JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29. BERTARUNG
Kabut hitam itu semakin pekat, menggulung dan melilit udara astral. Dari pusaran itu, sosok menyeramkan semakin jelas: tubuhnya menjulang, tinggi melampaui gerbang, dengan sayap sobek-sobek seperti kelelawar raksasa. Matanya merah membara, menyorot ke arah mereka penuh kebencian purba. Mulutnya penuh taring, dan setiap kali ia membuka rahangnya, keluar suara gemuruh seperti ribuan bisikan manusia yang tersiksa.
"Anak manusia, berani menantangku di wilayahku sendiri?" Suaranya berat, bercampur dengan jeritan samar yang membuat hati siapa pun yang mendengar seolah terkoyak.
Sadewa menggenggam kedua tangannya erat. Ia bisa merasakan, itu lah makhluk yang sejak awal mengincarnya. Makhluk yang telah mencuri sukma ibunya hanya untuk memancingnya datang.
Arsel segera maju, tubuhnya tegak penuh keberanian. "Kau makhluk kegelapan, jangan kira bisa mengambil apa pun seenaknya! Sadewa tidak sendiri di sini."
Makhluk itu terkekeh, suara tawanya seperti guntur bercampur retakan kaca. "Aku tidak butuh kalian. Aku hanya butuh bocah itu. Darahnya ... jiwanya ... adalah kunci. Ibunya hanyalah umpan."
Sadewa terkejut, napasnya tercekat. "Kunci? Kunci untuk apa?"
Namun makhluk itu tidak menjawab, hanya menatapnya dengan kelaparan yang mengerikan.
Andi melangkah maju, auranya meledak seperti kilat. "Sadewa, jangan dengarkan kata-katanya. Itu hanya trik untuk melemahkan hatimu. Kita harus fokus menghalanginya!"
Tama menelan ludah. Meski ketakutan jelas terpancar dari wajahnya, ia tetap mengangkat tangannya, mencoba menyalurkan energi batin yang telah ia latih. Cahaya pucat menyala dari telapak tangannya, meski bergetar.
Makhluk itu mendengus. "Kalian berani melawanku? Maka rasakan penderitaan!"
Sekejap kemudian, dari tubuhnya memancar pusaran kabut hitam, meluncur seperti tombak-tombak kegelapan. Arsel bereaksi cepat, memanggil senjata gaibnya, sebuah keris astral yang berkilau dengan cahaya perak. Ia menebas pusaran itu, membelahnya sebelum mencapai Sadewa.
Benturan itu meledak, menimbulkan gelombang kejut yang membuat permukaan astral bergetar.
"Sadewa!" Arsel berteriak. "Kau harus fokus menemukan ibumu! Biarkan kami yang menghadapinya!"
Sadewa terhuyung, namun ia menolak mundur. "Tidak! Aku tidak bisa hanya diam. Ibu ada di balik sana. Kalau aku berhenti sekarang, semua ini sia-sia!"
Makhluk itu kembali menggeram, kali ini mengangkat tangannya yang besar dan penuh cakar. Ia mencakar udara, dan dari celah yang tercipta, keluar bayangan-bayangan mirip manusia namun tak berbentuk jelas. Mereka berteriak, lalu berlari menyerbu, jumlahnya puluhan.
Tama bersiap. Meski gemetar, ia menancapkan kakinya di tanah astral, lalu mengangkat tangannya tinggi. Cahaya pucat dari telapak tangannya melebar, membentuk semacam perisai tipis. Bayangan-bayangan itu menabrak perisai, sebagian tertahan, sebagian lagi berusaha menembus.
Arsel menebas satu per satu dengan keris astralnya, tubuhnya bergerak cepat laksana tarian. Setiap tebasan melepaskan kilatan cahaya yang memotong kabut.
Andi, dengan tenang namun penuh wibawa, mengangkat tangannya. Dari tubuhnya keluar gelombang aura emas, yang meledak seperti guntur, menghempaskan sebagian besar bayangan itu.
"Sadewa!" Andi berseru. "Jangan habiskan tenaga untuk bertarung! Kau harus menembus ke dalam, cari ibumu! Hanya kau yang bisa memanggilnya keluar!"
Sadewa menggertakkan gigi, jantungnya berdentum keras. Ia tahu Andi benar. Jika ia terus melawan, ibunya mungkin akan semakin jauh terseret dalam penjara itu. Ia menutup mata, memusatkan hati, mencoba menembus kabut hitam dan jeritan yang mengelilinginya.
