tatapan matanya tajam, namun penuh kasih sayang, dia sosok yang telah menjadi satu-satunya keluarga Amara sejak kecil, Tuan Edward Marvionne.
Ketika melihat cucunya masuk, Tuan Marvionne tersenyum, senyum hangat yang hanya ditujukan untuk satu orang di dunia ini.
“Amara...” panggilnya lirih.
“Cucu kecilku akhirnya pulang juga.”
Amara bergegas menghampiri, lalu berlutut di samping kursi kayu tua itu, mencium tangan kakeknya dengan hormat.
“Maafkan Amara yang baru datang sekarang, Kek.”
Tuan Marvionne mengelus lembut puncak kepala cucunya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, cucuku. Kau sudah menjalani takdirmu dengan baik ... meski jalan itu berliku.”
Suasana hening sejenak, hanya bunyi api dari perapian yang berderak lembut. Lalu, Tuan Marvionne menatap Amara lebih dalam pada pandangan yang menembus lapisan ketenangan yang Amara coba pertahankan.
Suaranya pelan, tapi penuh wibawa.
“Zico sudah memberitahuku semuanya,” ujarnya.
"Tentang pernikahanmu, tentang keluarga Wirantara, dan...”
Beliau berhenti sejenak. “Tentang kehamilanmu.”
Amara menunduk, tangan yang tadi tenang kini mengepal di pangkuannya. Ia tidak menyangkal, tidak juga menjawab, Tuan Marvionne menghela napas berat.
“Ceritakan padaku, Amara. Apakah kau berniat ... mempertahankan anak itu? Atau ... menggugurkannya?”
Suara itu pelan, tapi cukup membuat Amara mendongak perlahan. Mata tuanya tidak menghakimi, tidak juga memaksa. Namun, setiap kata dari bibirnya seperti menuntut kejujuran paling dalam dari lubuk hati cucunya sendiri.
Zico yang berdiri di belakang hanya menatap diam, seolah tahu betapa berat pertanyaan itu bagi Amara. Wanita itu menatap api yang berkerlip di perapian seolah mencari jawaban di sana. Lalu bibirnya terbuka perlahan, suaranya pelan tapi penuh getir.
“Aku tidak tahu, Kek…”
Matanya basah. “Aku hanya tahu ... aku tidak ingin anak ini lahir dalam kebohongan seperti pernikahanku.”
Tuan Marvionne tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap cucunya dengan mata yang penuh iba dan kebanggaan sekaligus.
“Amara, dalam hidup keluarga kita, kita selalu diajarkan memilih antara tugas dan hati. Tapi kali ini ... mungkin kau harus belajar untuk pertama kalinya ... bagaimana rasanya memilih sebagai seorang ibu.”
Air mata Amara jatuh diam-diam, Zico menatapnya dengan wajah tak terbaca, lalu berkata pelan,
“Apa pun keputusanmu, Nona ... aku dan Tuan selalu ada di pihakmu.”
Amara mengangguk perlahan, dia menatap api di depan mereka, suaranya nyaris berbisik,
“Kalau begitu ... izinkan aku melahirkan anak yang tak berdosa ini,"
Tuan Edward hanya mengangguk dan menghargai keputusan apapun yang diambil cucunya.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya