Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8.
"Mas mau pergi kemana?."
"Mau ke ruang kerja." jawab Mahardika, sebelum sesaat kemudian kembali melanjutkan pergerakannya.
Za hanya mengangguk saja.
Mahardika memilih menenangkan pikiran di ruang kerjanya.
Setelah beberapa saat duduk termenung di kursi kerjanya, Mahardika dikejutkan dengan kedatangan ayahnya. "Papa."
Papa Okta mendudukkan tubuhnya di sofa ruang kerja Mahardika, sementara Mahardika duduk di kursi kerjanya.
"Terkadang perlu kesabaran ekstra untuk mendapatkan sesuatu yang berharga."
Deg
Mahardika terdiam mendengar perkataan ayahnya.Ya, selama ini Mahardika memang tak pernah bisa menyembunyikan apapun dari ayahnya. Walau tak bercerita sekalipun, ayahnya itu pasti tahu semua tentang dirinya. Mungkin itu yang dinamakan naluri seorang ayah.
"Kamu harus banyak-banyak bersabar, terlebih Za belum pernah menjalin hubungan dengan pria manapun sebelum kalian menikah!." Ternyata diam-diam papa Okta memperhatikan sikap putranya setelah menikah, hingga papa Okta dapat membaca situasi yang ada.
"Sekeras apapun sikap wanita pasti akan luluh dengan ketulusan serta kelembutan, percaya pada papa!." imbuh papa Okta.
"Iya, pah."
"Pah, tolong rahasiakan ini dari mamah, Dika nggak mau mamah malah kepikiran jika tahu hubungan Dika dan Za tidak sebaik kelihatannya!." pinta Mahardika.
Papa Okta mengiyakan permintaan putranya. Lagipula mana mungkin papa Okta menyampaikan sesuatu yang akan membuat istri tercintanya jadi kepikiran.
Setelah merasa lebih tenang Mahardika pun kembali ke kamar. Sepertinya kalimat-kalimat penyemangat dari sang ayah sedikit banyaknya mampu menambah porsi kesabaran di hati Mahardika.
Setibanya di kamar Mahardika mendapati Za sedang menonton TV.
"Mas nggak mandi?." Tanya Za melihat Mahardika masih mengenakan pakaian kerjanya. Bukan apa-apa, Za bertanya demikian karena menurutnya tidak baik mandi terlalu malam, nanti malah masuk angin.
"Mandi dong, masa' iya tidur seranjang sama istri nggak mandi. Kalau tiba-tiba istri minta nafkah kan bisa malu-maluin kalau nggak mandi." ujar Mahardika setengah bergurau sambil mengulas senyum diwajah tampannya.
"Idih... genit banget sih, mas."
"Genit sama istri sendiri kan nggak papa." balas Mahardika seraya mengayunkan langkah mengambil handuk kemudian lanjut menuju kamar mandi.
Za kembali mengarahkan pandangannya pada layar TV, menyaksikan saluran tv yang menyuguhkan ceramah agama.
"Apapun alasannya, seorang istri tetap berkewajiban melayani suaminya, termasuk memenuhi kebutuhan biologis suaminya. malaikat akan melaknat seorang istri yang menolak ajakan suaminya." jawab ustadz yang menjadi narasumber di acara tersebut ketika pembawa acara menanyakan tentang kewajiban seorang istri terhadap suaminya.
Deg.
Za langsung bergidik ngeri mendengar jawaban sang ustadz. Namun hingga detik ini Za merasa masih aman karena ia belum pernah menolak, sebab Mahardika belum pernah meminta haknya sebagai seorang suami.
Za langsung mengganti saluran tv ketika mendengar suara derit pintu kamar mandi. Za bangkit dari duduknya, hendak mengambilkan pakaian ganti untuk Mahardika.Ya, bagaimanapun nasib rumah tangganya nanti, sekalipun ia berencana berpisah tapi saat ini dirinya masih sah istri Mahardika dan berkewajiban melayani suaminya, begitu pikir Zaliva. Sepertinya menonton acara TV malam ini sedikit banyak merubah cara berpikir Za.
"Ini piyamanya, mas." Za menyerahkan satu set piyama kepada Mahardika.
Dika tidak langsung menerimanya, cukup lama pria itu menatap intens wajah istrinya. Mahardika merasa sikap istrinya sedikit aneh malam ini.
"Mas..." seruan Za menyadarkan Mahardika dari lamunannya. pria itu lantas mengambil alih piyama dari tangan Za kemudian berlalu menuju ruang ganti.
Tak lama kemudian Mahardika kembali dengan mengenakan piyama yang warnanya senada dengan warna piyama yang dikenakan Za. Ya, semua itu disiapkan oleh mama Riri. Semenjak Mahardika menikah dengan Za, mama Riri membelikan beberapa piyama couple untuk keduanya.
Dret....dret....dret....
Ponsel Mahardika berdering. pria itu lantas melangkah ke arah nakas untuk mengambil ponselnya. Setelah melihat nama pemanggil adalah asisten pribadinya, Mahardika pun beranjak menuju balkon untuk menerima panggilan telepon.
Tanpa di sadari Oleh Mahardika rupanya Za merasa penasaran dengan siapa ia bicara saat ini.
"Sampaikan permintaan maaf saya pada tuan Bara karena sore tadi tidak sempat menghadiri meeting di perusahaannya." Karena terlalu cemas pada istrinya, Mahardika sampai lupa jika sore tadi harusnya ia menghadiri meeting di perusahaan milik tuan Bara, salah satu rekan bisnisnya.
"Baik, tuan."
"Satu lagi, kerahkan dua orang bodyguard untuk melakukan penjagaan pada istri saya selama dia berkegiatan di luar rumah, dan jangan sampai istri saya mengetahuinya! Jika merasa ada yang janggal, segera Hubungi saya! Saya tidak ingin sampai kejadian kemarin terulang lagi, jangan sampai istri saya kabur lagi!." titah Mahardika.
"Baik tuan, akan saya lakukan sesuai dengan perintah anda."
Setelahnya, Mahardika pun menyudahi panggilan telepon dan berlalu meninggalkan balkon.
"Apapun alasannya, Dosa hukumnya bagi seorang pria yang sudah menikah, diam-diam menjalin hubungan dengan wanita lain." kalimat berbau sindiran di lontarkan Za yang sedang merapikan posisi bantal di atas tempat tidur saat menyadari Dika telah kembali dari balkon.
"Apapun alasannya, Dosa hukumnya bagi seorang istri yang mengabaikan kewajibannya terhadap suaminya."
Nyes....
Sepertinya bola panas berbalik pada Za, kalimat balasan dari Dika mampu membuat Za terdiam.
"Mas hanya bercanda. Lagipula mas tidak akan memaksa, jika kamu belum siap." Mahardika mengulas senyum tipisnya sambil mengacak gemas surai panjang milik istrinya. "Tadi Asisten pribadi mas yang telepon, menyampaikan beberapa hal penting yang disampaikan pada meeting sore tadi, mas nggak sempat hadir soalnya." Imbuh Mahardika.
"Maaf." hanya itu yang terucap dari mulut Za, Merasa bersalah karena sudah melontarkan kata-kata berbau sindiran buruk terhadap Mahardika.
"Nggak perlu minta maaf!." balas Mahardika dengan suara lembut.
Mengingat waktu makan malam telah tiba, Mahardika dan Za pun segera keluar kamar untuk makan malam bersama papa Okta dan mama Riri.
Setibanya di meja makan, baik papa Okta maupun mama Riri tak terlihat Batang hidungnya.
"Papah dan mamah kemana, bi?." tanya Dika setelah menempati kursi yang berdampingan dengan Za.
"Tuan dan nyonya baru saja berangkat, katanya mau ke acara nikahan anaknya sahabat nyonya." beritahu bibi.
"Tumben mamah dan papah nggak bilang-bilang ke aku kalau mau pergi." Gumam Dika.
"Tadi maunya sih gitu den, tapi nggak jadi. takutnya ganggu katanya."
"Ganggu?." cicit Za yang tidak sepenuhnya paham, ganggu seperti apa yang dimaksud oleh bibi dan ibu mertua.
"Itu non, kata nyonya takut ganggu, kali aja anak sama menantunya lagi bikinin cucu." balas bibi tersenyum sungkan.
"Sepertinya Nyonya sudah tidak sabar ingin menimang cucu, Apalagi den Dika kan anak tunggal.
Deg.
Apa ini alasan Dika sehingga mengajukan syarat demikian? Karena ibunya sudah tidak sabar ingin memiliki seorang cucu? Za hanya bisa tersenyum miris dalam hati, ternyata Mahardika hanya ingin menjadikan dirinya sebagai mesin pencetak anak. Tapi jika benar demikian, bukankah Mahardika memiliki banyak kekasih, kenapa harus repot-repot meminta darinya, bukankah pria itu bisa meminta salah seorang dari kekasihnya untuk melahirkan seorang anak untuknya? Za jadi bertanya-tanya.
Jangan lupa ⭐⭐⭐⭐⭐ nya ya.....biar besok aku semangat update tiga bab....! 😘😘🥰🥰
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...