"Ibu, dengarkan aku lagi. Aku tidak peduli betapa gelap tempat ini, aku tetap akan menemukanmu. Pegang erat ikatan kita, jangan lepaskan. Aku datang untuk menjemputmu," ucap Sadewa.
Suara lirih perempuan terdengar samar, kali ini lebih jelas dari sebelumnya.
Sadewa membuka mata. Ia melihat cahaya samar di balik kabut gelap, berkilau seperti bintang yang hampir padam. Itu adalah sukma ibunya!
Namun makhluk kegelapan itu langsung menggeram keras, matanya merah semakin menyala. "Tidak! Dia milikku!"
Ia mengangkat tangannya, dan kabut hitam menebal, berusaha menutupi cahaya itu.
"Tidak!" Sadewa berteriak. "Kau tidak bisa mengambilnya dariku!"
Sadewa berlari, menembus kabut. Setiap langkah terasa berat, seolah ada ribuan tangan tak kasat mata menarik tubuhnya. Tapi ia terus melangkah, memanggil cahaya itu.
"Ibu! Jangan takut! Aku di sini!"
Di belakangnya, pertempuran semakin sengit. Arsel terdesak, wajahnya dipenuhi keringat astral. Tama hampir jatuh, perisainya retak, tapi ia menahan dengan seluruh tenaga. Andi berhadapan langsung dengan makhluk itu, auranya melawan kegelapan dalam benturan dahsyat.
Namun semua tahu, kunci kemenangan bukan di tangan mereka. Kunci itu ada pada Sadewa, yang kini berusaha mencapai sukma ibunya di tengah pusaran kegelapan.
Langkah-langkah mereka terus membawa Sadewa, Arsel, Tama, dan Andi semakin jauh menembus labirin astral yang tak berkesudahan. Dunia gaib yang mereka masuki kini mulai terasa lebih berat, seolah udara sendiri menolak keberadaan mereka. Setiap hembusan napas terdengar menggema, meninggalkan dengung panjang di telinga.
Di depan, jalur bercabang menjadi dua: satu menuju lorong bercahaya keemasan dengan dinding yang seolah hidup, berdenyut layaknya jantung; satu lagi ke arah jalan gelap pekat, dipenuhi suara bisikan yang menyayat kesadaran.
Andi menatap kedua jalan itu dengan sorot mata yang serius. "Jalur keemasan adalah jalan para roh yang mencari pelepasan. Tapi jalur gelap itu adalah jalan ke penjara. Jika sukma ibumu ditawan, maka kemungkinan besar ia berada di sana."
Sadewa menelan ludahnya yang terasa pahit. Tubuhnya bergetar, tetapi tatapan matanya penuh tekad. "Kalau begitu kita pilih jalan gelap. Aku tak peduli seberapa menakutkan tempat itu, asalkan bisa membawa Ibu kembali."
Arsel menepuk bahu Sadewa, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya. "Tenang, Dewa. Kita akan bersama-sama menempuhnya. Jangan biarkan ketakutanmu memberi makan pada makhluk yang menguasai jalan itu."
Tama menambahkan, dengan suaranya yang tegas meski samar-samar terdengar rasa takut, "Kita harus tetap menjaga kesadaran. Jika salah satu dari kita hanyut pada bisikan itu, maka jalan pulang akan hilang."
Mereka pun memilih jalur gelap itu. Begitu langkah pertama diambil, suasana langsung berubah drastis. Suhu menurun tajam, udara menjadi dingin menusuk hingga ke tulang. Bisikan-bisikan mulai terdengar semakin jelas. Suara-suara yang meniru orang-orang terkasih mereka, suara ibu, suara sahabat, bahkan suara diri sendiri, mencoba memanggil, memohon, merayu agar mereka berhenti.
Sadewa mendengar suara ibunya, lirih namun jelas, "Dewa ... jangan masuk ... Ibu takut ... jangan datang ke sini"
Ia terhenti, matanya berkaca-kaca. Namun Andi segera menghalangi, berdiri tepat di depannya. "Itu bukan ibumu, Sadewa. Itu hanyalah bayangan yang diciptakan untuk melemahkanmu. Ingat, sukma ibumu yang asli sedang menunggumu, tidak dalam bentuk ilusi ini."
