Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali mengejutkan
Tubuh Mita bergetar, kala ia tak mampu mencegah Arumni agar tetap tinggal. ia segera menyambar ponsel dari atas meja, lalu mengeser layar ponselnya untuk mencari nama sang suami. Kesibukan Galih membuat Mita harus mengulang-ulang mengeser tombol hijau, agar terhubung dengannya.
"Hallo, mas, mas! mbak Arumni.. mbak Arumni... " ucapnya terbata, setelah Galih mengangkat teleponnya.
"Ada apa Mita? Arumni kenapa? apa yang terjadi dengannya?" Galih merasa sangat panik.
"Mbak Arumni baru saja pergi dari rumah."
"Apa?" tanpa pikir panjang Galih langsung paham maksud Mita, ia segera menutup telepon dan meninggalkan jam kerjanya.
Mobil Galih melaju membelah keramaian kota, beruntung jarak kantornya dengan terminal bus Pulo Gadung tidak begitu jauh. Galih masih belum terlambat, Galih melihat Arumni yang sudah siap duduk di kursi tengah, sambil menunggu bus dipenuhi penumpang. Diam-diam Galih duduk di sebelah Arumni, Arumni yang sedang menatap kosong melalui kaca mobil tidak menyadari kehadiran Galih di sampingnya.
"Arumni!" panggil Galih.
Arumni tak langsung menoleh, Arumni justru berpikir bahwa ia sedang melamun. "Ya Allah, kenapa aku melamunkan mas Galih sampai separah ini? kenapa suara mas Galih sampai begitu dekat ditelinga ku?" Gumam Arumni.
"Kamu sedang tidak melamun, Arumni!"
Manik hitamnya membulat, ia menoleh dengan cepat, "Mas Galih?" ucapnya sangat terkejut.
"Kenapa kamu ingin meninggalkan rumah? bukankah aku sudah menyuruhmu untuk bersabar? kurang dari dua bulan saja Arumni, aku janji tidak lebih dari itu!" ucapnya memohon.
"Maaf mas. Aku tidak bisa terus di sini, aku akan merasa lebih tenang jika berada di Wonosobo."
"Ya sudah, aku mengerti. Lagian aku juga tidak bisa selalu menjaga perasaan mu, jadi ya sudahlah." Galih pasrah dengan keputusan Arumni.
"Aku minta maaf ya, mas?" ucapnya sambil memeluk Galih.
Baru saja Galih merasa diposisi nyaman, seorang kondektur sudah memberi aba-aba bahwa bus akan segera berangkat, dan semua penumpang harus segera menempati tempat duduk masing-masing.
"Permisi mas, ini tempat duduk ku!" kata seorang wanita.
Terpaksa Galih melepaskan pelukan Arumni, "kamu hati-hati, ya?" lirihnya.
Arumni menganguk, dengan berat hati Galih keluar dari mobil itu. Galih menunggu bus yang membawa Arumni berjalan, hingga menghilang di ujung jalan.
Galih masih berdiri tertunduk lesu melepas kepergian Arumni. Namun ia tak kuasa untuk menghentikannya.
**
Galih tidak kembali ke kantor, ia lebih memilih pulang meratapi nasib yang menimpanya. Galih duduk bersandar di sofa sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Sesekali ia mengusap wajah kusutnya.
"Mbak Arumni tetap mau pergi ya, mas?" tanya Mita, beberapa saat setelah Galih duduk.
Galih menganguk, "Iya Mita!"
"Maafkan aku ya, mas?" Mita jadi merasa bersalah karenanya.
Galih membenarkan posisi duduknya, kini ia duduk menghadap Mita tanpa perlu khawatir akan perasaan Arumni. "Jangan berpikir seperti itu, Mita! ini bukan sepenuhnya kesalahan mu. Semua sudah terjadi, kita tidak perlu menyalahkan siapapun, termasuk diri sendiri. Lagian jika Arumni ke Wonosobo untuk saat ini memang sudah yang terbaik untuknya."
Mita menganguk pelan. "Mau minum apa, mas?" tanya Mita karena ia masih merasa punya kewajiban.
"Tidak perlu, kita ke dokter saja, ya?" kata Galih.
"Tapi aku sehat mas!" tegas Mita.
"Tapi aku juga ingin tahu kesehatan anakku." ucap Galih sambil mengelus puncak kepala Mita.
