Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - Kehangatan di balik hujan
Hujan deras mengguyur atap genteng rumah itu, menciptakan simfoni yang menenangkan namun juga mencerminkan kegelisahan yang mengendap di hati Senja. Gadis itu tengah sibuk menyiapkan bubur ayam di dapur, sesekali matanya melirik ke arah tangga yang menuju kamar utama di lantai dua.
"Mas Samudra pasti sudah lapar," gumamnya sambil mengaduk bubur yang mulai mengental. Aromanya yang harum memenuhi dapur.
Senja memang bukan siapa-siapa di rumah ini. Dia hanya adik tiri yang di pekerjakan sebagai asisten rumah tangga oleh Luna. Namun sejak tiga hari yang lalu, ketika demam tinggi menyerang Samudra, perannya seolah berubah menjadi seorang perawat yang penuh dedikasi.
"Dasar egois," bisik Senja kesal mengingat tingkah kakak tirinya. Meski begitu, dia tidak bisa membiarkan Samudra menderita sendirian.
Setelah bubur matang, Senja menyiapkan nampan berisi semangkuk bubur hangat, segelas air putih, obat penurun panas, dan setangkai bunga mawar putih yang dipetiknya dari taman, sentuhan kecil yang selalu dilakukannya untuk membuat orang merasa lebih baik.
Langkah kakinya yang ringan menaiki tangga yang terasa berat kali ini. Bukan karena nampan yang dibawanya, melainkan karena perasaan aneh yang semakin hari semakin sulit disembunyikan. Perasaan yang tidak seharusnya ada untuk seorang yang sudah beristri, apalagi istri dari kakak tirinya sendiri.
"Mas Samudra?" Senja mengetuk pintu kamar dengan lembut. "Aku bawa bubur."
"Masuk," sahut suara serak dari dalam kamar.
Senja membuka pintu perlahan. Kamar yang biasanya rapi dan dingin itu kini terasa hangat dengan aroma minyak kayu putih yang menenangkan. Samudra tengah duduk bersandar pada kepala tempat tidur, wajahnya masih pucat namun sudah terlihat sedikit lebih baik dari kemarin.
"Maaf, aku telat. Tadi buburnya agak lama matangnya," ujar Senja sambil meletakkan nampan di meja samping tempat tidur.
Mata Samudra yang biasanya tajam dan penuh wibawa kini memancarkan kelembutan yang jarang terlihat. "Tidak apa-apa. Kamu sudah terlalu baik pada Mas, Senja."
Pipi Senja merona mendengar namanya disebut dengan nada yang begitu lembut. "Ini sudah kewajiban ku, Mas. Lagipula, tidak ada orang lain yang bisa merawat Mas Samudra."
Samudra terdiam sejenak, matanya meredup. Kalimat Senja bagaikan tamparan halus yang mengingatkannya pada kenyataan pahit, istri yang seharusnya ada di sampingnya kini tengah berfoya-foya di pulau dewata.
"Sini, duduk dulu," kata Samudra sambil menepuk ujung tempat tidur. "Kamu pasti capek."
Senja ragu-ragu sejenak, namun akhirnya duduk di ujung tempat tidur dengan jarak yang cukup sopan. Dia mulai menyuapi Samudra dengan sabar, sesekali meniup bubur yang masih panas.
"Pelan-pelan saja, Mas. Jangan dipaksakan kalau masih mual," kata Senja dengan penuh perhatian.
Samudra menatap wajah Senja yang fokus menyuapinya. Mata gadis itu bersinar hangat, sangat berbeda dengan tatapan dingin Luna yang selalu sibuk dengan urusan sosialitasnya. Ada ketulusan di setiap gerakan Senja, sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya.
"Senja," panggil Samudra pelan.
"Ya, Mas?"
"Kenapa kamu mau repot-repot merawat Mas? Padahal Mas bukan siapa-siapa bagimu."
Pertanyaan itu membuat jantung Senja berdetak kencang. Bagaimana dia bisa menjawab bahwa merawat Samudra bukanlah beban, melainkan kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata?
"Mas itu Suaminya Kak Luna. Jadi, Mas juga seperti kakak ku," jawab Senja diplomatis, meski hatinya berteriak ingin mengatakan yang sebenarnya.
Samudra tersenyum tipis. "Kakak, ya?" Entah mengapa, kata itu terasa janggal di telinganya ketika keluar dari bibir Senja.
Mereka terdiam dalam suasana yang sarat dengan ketegangan tak terucap. Hujan di luar semakin deras, seolah alam ikut merasakan gejolak perasaan yang berkecamuk di dalam kamar itu.
Tiba-tiba, Samudra terbatuk hebat. Senja dengan sigap mengambil air putih dan menyodorkannya. Namun tangan Samudra yang masih lemah tidak bisa memegang gelas dengan stabil.
"Biar aku bantu," kata Senja sambil memegang gelas dan membantu Samudra minum.
Saat itu, tangan mereka bersentuhan. Seperti ada aliran listrik yang mengalir, keduanya merasakan getaran yang sama. Mata mereka bertemu, dan untuk beberapa detik yang terasa seperti keabadian, dunia seolah berhenti berputar.
Senja pertama kali tersadar dan menarik tangannya dengan gugup. "Ma-maaf, Mas."
"Tidak apa-apa," ujar Samudra, suaranya sedikit bergetar.
Suasana canggung mulai menyelimuti mereka. Senja bangkit dan bergegas merapikan nampan. "Aku.. aku ambil piring kotor ini dulu, ya, Mas. Mas istirahat saja."
Namun ketika Senja hendak melangkah, kakinya tersandung kaki tempat tidur. Tubuhnya limbung ke belakang, dan dengan refleks, Samudra menangkap pinggang Senja untuk mencegahnya terjatuh.
Posisi mereka begitu intim. Wajah Senja hanya berjarak beberapa senti dari wajah Samudra. Napas hangat mereka bercampur, mata mereka kembali bertemu dalam tatapan yang penuh gejolak.
"Sen..." bisik Samudra, namanya tercekat di tenggorokan.
Senja merasakan detak jantungnya seolah mau copot. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh Samudra, aroma maskulin yang menenangkan, dan tatapan mata yang berbeda dari biasanya, tatapan seorang pria yang sedang jatuh cinta.
"Mas..." bisik Senja, suaranya bergetar.
Perlahan, wajah Samudra mendekat. Senja memejamkan mata, hatinya bersiap untuk momen yang sudah lama diimpikannya...
BRUK!
Suara nampan yang terjatuh memecah keheningan dan menyadarkan mereka berdua. Senja dengan cepat melepaskan diri dari pelukan Samudra dan terduduk di lantai, wajahnya merah padam.
"Senja, kamu tidak apa-apa?" tanya Samudra cemas sambil berusaha turun dari tempat tidur.
"Tidak! Jangan bangun, Mas! Mas masih demam," kata Senja panik sambil membereskan pecahan piring. "Aku tidak apa-apa, hanya kaget."
Samudra memandang Senja yang sibuk membereskan dengan perasaan bersalah sekaligus kecewa. Apa yang tadi hampir terjadi? Apakah dia kehilangan akal sehat karena demam?
"Senja," panggil Samudra lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
"Ya, Mas?" Senja masih tidak berani menatap mata Samudra.
"Tadi itu... maafkan Mas. Mas tidak bermaksud..."
"Tidak apa-apa, Mas," potong Senja cepat. "Itu... itu hanya kecelakaan."
Tapi mereka berdua tahu, apa yang hampir terjadi tadi bukanlah sekadar kecelakaan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sudah lama berkembang dalam diam di antara mereka.
Setelah membereskan semua pecahan, Senja bangkit dengan canggung. "Aku ke dapur dulu. Kalau Mas butuh sesuatu, panggil aku aja."
Samudra mengangguk, matanya tidak pernah lepas dari sosok Senja yang bergegas keluar dari kamar.
Ketika pintu tertutup, Samudra menghela napas panjang. Tangannya memegang dada yang terasa sesak, bukan karena penyakit, melainkan karena perasaan yang semakin sulit dikontrol.
Sementara di balik pintu, Senja bersandar dengan napas tersengal-sengal. Hatinya berdebar tidak karuan. Apa yang dia rasakan? Apa yang Samudra rasakan? Dan yang terpenting, apa yang akan terjadi setelah ini?
Hujan masih turun dengan deras, seolah mengetahui bahwa ada dua hati yang sedang berjuang melawan perasaan terlarang mereka. Di tengah rumah besar yang dingin itu, hanya ada mereka berdua dan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka, meski mereka tahu betapa berbahayanya perasaan itu.
Malam masih panjang, dan keduanya tahu bahwa setelah momen tadi, tidak ada yang akan sama lagi di antara mereka.