Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 BunkerYang Terkepung
Udara di Suite 101 terasa seperti kawat berduri, tegang dan mematikan. Sirene yang menusuk telinga bersaing dengan suara tembakan yang kini tidak lagi samar—mereka terdengar seperti guntur yang memecah lantai tepat di bawah. Megan meringkuk, selimut sutra mewah terasa dingin, bukan pelindung. Janji Vega Xylos untuk kembali kini terasa ironis, ia ditinggalkan di tengah sarang lebah yang baru saja disengat.
Megan melompat dari ranjang, dipaksa bangkit oleh adrenalin. Kelelahan yang mematikan dan sisa obat masih menariknya ke bawah, tetapi naluri untuk melindungi kehidupan kecil di perutnya lebih kuat. Ia merangkak ke pintu, telinganya ditempelkan ke kayu mahoni yang tebal.
“Sialan!” teriak suara Zeno dari luar. Suaranya terdengar tercekat. “Lima orang maju dari koridor timur! Mereka menggunakan granat asap! Bertahan di posisi!”
Bau asap tipis mulai menyelinap di bawah pintu. Megan terbatuk. Ini bukan lagi sekadar baku tembak; ini adalah pertempuran untuk membersihkan lantai VIP.
Megan berbisik panik. “Zeno! Apa yang terjadi di luar?”
Suara Zeno terdengar sangat dekat, jelas dia berdiri tepat di depan pintu, menjadikannya perisai hidup bagi Megan. “Tetap di dalam, Nyonya! Ini bukan urusanmu! Tuan Xylos memerintahkan saya untuk tidak membiarkan satu pun lalat masuk!”
“Aku harus keluar! Aku tidak bisa bernapas! Asapnya—”
“Tutup mulutmu dan menjauhlah dari pintu!” Zeno membentak, nada suaranya berubah dari profesional menjadi brutal. “Mereka tahu ada sesuatu di sini yang dicari Xylos! Jika kau melarikan diri sekarang, mereka akan menjadikanmu trofi mereka!”
Megan tersentak mundur, merangkak ke belakang ranjang. Ia melihat sekeliling suite mewah itu. Jendela-jendela besar dihiasi tirai tebal, memberikan ilusi keamanan, tetapi Megan tahu itu hanya kaca. Vega meninggalkan suite itu seperti bunker, tetapi bunker yang terlalu mencolok.
Tiba-tiba, suara tembakan otomatis merobek keheningan di luar. Kali ini, suaranya jauh lebih keras. Jeritan pendek yang cepat, disusul keheningan yang menyeramkan.
“Zeno? Apa kau baik-baik saja?” Megan memanggil, suaranya bergetar.
“Diam! Saya di sini!” jawab Zeno, tetapi napasnya terdengar berat. “Mereka mundur. Tapi ada yang aneh. Mereka tidak menembak untuk membunuh. Mereka menembak untuk membuka jalan.”
Jeda singkat yang mencekam. Hanya desis api dari granat asap yang kini membuat pandangan Megan mulai kabur. Ia tahu jika ia tidak segera keluar, ia akan pingsan lagi, kali ini bukan karena obat bius, tetapi karena keracunan asap.
“Aku harus pergi, Zeno. Aku tidak mau mati karena asap,” Megan mencoba bernegosiasi.
“Pergi ke mana? Kau pikir di luar sana aman? Mereka sedang memburu Xylos, dan kau adalah umpan terbaik!” Zeno berteriak, kembali menempelkan punggungnya ke pintu. “Tetap di dalam! Aku sedang menunggu bala bantuan Tuan Xylos.”
“Bala bantuan tidak akan tiba tepat waktu!” Megan membalas, bangkit dan berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi. Udara di sana sedikit lebih bersih.
“Dengar, Nyonya,” suara Zeno merendah, terdengar seperti sedang melaporkan sesuatu kepada komunikator di balik kerahnya. “Tuan Xylos sedang membersihkan jalur utama di bawah. Dia akan segera kembali. Bertahanlah sepuluh menit lagi.”
Sepuluh menit. Dalam keadaan kacau ini, sepuluh menit terasa seperti keabadian. Megan menatap dirinya di cermin besar. Matanya merah, wajahnya pucat, pakaiannya compang-camping dan ternoda. Trauma yang baru saja ia alami bersaing dengan ancaman kematian yang mendesak.
Tiba-tiba, suara yang jauh lebih keras, seperti ledakan teredam, mengguncang suite. Bukan tembakan, tapi ledakan kecil. Lampu-lampu kristal di langit-langit bergetar hebat. Megan jatuh berlutut.
