Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Ngambek
Semua mata tercengang ketika tubuh Axel basah kuyub dengan bau menyengat. Seluruh seragamnya kotor, bahkan seragam atasan yang berwarna putih kini menjadi kecokelatan.
Tepat saat Agnes ingin menyiramkan air bekas pel di tubuh Gwen, Axel berlari dan sekali lagi menjadi tameng untuk Gwen, hingga ia sendiri lah yang sekarang basah kuyup dengan bau tak sedap.
"Xel!" teriak Jun, Mika, dan Jane yang masih agak jauh dari tempat Agnes menyiram tubuh Axel.
Ketiganya berlari mengerubungi Axel yang tengah bersama Gwen di sana.
"Xel, lo nggak apa-apa?" tanya Jane.
"Santai aja gue nggak apa-apa, untung gue datang tepat waktu. Kalau nggak, Gwen yang basah kuyub."
Gwen masih diam, dia merasa bersalah dengan Axel.
Membawa temannya dalam masalahnya dan Alicia.
Sedangkan suaminya sendiri... Lihatlah saja, Damian justru asyik menjadi penonton tak jauh dari sana bersama teman gerombolannya, membuat bibir gadis itu mendecih kasar.
"Sorry, Xel. Ini semua salah gue." Gwen menatapnya penuh rasa bersalah. Setelah mencoba meredam emosi karena ulah Alicia, dan Damian.
"Bukan salah lo kok, Gwen. Tuh salah si Nenek lampir," sambar Jane yang sudah mendelik tajam ke arah Alicia.
"Bukan salah gue. Salah sendiri temen lo ini malah jadi tameng di sini. Mau jadi pahlawan? Atau jangan-jangan kalian emang pacaran? Cocok sih si ketua kedisiplinan dengan si juara umum sekolah. Jadi, si cupu ini nggak bakalan deketin Damian, calon suami gue!"
tegasnya tepat di depan wajah Gwen.
Gwen mendengus tak suka. Sejak tadi Alicia dengan tidak tahu malunya mengatakan calon suami, dia tidak tahu saja fakta sebenarnya jika Damian adalah suaminya. Apakah dia harus mengatakannya? Oh tidak, ia masih ingin hidup tenang di sekolah ini. Apalagi berurusan dengan Alicia. Bukan karena takut, tapi lebih ke malas.
"Tanggung jawab lo sama temen gue!" seru Gwen.
Alicia mendecih, lagi-lagi ia mengibaskan rambut panjangnya, kebiasaannya jika tengah kesal. "Apaan? Orang dia sendiri yang mau basah, harusnya 'kan lo yang basah kuyub."
"Oke kalau gitu, lo berurusan sama Pak Yus."
Akhirnya, Gwen menggunakan kekuasaannya sebagai ketua kedisplinan.
Agnes, Lusy, dan Nita sudah ketar-ketir kalau sampai perbuatan mereka dilaporkan ke guru BK. Alamat mereka pasti mendapatkan skors, bisa habis mereka diceramahi kedua orang tuanya tujuh hari tujuh malam.
"Gimana nih, Al." Agnes menyenggol lengan Alicia.
"Halah gitu aja takut," ucap Alicia, padahal dalam hati ia juga khawatir. Takut kalau semua fasilitasnya dicabut oleh sang ayah.
"Tapi kan-"
"Karena dia ketua kedisplinan? Terus gue harus takut, udah deh nggak bakal berani dia bawa kasus ini ke BK. Kalau nggak mau gosipnya tadi pagi semobil sama Damian gue sebarin." Gadis itu mengancam, dan kini keempat sahabat Gwen beralih pada si pemilik nama panjang Mariana Gwen Axelir seolah berkata. 'Beneran sama yang diucapin Alicia?'
"Sebarin aja sono, gue udah bilang. Gue nebeng karena mau menghemat ongkos ke sekolah. Terserah kalau mereka mau ngehina gue karena miskin. Biarin aja, toh emang hidup gue serba kekurangan. Ibu gue cuma penjual jajanan anak-anak di pasar malem, dan gue nggak malu." Dia menatap Alicia dan genknya satu persatu.
"Udah sono koar-koarin sampai lo pada puas deh, dan masalah ini gue bawa ke BK, biar lo pada kena skors. Masih aja ya suka ngebully orang." Gwen misuh-misuh.
Gwen menahan emosinya yang semakin memuncak, melirik ke belakang pada sosok Damian yang kini sudah menghilang dari sana, membuat emosinya semakin meledak.
Seharusnya Damian menolongnya, bukannya malah menontonnya. Justru Axel yang menolong dirinya hingga basah kuyub.
"Sekolah buat nyari ilmu, bukan buat jadi sok jagoan, bukan buat pamerin harta orangtua, bukan buat ngebully yang lemah, dan hidupnya kekurangan, bukan buat memojokkan anak kutu buku. Satu lagi, dan yang lo anggap pendiem terus pada lo hina, lo bully. Mikir nggak sih lo pada. Punya otak itu dipakai, bukan buat pajangan. Heran gue, seandainya lo yang di posisi dibully mental lo jatuh apa nggak? Bukan tubuh yang kotor yang jadi masalah, tapi mental yang kena, ngerti lo pada. Ayo, Xel."
"Bawa seragam ganti, nggak?" tanyanya.
"Ada kok di loker. Gue bawa baju olahraga, ntar gampang gue bilang sama guru."
Gwen, dan empat sahabatnya berlalu dari sana.
Meninggalkan Alicia, dan gerombolannya dengan rasa kesal mengendap di dalam hati, karena saat Gwen marah, mulut mereka mendadak tidak bisa menjawab.
"Sialan tuh si ketua kedisplinan!" teriak Alicia.
***
Gwen lebih dulu kembali ke rumah. Ia naik bus tadi, dan masa bodoh jika Damian menunggunya. Ia sedang kesal dengan suaminya itu.
Gwen bergegas menaruh tas miliknya di kamar sebelah yang akan dia tempati. Malam ini dia tidak mau tidur lagi sekamar dengan pengecut macam Damian. Masa bodoh jika ada nenek Gayung, siluman ular piton, siluman tengkorang putih, pocong karaokean, atau suster keramas. Masih lebih baik ketemu sama mereka daripada si pengecut Damian.
"Kesal gue sama si kampret Damian, udah tahu gue mau diguyur air sama si Nenek lampir Alicia, dan dia cuma diem kek patung jadi penonton. Gue sih nggak takut sama sih tuh nenek lampir. Tapi, kebangetan banget tuh di Damian, suami macam apa kek gitu."
"Lo ngomongin gue, bagus. Lo jelekin suami lo sendiri di belakang." Gwen langsung menoleh ke belakang disela dia memasang sprei di kamar barunya.
Melihat sosok Damian, yang tengah bersandar pada pintu dengan kedua tangan berada di saku celana seragam sekolahnya.
'Sok cool banget, muka aja yang cakep. Mental ke minion seuprit, 'batin Gwen.
"Masih bagus gue ngomel seorang diri, nggak gue gosipin tuh sama ibu-ibu komplek, ntar aib lo sebagai suami pengecut dan nggak bertanggung jawab bakal kesebar," desis Gwen.
"Tapi tetep aja nama gue buruk."
"Masih buruk mana sama kelakuan lo. Udah tahu tuh mantan pacar lo mau nyiram gue pakai air belas pel. Eh lo malah berdiri kek orang bego."
"Terus gue harus nolongin lo gitu?" ujarnya dengan memasang wajah menyebalkan di mata gwen.
"Ya iyalah. Seenggaknya lo ngasih tahu gue kalau si anak buah Nenek lampir mau nyiram gue, bukan malah bengong aja."
"Ogah banget gue nolongin lo. Biarin aja lo tadi disiram sama si Alicia and the genk, bukan urusan gue juga. Cuma kalau lo sakit, jangan ngrepotin gue."
Dia menegakkan tubuhnya, berbalik dan berjalan menjauh sebelum....
Bug
"Aduh!" teriak Damian yang dilempar bantal oleh Gwen, dan tepat mengebal kepalanya
Damian menoleh ke belakang dengan wajah bersungut kesal. "Kok lo mukul kepala gue? Sakit, bego!"
"Rasain, siapa suruh lo nyebelin jadi cowok."
"Emang lo maunya apa? Gue harus nolongin lo gitu Ogah aja gue, males kalau sampai gosip lo sama gue kesebar di sekolah. Lo mau semua orang tahu kalau lo sama gue itu suami istri?"
Gwen sebenarnya masih kesal dan ingin memaki Damian, namun jika dipikir ucapan Damian memang benar adanya, meskipun dalam hati rasanya Gwen ingin menghajar sang suami.
"Ya nggak lah, entar reputasi gue sebagai ketua kedisplinan hancur lagi karena nikah sama lo."
"Nggak kebalik tuh."
"Serah lo deh, gue mau beresin kamar. Sana pergi lo." Damian lalu memperhatikan istrinya kembali yang menata kasurnya.
"Lo mau pindah kamar?" tanyanya.
"Iya, mana mau gue sekamar sama.lo terus. Ntar lo melakukan tindakan tak bermoral sama gue. Tadi pagi aja lo dengan seenaknya meluk gue."
"Jangan nuduh deh, lo aja kali yang meluk gue. Biasanya tangan orang miskin kek lo itu nyari kesempatan dalam kelonggaran."
Gwen masih kesal, dan sekarang bertambah kesal. Ia berkacak pinggang. "Daripada lo gangguin gue, mending sono lo ke kamar lo sendiri."
"Gue laper, lo nggak masak?" Damian mengelus perutnya. Tadi siang ia tak sempat makan di kantin.
