Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14. Hancur Berantakan
Suasana baru saja tenang. Obrolan hangat seputar hari bahagia Nayaka dan Arslan mulai mengalir pelan. Beberapa gelas sudah diisi, cemilan tersaji di meja. Namun tak satu pun dari mereka menyangka kalau ketukan di pintu akan mengubah semuanya.
Aylara yang sejak tadi duduk di samping Bu Selma langsung berdiri saat melihat dua sosok memasuki ruangan. Langkahnya refleks terhenti. Matanya membelalak, tubuhnya menegang.
“Eh…” gumamnya pelan, nyaris tanpa suara.
Tangan Aylara gemetar. Matanya tidak berpindah. Pria yang kini melangkah ke ruang tamu adalah seseorang yang ia kenal luar dalam. Seseorang yang ia cintai, ia percayai, bahkan pernah ia rencanakan sebagai masa depan.
Kaisar Alfarizi.
Dengan setelan rapi dan senyum sopan, pria itu masuk ke rumah calon mertua adiknya sambil menggandeng seorang perempuan muda bergaun satin hitam.
Rambut panjang tergerai, langkahnya percaya diri, matanya menyapu seisi ruangan seperti sedang menyapa panggung runway.
Aylara tak bisa berpura-pura kuat. Napasnya tercekat.
“Kaisar?” tanyanya tak percaya. “Kamu ngapain di sini?”
Nayaka menoleh cepat. Arslan yang duduk di sebelahnya ikut bangkit, alisnya bertaut.
Elara Ramdhani tersenyum manis lalu memeluk lengan Kaisar, “Aku ajak dia ke sini, Kaisar calon suamiku.”
Tiba-tiba hening seketika, seolah waktu berhenti berputar. Semua mata tertuju pada mereka. Pak Mahardika mengernyit. Bu Selma spontan menutup mulutnya. Nayaka hanya bisa menatap kakaknya yang terlihat nyaris ambruk.
Kaisar menunduk singkat. “Selamat malam, semuanya,” ucapnya sopan, tapi suaranya terdengar kaku.
“Bercanda, kan?” tanya Aylara dengan suara pecah. “Kamu serius, Sar?”
Elara tersenyum bangga. “Kenapa? Kakak kaget? Aku juga baru tahu ternyata kita keluarga dekat. Dunia sempit, ya?”
Aylara mengangkat wajahnya, menatap Kaisar penuh luka. “Kamu bilang bulan ini mau lamar aku. Kamu bilang ke luar kota buat urusan kerjaan.”
“Aylara…” gumam Kaisar. “Aku… bisa jelasin.”
“Enggak perlu!” seru Nayaka tajam. Ia berdiri di samping kakaknya, lalu menggenggam tangannya erat. “Kalau niat kamu baik, kamu nggak datang begini caranya. Kamu tahu acara malam ini buat apa!”
Pak Mahardika berdiri. Suaranya berat dan tegas. “Tunggu dulu. Elara, kamu bilang dia tunangan kamu?”
“Iya, Om,” sahut Elara mantap. “Papa udah setuju. Tante Selma juga tahu. Kami rencana nikah bulan depan.”
Aylara menahan air mata. Tapi matanya tidak lagi berkaca, justru berkilat marah.
“Jadi selama lima tahun ini aku cuma selingan?”
“Enggak gitu, Lar…” ucap Kaisar pelan, terdengar menyesal.
“Tapi kamu tunangan sama sepupu calon adik iparku, di rumah orang tua calon suami adikku sendiri?” suaranya mulai meninggi, “Kamu pikir aku cuma penonton di sini?”
Bu Selma memijat pelipis. Arslan mendekat lalu berdiri di antara mereka.
“Sudahi. Ini bukan tempatnya.” ujarnya Arslan dengan tegas.
Tapi Aylara sudah telanjur jatuh. Harga dirinya, hatinya, kepercayaannya semua dihancurkan dalam satu malam.
“Lima tahun, Sar. Aku bukan cuma pacar kamu. Aku temenin kamu mulai dari nol. Dari kamu belum jadi manajer sampai kamu bisa beli apartemen sendiri,” ujarnya lirih.
Elara menatap sinis. “Maksudnya apa? Mau tagih hutang? Atau balas dendam?”
“Lara, cukup!” tegas Pak Mahardika.
Arslan menatap Kaisar dingin. “Kalau kau memang pria sejati, seharusnya kau bisa pilih siapa yang kau hargai. Dan kalau kau masih punya etika, kau akan keluar sekarang.”
Kaisar menunduk, matanya berusaha menatap Aylara, tapi perempuan itu sudah berbalik, menahan napas dan menyeka pipinya sendiri.
“Elara, ayo pulang. Ini salah waktu,” ucap Kaisar akhirnya.
Elara mendesis kesal. “Tapi ini juga rumah aku.”
“Bukan sekarang,” timpal Arslan datar. “Kamu merusak malam penting adik aku.”
Mereka akhirnya pergi. Suasana kembali diam. Tapi bukan lagi diam yang nyaman, melainkan sunyi yang menyesakkan.
Bu Dina memeluk bahu Aylara. “Nak, kamu kuat. Kamu bukan korban. Kamu pemenang dari hati yang nggak tahu cara menghargai.”
Nayaka mendekat. “Kakak nggak sendiri. Aku di sini.”