“Brengsek! Mereka meledakkan jalur ventilasi!” teriak Zeno, kali ini terdengar lebih panik. “Mereka memasuki ventilasi! Mereka tahu Xylos menyembunyikan seseorang di sini!”
Megan tersentak. Rommy Ivanov tahu. Musuh Vega tahu bahwa Megan ada di sini. Itu berarti Wina dan Jose tidak hanya menjualnya kepada pengelola club; mereka menjualnya sebagai hadiah, sebagai jebakan.
“Ini jebakan, Zeno!” Megan berteriak, suaranya kembali menemukan kekuatan. “Ini bukan hanya serangan! Mereka tahu aku di sini!”
Zeno tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi dengan serangkaian tembakan cepat dan brutal.
Dor! Dor! Dor!
“Diam di dalam!” perintah Zeno, suaranya kini bercampur dengan erangan kesakitan. “Mereka datang dari atap! Kita terkepung!”
Megan mendengar suara logam bergesekan di balik pintu ventilasi kamar mandi. Ia harus bergerak. Cepat. Ia meraih sebatang besi kecil dari gantungan handuk. Senjata yang menyedihkan, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
“Zeno, aku tidak bisa tinggal di sini!”
“Kau harus!” Zeno berteriak. Kali ini, suaranya sangat serak. “Aku tertembak! Saya tidak bisa menahan pintu lebih lama lagi!”
Megan membeku. Zeno, pria yang sangat loyal itu, terluka. Pintu Suite 101, yang merupakan satu-satunya pertahanannya, akan segera terbuka.
“Di mana jalan keluarnya? Apakah ada jalur lain?” tanya Megan, mendekat kembali ke pintu utama, meskipun tembakan masih menderu di luarnya.
“Hanya satu! Jendela darurat di ruang ganti, tetapi kau harus memanjat! Xylos membuat ini anti-peluru!” Zeno terengah-engah. “Sial! Mereka mendobrak!”
Suara benturan keras menghantam pintu. Tidak sekali, tapi berulang kali. Kayu mahoni yang kokoh mulai retak. Megan menatap pintu itu dengan ngeri. Ia harus memilih: tertangkap oleh musuh Vega, atau mengambil risiko melarikan diri melalui jendela darurat.
“Aku pergi ke ruang ganti!” teriak Megan.
“Jangan! Jika kau jatuh, kau akan mati!” Zeno memohon, suaranya semakin lemah.
“Aku sudah mati sejak Wina menjualku!” balas Megan. Kata-kata itu memberinya kekuatan yang aneh. Ia berbalik dan berlari menuju kamar ganti yang luas.
Saat Megan mencapai ruang ganti, suara pintu utama suite didobrak dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Ia mendengar teriakan dan suara sepatu bot memasuki ruangan utama.
“Dia tidak ada di sini!” teriak suara kasar dalam bahasa yang tidak ia kenal, kemungkinan besar anak buah Rommy Ivanov.
“Cari dia! Dia tidak bisa jauh! Xylos pasti meninggalkannya di suatu tempat!” balas suara yang lain.
Megan menemukan jendela kecil di sudut ruang ganti, persis seperti yang dikatakan Zeno. Jendela itu tertutup rapat, terbuat dari kaca tebal anti-peluru. Di sebelahnya, ada panel darurat kecil dengan tombol merah.
Ia menekan tombol itu. Jendela itu berderit, lalu terbuka sedikit. Bau malam Jakarta yang dingin dan lembab langsung menyeruak masuk, bercampur dengan asap dan bau mesiu.
“Saya menemukannya! Dia di ruang ganti!” teriak salah satu penyusup.
Megan tidak punya waktu. Ia mendorong bingkai jendela yang berat itu dengan sekuat tenaga. Dalam keputusasaan, ia berhasil membuka celah yang cukup untuknya merangkak keluar.
“Jangan biarkan dia lari!”
Tembakan terdengar lagi. Peluru menghantam dinding di dekatnya, memecah bingkai kayu, tetapi tidak menembus kaca anti-peluru. Megan sudah berada di luar, merangkak di ambang jendela yang sempit, dengan ketinggian puluhan lantai di bawahnya.
Ia melihat ke bawah. Mustahil untuk melompat. Ia harus memanjat atau mencari pijakan.
