"Aku mau kita putus!!"
Anggita Maharani, hidup menjadi anak kesayangan semata wayang sang ayah, tiba-tiba diberi sebuah misi gila. Ditemani oleh karyawan kantor yang seumuran, hidupnya jadi di pinggir jalan.
Dalam keadaan lubuk hati yang tengah patah, Anggita justru bertemu dua laki-laki asing setelah diputuskan pacarnya. Jika pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, kalau ini malah tak kenal tapi berujung perjodohan.
Dari benci bisa jadi tetap benci. Tapi, kalau jadi kekasih bayaran ... Akan tetap pura-pura atau malah beneran jatuh cinta?
Jangan lupa follow kalau suka dengan cerita ini yaa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JSD BAB 9
Widi berjalan tertatih berusaha keluar dari sekitar rumah Anggita. Akan tetapi belum juga menghilangkan jejak malah bertemu mobil Anggara.
"Loh, kamu kenapa bisa ada di sini, Widi?" tanya Anggara keluar dari mobil.
Laki-laki yang sudah terpojok itu masih memegang perutnya. Sambil menahan mual luar biasa, Widi tersenyum tipis.
"Gak apa-apa, Pak. Aku cuma mau ketemu sama teman aku. Karena mereka butuh aku katanya, jadi aku harus pergi sebentar."
Sarah turut keluar dari mobil, membuat Widi menghela napas. "Kamu kenapa pucat begini? Kamu sakit?"
Widi menggeleng pelan. "Enggak, Bu. Tenang aja ya, aku gak apa-apa kok."
"Ya sudah, kalau benar kamu ada urusan dengan temanmu, silakan pergi tapi nanti kembali lagi ke rumah ya."
Dengan terpaksa Widi mengangguk. Sampai di sebuah markas kecil Widi bertemu dengan teman-temannya termasuk Ridho. Ada sekitar lima pemuda seumurannya, belum Ridho.
"Weh, lo udah jadi orang kaya nih?" Senyum terukir dari bibir seorang ketua di markas tersebut bernama Januar.
Widi berdiri menatap semuanya. Tatapannya tenang tapi terasa tajam. "Maksud lo apaan, Bang?"
"Maksud Bang Janu itu lo udah sekaya apa setelah nikah sama Anggita? Haha, cowok kayak lo modal ganteng ternyata laku juga ya? Tapi, lumayan lah jadi bikin kita ikut kaya." ujar Regar, wakil ketua.
Ridho di antara mereka hanya diam memperhatikan Widi tanpa kata. "Gak usah lo semua sebut nama dia! Lagian lo pada tau dari mana sih!? Hah? Lo pada punya urusan apa sama dia!?" tegas Widi tak terima.
Ridho terkekeh lalu berdiri menghampiri Widi. Dan mereka saling berhadapan dengan wajah serius.
"Gue sama lo itu beda, Bro. Gue pake logika, sedangkan lo pake hati! Tapi, itu gak masalah kalau yang lo lakukan juga ada hasil buat kita, kayaknya sejak kenal dia lo jadi lupa kalau kita ini preman, Bro."
Widi menahan emosinya dalam-dalam. Kini tatapannya tidak lagi biasa, sorot kecewa memanas tertuju pada Ridho.
"Cuma lo dan lo semua yang preman! Gue bukan bagian dari lo semua! Gue di sini, karena terpaksa nyari duit. Tapi, apa? Lo semua ngejebak gue!"
"Oh, jadi lo bener-bener sekongkol sama Ridho? Gila ya lo, Wid."
Shinta tiba-tiba muncul di balik ruang tempat dimana perempuan itu baru saja dilepas setelah disekap oleh Ridho.
Widi terkejut sekaligus tak berani menjawab apapun.
"Gue gak nyangka lo bisa sekejam ini sama orang yang udah gue anggap temen sendiri. Pokoknya Gita harus tahu soal lo yang sebenarnya!" pekik Shinta.
"Jangan, Shin! Gue mohon sama lo, plis jangan kasih tahu dia dulu. Oke, gue bakal jujur semuanya ke dia, tapi gak sekarang waktunya." pinta Widi. Namun, Shinta tetap pergi usai dirinya berkesempatan untuk kabur.
"Gue gak mau tahu alasan lo!"
Widi meraup wajahnya kesal. Bangku yang terbuat dari kayu ia tendang sangat keras. Tapi, teman-temannya tidak ada kepeduliannya sama sekali. Justru mereka hanya tersenyum tipis lalu meninggalkannya.
...ΩΩΩΩΩ...