Menahan lapar demi memakan masakan Gwen yang lezat. Entah kenapa lidahnya jadi pilih-pilih sejak merasakan nasi goreng buatan Gwen yang ia akui sangat lezat.
"Nggak, gue capek. Delivery aja sih lo, kan banyak duit."
"Ogah, gue mau berhemat. Hemat pangkal tajir, gue mau lo yang masak."
Gwen mengeryitkan dahi, sedikit melengkungkan senyum di bibir. Mencoba berpikir positif, jika Damian sudah terkesan dengan masakan buatannya.
"Masakan gue enak, ya?"
"Kan udah gue bilang. Lo udah cocok jadi Kang Warteg, buruan bikin gue sesuatu laper."
"Nyuruh."
"Lo istri gue, dalam undang-undang kitab pernikahan, istri wajib melayani suami termasuk...." Damian menyeringai, ia tiba-tiba tersenyum aneh. Mendekati Gwen, hingga jarak keduanya sangatlah tipis.
Gwen menelan ludahnya, isi kepalanya sudha berisi macam-macam pikiran buruk. Apalagi ketika napas hangat Damian menyerbu wajahnya. Tamat sudah, pasti Damian mau memperkosa bibirnya yang sudah diperawani tempo hari.
Damian tersenyum sebelum berbisik di depan telinga Gwen. "Termasuk ngasih gue jatah batin."
"Sialan, kampret, berengsek, Damian!" Seluruh umpatan keluar dari mulut Gwen, dan si Damian hanya tertawa, lalu melarikan diri, dan Gwen menahan kesal denga kepala nyut-nyutan.
Baru kali ini Damian bisa tertawa lepas, setelah hidup kesepian karena ulah kedua orang tuanya yang sering sibuk, tanpa mau peduli padanya.
Malam ini Gwen berusaha memejamkan mata di dalam kamar seorang diri. Sialan, ia tak bisa tidur. Tubuhnya membalik ke samping kanan dan Kiri.
"Ah, gue beneran takut. Gimana kalau tiba-tiba ada pocong keluar dari kolong tempat tidur. Masa gue harus mohon-mohon lagi sama si kampret Damian, nggak ah orang dia suka over dosis narsisnya," gumam Gwen.
Di bawah tempat tidurnya, Damian tengah bersembunyi, dengan kostum mengerikan. Niatnya ingin menakuti Gwen malam ini.
"Sialan dia ngatain gue over narsis lagi, awas aja gue kerjain lo," lirihnya.
Gwen masih gelisah di atas ranjang. Melirik jam dinding di kamar menunjuk angka 11 malam, dan sialnya kerongkongannya kering karena haus.
"Ah, kenapa gue pakai haus lagi. Masa gue harus ke dapur, kan gelap. Kalau ada Nenek gayung gimana?" Gwen bergidik membayangkannya. "Nggak, nggak ada apapun."
Gwen meyakinkan diri sendiri, ia lalu turun dari ranjang. Kakinya baru saja menapak lantai sebelum digenggam seseorang dari bawah ranjang.
"Huh, siapa yang megangin kaki gue."
Gwen mulai merinding. Ia melongok kepalanya ke bawah, tiba-tiba....
"Hua! Hantu!" teriaknya. Bukannya berlari keluar ia justru memukuli sosok hantu yang adalah Damian itu, agar keluar dari bawah ranjangnya.
"Keluar nggak lo setan, jangan ngedekam di kamar gue. Kalau lo di sini gue suruh bayar kontrakan."
Sialan Damian yang dipukuli kini merangkak dari bawah ranjang, dan berlari keluar. Lebih sialannya lagi.
Gwen terus mengejarnya dengan alat setrum nyamuk yang ia pukulkan di tubuh Damian yang menggunakan kain putih untuk membungkus tubuhnya.
Gwen terus mengejarnya hingga turun ke bawah tangga, dan keluar dari dalam rumah.
"Hantu kurang ajar, keluar nggak lo. Gue laporin Pak Rt juga lo karena masuk sembarangan ke kamar anak perawan!" teriaknya, masih dengan memukuli sosok hantu yang adalah Damian.
Si tampan itu terpaksa melarikan diri keluar rumah, bahkan sampai keluar gerbang rumahnya.
Selepas Damian keluar, Gwen langsung mengunci pintu gerbang, dan semua pintu di rumah.
"Huff, syukurlah. Salah sendiri jadi hantu keras kepala main masuk ke kamar gue."
Dia lalu melenggang kembali masuk ke dalam kamar.
Sementara di luar, Damian misuh-misuh.
"Berengsek, niatnya mau ngerjain, tapi tuh cewek badak ganas banget. Pakai mukulin gue pakai raket nyamuk, lagi."
Dia berdiri di depan pintu gerbang, ingin membuka pintunya, namun dikunci.
"Sialan, terus gue tidur di mana, njirr," ujarnya lemas.
Mana di luar tengah hujan gerimis.
...***Bersambung***...