“Tuan Xylos!” Megan mendengar teriakan putus asa Zeno dari dalam suite. “Dia melarikan diri! Dia mencoba… Sial! Ambil dia! Dia adalah kunci kita!”
Megan menahan napas. Pijakan di luar jendela terlalu sempit. Ia melirik ke kanan, melihat balkon besar yang terpisah beberapa meter dari posisinya.
“Kau tidak akan lari, Gadis Malam!” Suara kasar itu kini sangat dekat, kepalanya menyembul keluar dari jendela.
Megan, didorong oleh insting bertahan hidup, mengayunkan dirinya ke sisi kiri, menjauhi tangan yang mencoba meraih pergelangan kakinya. Ia menggunakan seluruh sisa kekuatannya, menekan dirinya ke dinding club yang dingin, bergerak seperti cicak yang ketakutan.
Tiba-tiba, kepalanya membentur sesuatu yang keras. Sebuah pipa ventilasi darurat. Pipa itu menuju ke bawah, menuju ke lantai atap yang lebih rendah, tempat helipad berada.
“Aku akan menembaknya!”
“Jangan! Kita membutuhkannya hidup-hidup! Rommy hanya menginginkan dia!”
Megan tidak menunggu lagi. Ia memegang erat pipa itu, dan mulai merosot ke bawah, mengabaikan rasa sakit yang merobek telapak tangannya. Ia harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Vega atau musuh-musuhnya menemukannya.
Ia mendarat dengan kasar di atap yang lebih rendah. Rasa pusing yang hebat kembali menyerang. Ia terhuyung-huyung, tetapi ia berhasil.
Ia melihat sekeliling. Club itu adalah labirin yang menakutkan. Di kejauhan, ia bisa melihat cahaya fajar mulai menyentuh cakrawala Jakarta. Malam sudah berakhir, tetapi neraka baru saja dimulai.
Ia berlari. Ia tidak tahu ke mana, tetapi ia harus menjauh dari suite itu. Ia melewati tumpukan sampah, melewati peralatan AC yang menderu, hingga ia mencapai tangga darurat yang terbuka.
Ia menuruni tangga itu dengan panik, melewati lantai demi lantai. Setiap langkah adalah perjuangan melawan rasa pusing, kelelahan, dan trauma yang baru saja ia alami.
Saat mencapai lantai dasar, ia menemukan pintu belakang yang terbuka sebagian, yang sepertinya digunakan oleh staf layanan. Ia menarik pintu itu dan berhasil menyelinap keluar ke gang sempit yang gelap.
Ia berdiri di sana, sendirian, di tengah sampah dan kegelapan, pakaiannya koyak, rambutnya acak-acakan. Ia telah melarikan diri, tetapi ia tidak membawa apa-apa. Tidak ada ponsel, tidak ada uang, hanya ingatan kabur tentang ciuman brutal dan janji dingin seorang bos mafia.
Ia mulai berjalan, terhuyung-huyung, menjauhi suara sirene yang kini mulai didominasi oleh sirene polisi—polisi yang terlambat datang, atau mungkin sengaja terlambat.
Beberapa blok dari club, kakinya menyerah. Ia jatuh di bangku taman kecil di pinggir jalan yang sepi. Ia menutupi wajahnya dengan tangan. Ia kotor, hancur, dan tidak tahu harus ke mana.
“Aku harus pulang,” bisiknya, meskipun ia tahu rumahnya sudah tidak ada lagi.
Tiba-tiba, suara mobil berhenti di dekatnya. Megan mengangkat kepalanya, ketakutan bahwa itu adalah anak buah Vega, atau lebih buruk, anak buah Rommy.
Tetapi itu adalah mobil sedan hitam yang elegan, dan yang keluar adalah seorang wanita, berbalut pakaian kantor yang rapi, dengan senyum yang kejam.
Wina.
“Astaga, Megan. Kau terlihat seperti habis dihantam badai,” kata Wina, suaranya manis namun penuh racun. Ia berjalan mendekat, memegang ponselnya.
“Wina…” Megan mendesis, penuh kebencian.
“Kenapa kau lari? Tadi malam kau bersenang-senang, kan? Aku harus memastikan semua orang tahu betapa ‘nakal’nya dirimu,” ujar Wina, mengangkat ponselnya. Layar itu menunjukkan foto Megan yang kabur, tetapi jelas berada di area VIP Club, dengan caption yang memfitnah.
“Kau menjebakku,” kata Megan, air matanya kering.
