‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10 : Bekal spesial
Setelah menunaikan ibadah shalat subuh, Dahayu berkutat didapur sederhana. Membuat bekal dan sarapan untuk sang ibu.
Bukan menu mewah – cuma nasi goreng ala-ala desa, resep turun temurun dari keluarga sang ibu.
Jemari Dahayu tidak halus seperti para gadis yang suka merawat diri, bahkan telapak tangannya kapalan. Kulit lengan memiliki beberapa bekas gores luka terkena ilalang tajam kala dia bekerja membabat ataupun meracun rumput liar yang tumbuh subur nyaris menutup pohon sawit masih berusia dua hingga tiga tahun.
Ya, itulah pekerjaan yang dia geluti semenjak berumur delapan belas tahun hingga kini. Dirinya belum tercatat sebagai karyawan tetap perkebunan, masih pekerja lepas.
“Mbak War, jangan main air terus. Nanti masuk angin! Tolong cepat mandinya, bantu adik menggoreng nasi!” serunya sembari mengiris bawang merah dan putih.
Tidak lagi terdengar guyuran air dari gayung, pertanda sang ibu menurut dan sedang terburu-buru memakai baju.
Pintu kamar mandi kayu dibuka dari dalam, sosok hampir paruh baya keluar dengan pakaian lembab akibat tidak benar mengeringkan badan. Senyum bu Warni penuh harap, seperti seorang anak meminta dipuji kala berhasil memakai baju sendiri.
Dayu meletakkan pisau, mengelap tangan pada celana tidur berwarna sudah kusam. Dia raih jemari ibunya yang berkerut dan dingin dikarenakan terlalu lama bermain air. “Cantik sekali Mbak War, mana wangi lagi.”
Cup.
Cup.
Kedua pipi berkulit dingin dikecup sayang, dalam hati Dahayu melantunkan pujian kepada Tuhan, berterima kasih masih diberi umur panjang sehingga bisa merawat ibunya.
“Sini adik bantu ikat rambutnya, ya? Mau dikepang atau di kuncir satu?” tanyanya lembut. Mendudukkan ibunya dibangku plastik.
“Dua.”
Dayu paham, artinya sang ibu minta rambutnya dikepang dua. Dia pun mengambil sisir, dan mulai melaksanakan keinginan bu Warni.
“Selesai! Sekarang kecantikan Mbak War bertambah sepuluh kali lipat.” Tangannya ditepuk-tepuk pelan, langsung saja wangi bedak bayi menguar.
Wanita bermental sakit itu berdiri, melangkah riang menuju ruang tamu yang mana dindingnya terdapat cermin.
“Cantik Adik!” Ujung rambut yang dikepang, ia goyang-goyang. Tersenyum puas melihat pipinya sudah berbedak bayi.
Dahayu mengangguk antusias, sudut matanya berembun, tangannya turun keatas perut. ‘Sebelum kau hadir di sini, terlebih dahulu aku meminta maaf. Maaf, karena harus mengorbankan mu demi kesembuhan ibuku, nenekmu.’
Setelahnya bu Warni membantu menabur garam di atas nasi goreng dalam wajan. Menu kesukaannya, nasi goreng polosan, tanpa kecap, micin, maupun topping telur goreng.
Dayu mengambil dua piring seng, memenuhinya dengan nasi goreng. Kemudian sisanya ditaruh dalam kotak bekal, atasnya diberi telur mata sapi. Menu sarapan khusus untuk seseorang yang sudah empat tahun diam-diam dia sukai – Wisnu Syahputra.
Ibu dan anak itu makan dengan khidmat, duduk berdua beralaskan tikar plastik. Setelahnya Dahayu bersiap untuk pergi bekerja. Mengenakan baju, celana serba longgar dan panjang, memakai sepatu boots agar telapak kakinya tidak tertancap duri maupun kayu runcing.
.
.
“Buk, Ayu berangkat kerja dulu ya. Ibuk baik-baik main dengan Mak Rita, jangan mandi disungai sebelum Dayu pulang, bisa?” Ia tatap mata mulai berwarna kelabu, kulit wajah mengendur, kelopak mata turun.
Bu War mengangguk, kemudian menadahkan kedua telapak tangan. “Duit.”
“Alamak, belum juga para anakmu ini kerja, Buk! Sudah dipalak!” Nelli menepuk tangan bu War, dan langsung saja wanita tua itu tertawa riang saat melihat selembar uang kertas bergambar Orang hutan bewarna hijau.
Dahayu pun melakukan hal sama, memberi uang jajan – rutinitas wajib bila ingin meninggalkan sang ibu, agar tidak tantrum.