Arsel segera menarik tangan Sadewa agar terus melangkah, sementara Tama menutup telinga dengan kedua tangannya, mencoba menahan gempuran suara-suara itu. Tapi bisikan itu tidak hanya melalui telinga, mereka menusuk langsung ke dalam hati.
Semakin dalam mereka berjalan, dinding lorong berubah menyerupai wajah-wajah manusia yang meringis, menangis, dan tertawa sinis. Mata-mata merah menyala sesekali terbuka dari celah dinding, mengawasi langkah mereka.
"Tempat ini," gumam Arsel dengan napas berat, "adalah penjara sukma. Aku bisa merasakannya. Ada ribuan jiwa terjebak di sini."
Sadewa memandang sekeliling dengan ngeri. "Bagaimana kalau Ibu tersesat di antara ribuan jiwa itu? Bagaimana aku bisa menemukannya?"
Andi memejamkan mata, meraba udara dengan telapak tangannya, seolah membaca getaran gaib. "Sukma manusia memiliki cahaya berbeda-beda. Aku akan mencoba mencari yang serupa denganmu, Sadewa. Karena sukma ibumu terhubung erat dengan dirimu, aku bisa melacak cahayanya."
Tak lama kemudian, Andi membuka mata yang kini berkilau kehijauan. "Aku menemukannya. Ada cahaya samar di balik gerbang hitam besar di ujung lorong ini. Itu pasti sukma ibumu."
Mereka mempercepat langkah, meski setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan tubuh mereka. Suara-suara bisikan kini berubah menjadi teriakan, jeritan panjang yang membuat bulu kuduk berdiri.
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gerbang raksasa berwarna hitam pekat. Gerbang itu bukan terbuat dari kayu atau besi, melainkan dari bayangan yang membeku, bergerak-gerak seakan bernyawa. Dari sela-sela gerbang, asap hitam keluar perlahan, membawa aroma anyir dan dingin kematian.
Sadewa maju, berdiri tepat di hadapan gerbang itu. "Ibu ada di dalam ... aku bisa merasakannya."
Namun begitu ia mencoba mendekat, gerbang itu bergetar hebat. Dari dalam asap hitam muncul tangan-tangan panjang kurus yang mencoba meraih mereka. Jari-jari itu mencakar udara, berusaha menarik Sadewa masuk tanpa izin.
Arsel langsung merapal doa pelindung, menciptakan lingkaran cahaya yang melindungi mereka. Tama, dengan sigap, menghunus keris pusaka peninggalan leluhurnya, yang berkilau meski dalam kegelapan.
Andi menatap gerbang itu dengan serius. "Untuk membuka gerbang ini, bukan hanya butuh kekuatan ... tapi juga keberanian untuk menghadapi ketakutan terdalammu. Gerbang ini akan menuntut bayaran. Hanya mereka yang siap menaruh hatinya di ujung tanduk yang bisa masuk."
Sadewa menutup mata, hatinya bergetar, namun ia tidak goyah. "Kalau begitu biar aku yang melakukannya. Ini ibuku, tugasku untuk menyelamatkannya."
Arsel segera menahan bahunya. "Kau tidak sendirian, Dewa. Kalau kau masuk, kami pun ikut masuk. Jangan pernah berpikir menanggung ini sendiri."
Tama mengangguk tegas. "Ya. Kita bertiga sudah berjanji, bukan? Bersama masuk, bersama keluar. Tidak ada yang ditinggalkan."
Sadewa menatap kedua sahabatnya, lalu menoleh ke Andi. Cahaya kecil menyala di matanya, meski wajahnya masih diliputi rasa takut. "Kalau begitu ayo buka gerbang ini. Ibu sedang menungguku di dalam sana."
Andi mengangkat kedua tangannya, merapal mantra kuno dengan suara bergema. Simbol-simbol hijau berpendar di udara, melingkari gerbang. Perlahan, bayangan yang membeku itu retak, seperti kaca yang dipukul dari dalam. Suara jeritan lebih keras terdengar, namun mereka bertiga saling menggenggam tangan, menahan rasa takut yang hampir melahap jiwa.
Dengan dentuman keras, gerbang hitam itu akhirnya terbuka.
Dan dari dalam, kegelapan murni menyembur keluar, seakan hendak menelan mereka bulat-bulat.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???