“Tentu saja. Dan sekarang, waktunya babak kedua. Jose sedang menunggumu di rumah. Dia sangat marah. Dan dia ingin cerai,” Wina tersenyum lebar. “Tapi sebelum itu, kita harus memastikan semua bukti menunjukkan bahwa kau adalah istri yang curang.”
Wina melangkah lebih dekat, menatap mata Megan dengan kepuasan yang brutal. “Ayo, sayang. Jose sudah menyiapkan ‘pesta perpisahan’ untukmu. Ini akan menjadi malam terpanjang dalam hidupmu, Megan. Kau akan kehilangan segalanya, dan aku akan mendapatkan segalanya.”
Megan menatap Wina, kebencian membara di dadanya. Ia tahu ia tidak bisa melawan. Ia terlalu lemah, terlalu lelah. Ia telah melarikan diri dari bos mafia, hanya untuk jatuh ke tangan pengkhianat pertamanya.
“Aku tidak akan ikut denganmu,” Megan mencoba menolak, meskipun suaranya tidak memiliki kekuatan.
Wina tertawa dingin. “Oh, kau akan ikut. Atau kau ingin aku panggil polisi dan bilang kau adalah wanita nakal yang mencuri dari club VIP dan mencoba melarikan diri dari hutangmu? Pilihan ada di tanganmu.”
Megan melihat ke belakang, ke arah club yang kini diselimuti asap dan kehadiran polisi yang mencurigakan. Ia tahu, kembali ke Vega adalah neraka, tetapi kembali ke Jose dan Wina adalah kehancuran. Ia memilih kehancuran yang familier, demi melindungi rahasia yang kini ia bawa.
Ia berdiri, tubuhnya gemetar, dan berjalan menuju mobil Wina, menuju rumah yang sudah menjadi medan perang yang dingin.
Di tempat lain, di dalam Suite 101 yang kini berantakan dan berlumuran darah, Zeno terbaring bersandar di dinding, napasnya terputus-putus, pistolnya masih tergenggam erat. Ia melihat jendela yang terbuka. Pria-pria Rommy, telah berhasil dilumpuhkan, tetapi ‘aset’ Tuan Xylos telah hilang.
Vega Xylos memasuki ruangan, jas hujan hitamnya kini ternoda jelaga, matanya tajam dan berbahaya. Ia melihat Zeno, dan kemudian jendela terbuka.
“Zeno. Di mana dia?” Suara Vega adalah guntur yang teredam.
“Maaf, Tuan Xylos. Dia… dia melarikan diri. Dia melompat keluar dari jendela darurat. Rommy mencarinya. Ini adalah jebakan untuk mendapatkan dia,” Zeno melaporkan dengan susah payah.
Vega berjalan cepat ke jendela, menatap ke bawah ke kota yang perlahan-lahan menyambut fajar. Ia merasakan frustrasi yang membakar. Ia telah menghabiskan begitu banyak energi untuk mengklaim wanita itu, hanya untuk kehilangan dia dalam hitungan menit.
Ia berbalik, menatap Zeno.
“Apa kau melihat dia pergi ke mana?”
“Tidak, Tuan. Saya… saya tertembak di kaki. Tapi saya mendengar salah satu penyusup menyebutkan sebuah nama. Wina. Dia bilang Wina yang menjebaknya.”
Mata Vega menyipit. Wina. Nama yang sama yang ia dengar dari panggilan telepon yang ia potong semalam. Pengkhianat yang menjual Megan.
“Dia akan kembali ke Jose. Mereka akan membersihkan jejaknya,” Vega menyimpulkan dengan cepat. Ia mengeluarkan ponsel satelitnya.
“Zeno, siapkan tim pembersihan. Aku ingin club ini bersih sebelum matahari terbit. Dan hubungi sumber daya kita di Jakarta. Cari wanita bernama Wina dan suaminya, Jose. Mereka akan membayar mahal untuk malam ini.”
Vega menatap ke luar jendela sekali lagi, tempat Megan menghilang. Senyum dingin melengkung di bibirnya. “Kau bisa lari, Megan. Tapi kau tidak akan bisa bersembunyi. Aku akan datang. Aku akan merebutmu kembali.”
Di bangku taman, Megan berdiri di samping Wina, menatap mobil hitam yang mengkilap itu. Kehancuran menantinya di rumah, di mana Jose dan Wina telah menunggu dengan sabar untuk menyelesaikan pekerjaan mereka: menuduh Megan berselingkuh semalaman di club. Malam yang telah mengubahnya, malam yang kini akan menjadi senjata terkuat musuh-musuhnya.