“Mak, aku titip Ibuk ya, terima kasih banyak selalu membantu diri ini, sehingga bisa mengais rezeki demi menyambung hidup.” Dia cium takzim punggung tangan wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya.
“Apa pulak kau ini, Yu! Macam sama orang lain saja. Sana pergi bekerja kalian! Biar cepat Mamak main kartu dengan si Warni.” Di usapnya lembut kepala Dahayu.
Bersamaan dengan itu, mobil pickup berhenti ditepi jalan. Bak belakang sudah banyak diduduki para pekerja baik wanita maupun laki-laki.
“Dadah Adik!” Bu Warni melambaikan tangannya. Yang disambut antusias Dahayu dan juga Nelli.
Cibiran lirih terdengar menyakitkan hati. Makanan sehari-hari bagi Dahayu, dia malas meladeni. Sudah lelah menegur, tetap saja hal tersebut terulang lagi.
“Kalen itu macam tak lahir dari seorang wanita! Tega betul menghina seseorang yang jelas-jelas tak bersalah, hanya dikarenakan mentalnya terganggu langsung diejek. Memang Setan ku tengok Kelen ini! Semoga saja Tuhan mulai bosan – biar cepat-cepat memerintahkan malaikat pencabut nyawa untuk menyeret dan membuang roh kalen ke dalam kawah api neraka!” Nelli duduk ditepi bak, menatap sinis dua orang wanita muda.
“Apa kau tengok-tengok?! Tak senang, tak terima? Mau ngajak bergelut? Ayo sini! Biar ku tunjang tetek bantetmu itu!” Dia gulung lengan kaos panjangnya.
Sebagian orang tertawa melihat tingkah Nelli. Mereka sudah terbiasa dengan kata-kata tajam putri semata wayangnya Mak Rita.
Nelli memiliki sifat tegas, mulut bak ujung belati, tak segan-segan menegur bahkan adu otot bila ada yang mengganggu para orang kesayangan – Dahayu dan ibunya termasuk dalam daftar wajib dibela.
Mobil pickup pun melaju, kedua wanita tadi terdiam, cuma berani sesekali melirik sinis. Mereka tak bernyali melawan sang biduan yang terkenal dengan goyangan ngebor perut bumi.
.
.
Dua puluh menit kemudian – kendaraan yang membawa pekerja sampai di lahan sawit muda, baru mulai berbuah pasir.
Satu persatu para pekerja turun, lalu mengangkut tabung alat semprot rumput.
Dahayu turun paling belakang, netranya menghangat, bibir tersenyum tipis kala melihat seorang pria berpakaian kemeja putih polos sesiku dimasukkan kedalam celana bahan, kakinya terbalut sepatu boots. Dia duduk di atas jok motor GL Max berwarna merah hitam.
Wisnu Syahputra, melangkah mendekati para pekerja. “Semuanya ada berapa orang?”
“Tujuh belas, Pak. Delapan wanita, dan sembilan pria,” ucap kepala rombongan.
“Baiklah. Silahkan bekerja – selalu berhati-hati, utamakan keselamatan!” ujarnya dengan nada bersahabat, lalu melirik pada wanita bertopi hitam, mengenakan tas pinggang.
Saat satu persatu melompati parit dan mulai memasuki area semak belukar.
"Dahayu,” panggilnya lembut.
Yang dipanggil hatinya langsung berdesir hangat, tidak berani menatap. Ia mengulurkan tas kain kecil yang berisi bekal nasi goreng telur mata sapi. “Ini, Mas.”
Wisnu meraihnya, jemarinya sengaja tak langsung menarik tas pemberian, ia tatap lembut si wanita yang menunduk. “Terima kasih, ya. Kau sudah cocok untuk dijadikan seorang istri. Begitu perhatian tanpa diminta, mengerti apa yang disukai seorang pria.”
Dayu menarik tangannya, debar jantungnya menggila. “Saya kerja dulu ya, Mas.”
“Yu, tunggu sebentar! Em … besok bisa tak kau masakan gulai ikan Gabus? Mas lagi kepengen makan itu,” pintanya dengan nada bujuk rayu.
Dahayu cuma mengangguk, lalu dia melompati parit.
"Kau tahu Yu? Aslinya aku sudah muak bersandiwara bermanis kata dengan wanita yang sama sekali tak menarik seperti mu. Baju kedodoran, wajah selalu polosan tanpa bedak, bau keringat pun sering masam. Tak wangi dan rapi seperti kekasih hatiku – Nafiya." gumamnya seraya menaiki motornya.
***
Di lain tepat, masih hari yang sama.
“Namanya Wisnu Syahputra, Tuan. Nyonya muda sepertinya … jatuh cinta kepadanya.”
“Apa pangkatnya?”
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