Azalea, Mohan, dan Jenara. Tiga sahabat yang sejak kecil selalu bersama, hingga semua orang yakin mereka tak akan pernah terpisahkan. Namun dibalik kebersamaan itu, tersimpan rahasia, pengkhianatan, dan cinta yang tak pernah terucapkan.
Bagi Azalea, Mohan adalah cinta pertamanya. Tapi kepercayaan itu hancur ketika lelaki itu pergi meninggalkan luka terdalam. Jenara pun ikut menjauh, padahal diam-diam dialah yang selalu menjaga Azalea dari kejauhan.
Bertahun-tahun kemudian, Jenara kembali. Dan bersama kepulangannya, terbongkarlah kebenaran masa lalu tentang Mohan, tentang cinta yang tersimpan, dan tentang kesempatan baru bagi hati Azalea.
Kini, ia harus memilih. Tetap terikat pada luka lama, atau membuka hati pada cinta yang tulus, meski datang dari seseorang yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Faroca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Azalea
Beberapa hari sudah berlalu, semenjak drama di depan gedung kedokteran. Luka hati Azalea belum benar-benar reda, Azalea selalu mengingat bagaimana Mohan menjadikannya tameng di depan Amara—sehingga membuat gadis itu marah dan menghinanya di depan banyak orang, perasaan kecewa itu terus menghantamnya ketika mengingatnya.
Semenjak itu juga, Mohan tak pernah mendatanginya. Tak ada kata maaf darinya meskipun hanya lewat telpon maupun chat. Semua yang terjadi, seakan hanya angin lalu bagi Mohan.
Saat ini Azalea sedang berada di kantin bersama Regi dan Fani, teman sekelasnya. Mereka bertiga sedang membahas tugas kelompok psikologi.
"Jadi pilih yang mana nih?" tanya Fani pada dua temannya yang sedang asik menikmati makanan yang mereka pesan.
"Psikologi Perkembangan aja kali ya," usul Regi sambil mengunyah makanannya dengan lucu.
"Nah bener, kita observasi prilaku anak. Gimana menurut kalian?" Fani menyetujui usul Regi.
"Yup, seru kali ya! Kita bisa sekalian main sama anak-anak TK atau anak paud. Lagian, lebih gampang bikin laporan kalo ada kerja nyata," Regi berkata sambil membayangkannya.
"Giman Za? Kok lo diem aja sih, mikirin Jenara ya?" sambung Regi sambil menyenggol tangan Azalea.
"Gue malah lagi mikir, gimana kalo saat kita lagi observasi mereka teriak-teriak dan malah kabur? Nanti kita malah di tuduh nyulik anak kecil lagi," celetuknya asal.
Fani dan Regi menepuk jidatnya bersamaan, dan mencubit pipi chubby Azalea secara bersamaan karena gadis itu berada diantara Regi dan Fani.
"Awww!!!pipi gue ini, bukan bakpao," seru Azalea sambil mengelus kedua pipinya. Sedangkan temannya tertawa sambil terus menghujani pipi Azalea dengan cubitan yang bertubi-tubi.
Tanpa mereka sadari, seorang cewek cantik beserta keempat temannya memasuki pintu kantin. Dengan langkahnya, mereka mendekat ke meja Azalea.
"Oh, ini ya si perebut pacar orang!" seru salah satu dari mereka. Membuat tawa Azalea dan kedua temannya berhenti.
Azalea beranjak dari kursinya diikuti dengan Fani dan Regi. "Maksud lo apa ya? dan tujuan lo ke siapa?" ujar Fani gemas, karena tiba-tiba kesenangan mereka harus terganggu dengan lima cewek yang nggak jelas ini.
"Lo tanya sama temen lo yang ini," Tunjuk Amara pada Azalea. "wajahnya aja yang sok polos, tapi kelakuannya... menjijikan," sambung Amara dengan nada tingginya, sehingga menarik perhatian seisi kantin. Kata kamu—aku yang biasa dipakainya berubah seketika menjadi gue—lo.
Azalea mendekati Amara, "Gue udah bilang, gue nggak tahu-menahu drama yang di buat Mohan. Harusnya gue yang marah, karena Mohan jadiin gue tameng tanpa sepengetahuan gue," Azalea menekan kata-katanya.
"Wow, si muka polos ini masih aja ngerasa dirinya jadi korban girls!" Amara tertawa sinis. "Jangan sok polos, semua orang juga tau kalo lo deket sama Mohan," ketusnya kemudian
"Ya wajar kali, kalo dia deket sama Mohan. Mereka kan sahabatan dari kecil, ngerti nggak!" kesal Regi.
"Sahabat? Ada ya sahabatan tapi sering peluk-pelukan, gandengan dan manja-manja sama sahabatnya. Kalo sahabatan sesama cewek wajar ya, tapi ini sama cowok lo girls... Pake hati nggak ya?" Amara menyudutkan Azalea.
"Pasti pake lah... Apalagi cowoknya spek Mohan sama Jenara, gimana nggak pake hati coba," timpal teman Amara yang berambut pendek.
"Emang dasar ceweknya aja yang gatel itu mah," saut teman satunya lagi.
"Sebenernya gue sama lo nggak pernah punya masalah, kita kenal baik-baik. lo pasti ingat kan pertama kita kenal, lo yang lemah lembut bikin Mohan jatuh cinta. Terus kenapa lo keliatan benci banget sama gue, cuma karena satu hal yang nggak gue lakuin Amara.." Azalea menaikkan volume suaranya.
"Itu semua, karena diem-diem lo suka sama Mohan kan?Gue bisa liat, tatapan lo saat gue lagi bareng sama Mohan. lo cemburu, cuma Mohan aja yang nggak peka sama kecemburuan lo," ucapnya penuh emosi.
Azalea terdiam, gadis itu merasa tebakan Amara benar. Andai aja, dulu Mohan sepeka Amara—mungkin kejadian ini nggak akan pernah ada. Tapi entah kenapa, perasaan sukanya terhadap Mohan sudah tidak pernah muncul lagi akhir-akhir.
"Kenapa diam, semua benar kan?" ucap Amara.
"Amara, lo keterlaluan!" kata Azalea,
"Lo yang keterlaluan dasar cewek murahan," Amara berteriak, lalu mengambil segelas es teh manis yang masih utuh. Lalu....
Byurrr!!!.
Amara menyiram Azalea dengan es teh tersebut, beberapa orang menjerit kaget. Bahkan kedua teman Azalea merangsek maju untuk melindungi gadis itu. Azalea menundukan wajahnya, rasa kesal dan malu menggelayuti dirinya.
"Wah lo parah banget, marah lo nggak jelas tujuannya!" Regi mendorong bahu Amara, hingga gadis itu hampir jatuh. Untung saja keempat sahabat Amara sigap menangkap gadis itu.
"Woy lo ngapain ngebelain cewe murahan ini," ucap cewek berkuncir kuda sahabat Amara sambil menunjuk ke arah Azalea, Azalea yang berkali-kali dibilang cewek murahan mulai tidak terima. Azalea mendekati Amara, menarik rambut panjang gadis itu. Amara berteriak kesakitan, namun bukannya melepaskan—Azalea makin menarik kuat rambut Amara. Keempat sahabat Amara mencoba membantunya, tapi kedua teman Azalea menghalanginya.
Suasana makin chaos, saat beberapa mahasiswa mengangkat ponsel mereka. Dan menyiarkan ke chaosan itu sosmed mereka masing-masing. Komentar-komentar bermunculan cepat: “Gila! Chaos banget!” — “Astaga ini beneran ribut gara-gara cowok?” — “Tim Amara atau tim Azalea nih?”
Azalea berdiri dengan napas terengah, bajunya masih basah oleh minuman yang tadi tumpah. Fani dan Regi di sampingnya, siap melindungi. Sementara Amara memegang rambutnya yang acak-acakan karena ulah Azalea, bahkan saat ini di genggaman gadis itu terdapat beberapa helai rambut Amara.
"Brengsek lo Za," Teriak Amara, saat Amara ingin melayangkan sebuah tamparan. Suara berat seseorang dari pintu kantin terdengar.
"Amara!!!"
Semua kepala menoleh ke arah suara tersebut. Mohan berjalan cepat ke arah mereka, wajah yang biasanya tengil kini berubah datar. Dibelakangnya Jenara mengikuti dengan wajah dingin bercampur dengan Amarah.
"Kamu keterlaluan," Mohan menahan lengan kekasihnya itu.
"Aku udah bilang kan, Azalea nggak salah. Aku yang salah, tapi kenapa kamu terus cari masalah ke Azalea?" ucapnya masih dengan nada berat.
"Kamu belain dia Moh? Yang pacar aku tuh kamu, bukan dia." bukannya tenang, Amara makin meledak.
"Amara... Kamu yang bikin keributan, aku cuma..."
"Jawab aku sekarang," Amara memotong kata-kata Mohan. "pilih aku atau dia, kalau kamu sayang sama aku... jauhin Azalea. Aku sudah meminta kamu untuk memilih, tapi sampai saat ini kamu belom punya jawabannya," Amara mendesak Mohan.
Keadaan kantin menjadi hening, mereka seperti menunggu jawaban dari Mohan. Jenara yang saat ini sudah berada di samping Azalea, menggenggam tangan gadis itu erat. Dia seakan ingin memberi kekuatan pada gadisnya. Sedangkan Azalea terpaku, jantungnya sakit mendengar pilihan yang dibuat oleh Amara.
Mohan menatap Azalea lalu berpindah ke Amara, wajahnya bingung. Dia seakan tidak bisa memilih diantara keduanya, karena bagi Mohan kedua wanita di depannya sekarang. Mempunyai tempatnya masing-masing di hati Mohan.
"Cukup Amara! lo nggak bisa maksa Mohan buat milih. Karena kalian sama-sama penting bagi Mohan," ujar Jenara dengan suara dingin tapi penuh dengan Amarah yang terpendam.
"Nggak bisa gitu dong, gue maunya dia milih. cepet pilih Moh," paksa Amara.
"Gue rasa ini udah keterlaluan, lo nggak bisa diem aja Mohan. Dia yang lo bilang cewek lembut? Cewek pengertian? Cewek kaya gini kriteria lo? Kalo bener, gue rasa mata lo udah buta Moh!" Jenara berkata dengan sarkas, Amara merasa tertampar dengan kata-kata Jenara. Gadis itu mengepalkan tangannya, dan menatap tajam ke arah Azalea.
"Je.... Udah," suaranya bergetar, Azalea mencoba menahan tangis yang hampir pecah.
"Lo nggak salah Za, yang salah mereka. Mereka berani pacaran, tapi nggak bisa nyelesain masalahnya sendiri—mereka malah nyeret lo kedalam masalah itu," pandangan sinis Jenara tertuju pada sepasang kekasih itu.
Amara bergetar, bibirnya terbuka tapi tak ada kata keluar. Sorotan mata semua orang menusuknya, membuatnya makin kalut.
Mohan menghela napas, jelas tersiksa dengan situasi itu. Tapi kali ini, bukan Azalea yang tampak kalah... melainkan Mohan dan Amara sendiri.
Dan di antara semua tatapan itu, Azalea hanya bisa menunduk, menahan sesak di dadanya. Entah apa yang lebih menyakitkan? dimaki-maki Amara, atau melihat kebimbangan Mohan yang tak juga bisa membelanya sepenuh hati.
Sesaat kemudian, Azalea mendekati Mohan. Mata sendunya menatap sahabat yang sempat dicintainya itu. Mohan pun menatapnya. "Lo nggak usah milih antara gue sama Amara," lirihnya. "karena gue sendiri yang bakalan ngejauh dari lo. Makasih buat semua yang udah lo lakuin dari kita masih kecil, maaf karena gue malah menjadi masalah dihubungan kalian..." tangis yang sempat ditahannya pun kini pecah, Mohan ingin menghapus air mata Azalea. Namun tangannya ditepis kasar oleh Amara. Azalea menggelengkan kepalanya, dibarengi senyuman tipis.
Azalea melihat ke arah Amara, "setelah ini Lo bisa tenang kan? Jaga Mohan sebaik mungkin." ujarnya sambil berlalu meninggalkan keduanya.
Jenara menarik nafas beratnya,
"Udah beberapa kali lo buat dia nangis? Bahkan dulu, lo yang paling marah kalo ada yang bikin Azalea menangis. Gue harap lo nggak nyesel Moh," ucap Jenara lalu pergi menyusul Azala, sedangkan Fani dan Regi membereskan barang-barang milik Azalea setelahnya mereka juga meninggalkan tempat itu.
Mohan masih berdiri menatap kepergian kedua sahabatnya, hatinya tak rela jika harus berpura-pura tidak mengenal mereka. Mohan berjalan keluar kantin, tak digubrisnya panggilan Amara. Saat ini, yang dia pikirkan—apakah keputusan Azalea sudah tepat, karena setelah mendengar keputusan Azalea... Separuh jiwa Mohan seakan hilang.