Tak ingin menolak Galih, Mita pun segera bersiap untuk menemui dokter. Sebenarnya Mita sudah sangat nyaman, menjadi istri seorang Galih yang sangat bertanggung jawab, namun ia sadar bahwa hubungannya dengan Galih hanya sebuah kesepakatan, dan Arumni yang lebih Galih cintai.
**
Pagi dini hari, Arumni sudah sampai di rumah mertuanya. Hal itu sangat mengejutkan Pak Arif dan bu Susi, Lagi-lagi Arumni kembali dari Jakarta.
Dengan sayup-sayup bu Susi membukakan pintu beberapa saat setelah Arumni mengetuk, disusul oleh pak Arif yang merasa penasaran, siapa yang datang sepagi itu.
"Arumni? kamu pulang lagi? di mana Galih?" bu Susi mengedarkan pandangan ke luar rumah.
"Iya, bu. Aku pulang sendiri, mas Galih masih di Jakarta." ucapnya sambil memasuki rumah.
"Arumni, kenapa kamu pulang lagi?" saut pak Arif.
"Iya, pak! di Jakarta itu sangat panas, aku sama sekali tidak betah, jadi aku pulang saja." alasan Arumni.
Lagi-lagi Arumni beralasan. Pak Arif mengerjapkan mata, agar bu Susi tidak perlu bertanya lebih dalam lagi. Kedua orang tua Galih cukup tahu, ucapan Arumni hanyalah sebuah alasan.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu saja. Ibu mau bersiap ke masjid, sepertinya sebentar lagi Adzan subuh."
Saat bapak dan ibu mertuanya ke masjid, Arumni lebih memilih membersihkan diri, karena disepanjang perjalanannya sudah ia habiskan waktunya untuk tidur.
**
"Bu, tunggu bu!" kata pak Arif saat bu Susi baru keluar dari masjid.
"Ada apa sih, pak?" bu Susi berhenti menunggu sang suami menghampirinya.
"Aku rasa ada yang tidak beres dengan Galih dan Arumni."
"Apa maksud bapak?"
"Bagaimana mungkin Arumni tidak betah tinggal sama Galih, kalau memang tidak ada masalah."
"Jangan berkata seperti itu, pak! ibu lihat mereka adem ayem aja." ucap bu Susi sambil berjalan menuju rumahnya. "Ah sudahlah, pak! kita bicara di rumah saja, malu dilihat tetangga."
Merasa ada benarnya ucapan bu Susi, pak Arif pun nurut pulang ke rumah. pak Arif jadi mengamati tingkah laku menantunya itu, sepertinya memang tidak ada masalah.
Arumni melakukan aktivitas seperti biasa, saat pagi membuat sarapan dan mengurus segala keperluan pak Arif dan bu Susi.
Saat sedang sarapan, Arumni membuka obrolan. "Bu, nanti siang aku pergi ke rumah teman ku, ya?"
"Iya Arumni, tapi ingat saat sudah selesai segera pulang, supaya bapak sama ibu tidak khawatir." pesan ibu.
"Bisa jadi aku pulang sore, bu."
"Memangnya rumah temanmu di mana, Arumni?" saut ayah.
"Tidak jauh sih pak, cuma aku ke sana untuk cari lowongan kerja, kalau langsung dapat aku akan langsung kerja. kalau belum ada, aku akan cari ke tempat lain."
"Apa?" pak Arif dan bu Susi saling lempar tatap. "Mau kerja apa, Arumni?" tanya ibu.
"Apa aja, bu, yang penting aku ada kegiatan."
"Memangnya kegiatan mu di rumah tidak banyak, Arumni?"
pak Arif memegang pundak bu Susi untuk menghentikan pertanyaannya. "ya sudah, Arumni, yang penting hati-hati di jalan." ucap pak Arif sambil tersenyum ramah.
"Iya, pak. Terimakasih!"
Pak Arif harus sudah keluar rumah pukul enam pagi, agar tidak terlambat mengajar di sekolah. Seperti biasa, bu Susi masih melakukan aktivitas mengerjakan tugas rumah bersama Arumni, sebelum berangkat berjualan pakaian di pasar.
"Arumni, ibu sudah bawa kunci sendiri, nanti kalau mau pergi kuncinya di bawa saja, ya?" kata bu Susi sebelum berangkat ke pasar.
Arumni mengulas senyum, "iya, bu!"
Tak ingin membuang waktu, Arumni segera menyelesaikan tugas rumahnya, setelah bu Susi dan pak Arif berangkat.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi