Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Debut
Di ruang briefing yang berbau khas kopi dan kertas laporan, suasana terasa tegang tapi juga penuh rasa penasaran. Tiga orang duduk mengelilingi meja bundar besar, masing-masing dengan ekspresi berbeda—ada yang santai, ada yang waspada. Papan digital di dinding menampilkan lambang "Tim Khusus Narkoba Dan Kejahatan Terorganisir".
Pintu terbuka. Langkah sepatu hitam berderap mantap. Andra masuk dengan sikap tegas dan sorot mata dingin yang khas seorang pemimpin tim detektif. Di belakangnya, seorang perempuan berambut sebahu dengan postur tegap mengikuti dengan langkah tenang namun berwibawa.
"Baik, semuanya. Hari ini, kita kedatangan anggota baru," ucap Andra membuka suara, menatap tiga orang yang sudah duduk di hadapannya. "Namanya Valencia."
Semua mata langsung tertuju padanya. Valencia berdiri tegap, mengenakan seragam polisi dengan emblem baru yang masih mengkilat. Meski senyumnya sopan, ada sorot mata tajam dan waspada di balik matanya—sorot seorang yang telah melewati banyak hal.
Andra menatapnya sekilas sebelum melanjutkan, "Dia bukan polisi biasa. Nilai ujian akademiknya tertinggi di angkatan, keahlian menembaknya juga melampaui standar pasukan khusus."
Bayu, pria berkacamata dengan gaya bicara santai, mengangkat alis. "Wah, berarti kita kedatangan jenius baru, nih?" candanya.
Alaric, yang duduk di sebelahnya dengan tangan terlipat, hanya melirik Valencia dari ujung mata. "Kita lihat saja nanti. Nilai bagus belum tentu bisa bertahan di lapangan," gumanya datar.
Cakra, yang tampak kalem di antara mereka, hanya tersenyum tipis. "Selamat datang di tim, Valencia."
Valencia menatap mereka satu per satu, bibirnya menekuk senyum kecil tapi tegas. “Terima kasih. Saya akan berusaha menyesuaikan diri dan… tidak akan jadi beban tim.”
Andra mengangguk puas. “Bagus. Dan untuk informasi tambahan—Valencia akan langsung bergabung dalam operasi berikutnya. Tidak ada masa adaptasi.”
Bayu spontan memprotes, “Serius, Pak? Baru datang langsung ikut lapangan? Ini misi pengintaian besar, loh.”
“Perintah dari atasan langsung,” jawab Andra singkat, suaranya tegas tanpa nada kompromi. “Dan jujur saja, aku ingin tahu sejauh mana kemampuan gadis ini.”
Valencia hanya mengangguk tanpa gentar. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar tugas. Setiap langkah yang ia ambil di dunia kepolisian adalah bagian dari jalannya untuk mengungkap kebenaran—kebenaran tentang ayahnya, dan mungkin… tentang pengkhianatan yang lebih besar di tubuh kepolisian itu sendiri.
Andra menepuk bahu Valencia ringan. “Mulai besok pagi, kau ikut aku ke lokasi briefing utama. Alaric, Bayu, Cakra—kalian bantu dia adaptasi malam ini. Jelaskan semua prosedur tim, jangan ada yang disembunyikan.”
“Siap, Pak,” jawab Alaric cepat.
Sementara Bayu hanya mendesah kecil. “Wah, kerja ekstra nih,” gumamnya, namun tetap bangkit dari kursi.
Alaric menatap Valencia sekali lagi, matanya tajam, seolah sedang mengukur sesuatu. “Kau yakin bisa mengikuti ritme kami?”
Valencia membalas tatapan itu tanpa gentar. “Saya tidak datang untuk mengikuti ritme siapa pun, saya datang untuk bekerja.”
Ruangan seketika sunyi. Andra tersenyum kecil melihat ketegasan itu—ia tahu, gadis ini bukan sembarang anggota baru.
Setelah rapat singkat selesai, Andra memanggil Valencia keluar ruangan. “Kau tenang saja, anak-anak itu keras kepala tapi bisa diandalkan.”
Valencia menatap lurus ke depan. “Saya tidak keberatan dengan keras kepala, Pak. Saya hanya ingin satu hal—keadilan ditegakkan, tanpa kompromi.”
Angin sore yang berhembus dari jendela terbuka membuat helaian rambutnya sedikit bergerak. Di balik ketenangan wajahnya, Valencia menegaskan satu hal dalam hati—
ia mungkin sudah meninggalkan nama “Elina”,
tapi luka masa lalunya… belum selesai.