Aylara mengangguk kecil. Tatapannya kini lebih tegas. “Aku cuma sedih karena aku terlalu percaya.”
Arslan menatap kakaknya dalam. Tak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya penuh perlindungan.
Malam itu, tak ada pembicaraan soal catering, tenda, atau undangan. Tapi satu hal justru menjadi lebih jelas keluarga ini bukan hanya akan menyambut pengantin baru, tapi juga menyembuhkan luka yang paling dalam.
Langit di luar gelap sepenuhnya, tapi hati Aylara lebih gelap dari apapun. Hatinya mengeras. Langkahnya pelan, namun berat.
Dia mengejar Kaisar dan Elara yang baru saja pamit keluar dari ruang utama. Tubuhnya sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang nyaris meledak.
“Kaisar,” panggilnya tajam.
Langkah pria itu terhenti. Ia menoleh, sorot matanya muram, seolah merasa bersalah tapi tak cukup menyesal.
“Kamu tahu nggak, kenapa aku nggak bisa terima semua ini?” tanya Aylara datar.
Kaisar hanya diam. Elara berdiri di sampingnya, memeluk lengannya makin erat, seperti sengaja menunjukkan bahwa dialah yang menang malam itu.
Aylara menarik napas panjang. Matanya menatap Kaisar lekat-lekat, seolah sedang mencoba membaca apakah sedikit pun masih tersisa hati di balik dada pria itu.
“Mungkin karena aku cuma seorang dokter umum,” ujarnya pelan, “yang kerja di klinik kecil dan lahir dari keluarga sederhana. Dan kamu butuh seseorang yang bisa naikin level hidup kamu.”
Tangannya mengepal.
“Elara Ramdhani. Sepupu Arslan. Model papan atas. Pewaris perusahaan raksasa. Nama belakangnya udah cukup buat kamu lupa siapa yang dampingin kamu dari awal.”
Ia tertawa pendek, hambar. “Lucu, ya. Aku pikir kamu setia. Ternyata kamu cuma sabar nunggu kesempatan lebih gede.”
“Ayla, bukan gitu..” potong Kaisar pelan.
“Diem!” bentak Aylara cepat. Suaranya nyaring, menyayat keheningan halaman depan. “Kamu tahu? Aku lebih muak dari marah. Karena aku sempat percaya kamu baik. Aku bodoh.”
Elara mendesah kecil. “Kalau kamu masih cinta, jangan kasih malu diri sendiri, Kak.”
Aylara menoleh tajam. Matanya tajam, wajahnya tak gentar sedikit pun.
“Kamu pikir aku cinta? Bukan, aku jijik sama pria yang pura-pura serius, tapi diam-diam nyusun pelaminan sama perempuan lain.”
“Dari semua perempuan di dunia, kamu pilih sepupu calon adik iparku. Dan kamu bahkan nggak punya malu datang ke rumah ini, bergandengan tangan di depan aku.”
Kaisar menggertakkan rahang, tapi tak mampu berkata-kata.
Aylara menunduk sebentar, lalu menatap lagi.
“Kamu tahu nggak hal yang paling nyakitin dari pengkhianatan?”
Tak ada jawaban. Angin malam menggerakkan ujung rambutnya.
“Bukan saat kamu ketahuan bohong. Tapi saat aku sadar kamu nggak pernah jujur dari awal. Kamu nggak pernah anggap aku penting.”
Napasnya tersendat.
“Tapi tenang aja. Mulai malam ini, aku nggak akan ingat kamu lagi. Kamu bukan bagian dari hidup aku. Kamu cuma pelajaran yang menyakitkan, tapi bikin aku jadi lebih kuat.”
Ia berbalik namun tidak menangis. Tidak menjerit. Hanya diam yang anggun, penuh luka tapi utuh.
Dan Kaisar hanya bisa menatap punggungnya. Punggung seorang perempuan yang baru saja ia hancurkan perempuan yang harusnya ia perjuangkan, bukan tinggalkan.
Ia berbalik, namun tidak menangis. Tidak juga menjerit. Hanya diam yang anggun. Diam yang menyayat.
Langkahnya ringan, tapi tiap tapaknya seperti menorehkan luka yang dalam bukan di kulit, tapi di dada lelaki yang membiarkannya pergi.
Dan Kaisar hanya bisa menatap punggungnya. Punggung seorang perempuan yang baru saja ia hancurkan dengan keputusannya sendiri.
Perempuan yang harusnya ia perjuangkan tapi malah ditinggalkan.
Dalam batinnya yang riuh, Kaisar berbisik lirih, "Maaf... tapi Elara Ramdhani adalah satu-satunya jalan. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan ekonomi keluargaku. Aku punya banyak adik. Mereka butuh sekolah, butuh makan, butuh masa depan..."
Namun sekuat apapun alasan itu, tidak pernah cukup untuk membenarkan pengkhianatan.
Di kejauhan, Elara Ramdhani tersenyum tipis, menggamit lengan Kaisar dengan bangga.
Ia tampak semakin mesra seakan dunia hanya milik mereka berdua. Tatapan matanya menusuk. Tanpa belas kasihan. Tanpa peduli ada hati yang retak hanya beberapa langkah dari tempat ia berdiri.
Dan perempuan itu, yang punggungnya semakin menjauh, adalah satu-satunya yang pernah benar-benar mencintai Kaisar tanpa syarat dan pamrih.
Kini, semuanya sudah terlambat.