Dini hari Widi kembali ke rumah Anggita karena ibunya ada di sana. Baru saja masuk ke kamar Anggita, Widi langsung mendapat tamparan keras.
"Satu hal yang harus lo tahu, gue gak mau ngakuin lo sebagai suami gue! Karena apa? najis, gue gak suka punya suami seorang preman! Hobinya nyari duit pake nyopet! Lo juga terlibat dalam penculikan Shinta, kan!?" sentak Anggita melotot sampai menunjuk-nunjuk dada Widi.
Laki-laki itu diam. Hanya mampu memegangi pipinya yang sangat perih.
"Gue peringatkan juga ya sama lo, jangan ngarep lo bakal dapat bayaran dari ayah gue! karena gue bakal kasih tahu apa aja yang lo lakuin aslinya."
Widi menunduk, tatapannya mulai meredup. Bibirnya sudah pucat, tubuhnya tak lagi ada sisa tenaga.
"Kalau gue jadi masalah buat lo, buang gue sejauh mungkin dari hidup lo. Untuk malam ini izinkan gue masih dalam satu ruang sama lo, sebelum gue akan selesaikan semuanya dan lo bebas mau ngapain. Entah itu cerai, atau ambil semua uang bayarannya. Yang terpenting gue minta satu hal, tolong jangan bikin hidup ibu gue tambah hancur. Gue gak masalah kalau lo mau hancurin hidup gue, asalkan jangan ibu gue. Gue masih hidup di sini itu karena gue masih nyari bapak gue, kalau lo keberatan gak apa-apa kok, besok mungkin gue gak akan ada lagi di hidup lo."
Sejenak Widi menghentikan ucapannya. Begitu Anggita terkekeh remeh, baru ia kembali melanjutkan.
"Sekarang lo tidur, jangan mikirin apa yang seharusnya gak lo pikirin. Ini bukan salah lo dan bukan juga urusan lo."
Widi pun duduk di sudut kamar Anggita. Punggungnya bersandar pada tembok dan memejamkan matanya pelan.
Beberapa detik kemudian Anggita beranjak dari kasur dan menarik tangan kanan Widi. "Udah gak usah banyak drama lo, sini tidur di kasur. Tapi awas ya kalau sampai lo apa-apain gue."
Laki-laki yang ditarik paksa itu berdiri lemah. Begitu berhasil duduk di kasur, Widi mulai terasa ingin muntah. Ditahannya semakin menjadi, tiba-tiba Anggita memegang perutnya.
"Bentar gue ambil minyak kayu putih sama alat buat kerokan. Lagian lo preman tapi tubuhnya loyo banget," cerocos Gita.
"Ambilin aja biar gue obatin sendiri. Lagian mana mungkin lo mau ngerokin gue," sahut Widi pelan.
Anggita mendesis kesal sedangkan Widi berinisiatif tengkurap di kasur Gita.
"Ish! Lo ngapain malah tengkurap sih!?"
"Udahlah, gue tidur aja udah cukup."
Dengan geram Gita menggeplak punggung Widi cukup keras. Membuat laki-laki tersebut berakhir duduk meski nyaris tumbang.
"Lo bisa mati kalau loyo terus kayak gini."
"Kalau gue gak ada kan lo jadi janda muda, bisa nikah lagi sesuai sama impian lo."
"Berisik ah!"
"Lo kalau gak niat ngolesin perut gue ya udah gak usah. Ngapain ribet kalau gak niat,"
"Suami apaan kayak gini berisik banget."
"Nantinya juga diem kalau udah gak ada."
Baru saja mereka hendak akur, tiba-tiba jendela kamar Anggita yang berada di lantai dua tersebut dilempari batu. Seketika mereka terkejut bukan main, terlebih lagi jendela kamar Anggita yang memang masih sedikit dibuka.
Lemparan pertama hanya mengejutkan, tetapi yang kedua nyaris mengenai Anggita sehingga membuatnya takut.
"Ih, batu dari mana sih!?"
Dan lemparan batu ketiga entah berasal dari mana kembali masuk mengarah ke Gita. Namun, beruntung Widi melindunginya sehingga punggung Widi yang terkena.
"Duh, sakit gak punggungnya?" tanya Anggita wajahnya tampak khawatir.
"Aman aja, yang penting lo gak papa kan? Gue mau tutup jendela dulu. Kayaknya ada orang neror dengan sengaja."
"Tapi siapa?"
"Ada dua kemungkinan. Satu, orang yang gak suka liat lo bahagia. Kedua, orang yang mau ngehancurin gue."
hai kak, aku mampir, cerita kakak bagus💐