Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Hujan turun sejak sore. Bukan hujan deras yang mengamuk, tapi hujan tipis yang jatuh tanpa suara besar, seperti bisikan panjang yang tidak pernah berhenti. Jalanan mulai gelap lebih cepat dari biasanya, lampu-lampu toko menyala satu per satu, memantulkan cahaya pucat di aspal basah.
Di depan rumah tua bercat kusam itu, seorang anak perempuan berdiri dengan tubuh gemetaran. Namanya Lian Yun Qi. Usianya baru saja menginjak sepuluh tahun.
Tas kecilnya yang berwarna abu-abu tergantung miring di pundaknya, terlalu besar untuk tubuhnya yang sangat kurus. Rambut hitamnya basah karena air hujan, menempel di pipi dan leher. Kakinya hanya dilapisi sandal tipis yang sudah lama kehilangan sol empuknya.
Pintu rumah tertutup sangat rapat di belakangnya. Tidak ada suara langkah yang terdengar menyusul dirinya. Tidak ada panggilan untuk menahannya jangan pergi. Hanya ada suara hujan. “Pergi sana!.” Suara ibunya masih terus terngiang di kepalanya kecilnya. wajah ibunya yang datar, lelah. Seolah sedang mengusir kucing liar yang terlalu lama berdiam di depan pintu rumah.
“Kalau bukan karena kamu, adikmu nggak bakal celaka separah ini!” Yun Qi menggenggam tali tasnya lebih erat. Tangannya kecil, tulang-tulangnya menonjol karena terlalu sering kelaparan. Ia tidak berani membantah saat itu. Tidak akan pernah berani. Ia hanya menundukan kepalanya menatap kakinya dan berkata pelan, “Maaf, Bu.”
Padahal ia sangat tahu. Ia tahu kecelakaan itu bukan sepenuhnya salahnya. Adiknya berlari sendiri ke jalan. Ia hanya terlambat satu langkah untuk menariknya. Tapi di rumah itu, Yun Qi selalu menjadi penyebab apa pun yang terjadi entah itu memang dari kesalahannya atau pun kesalahan orang lain Yun Qi akan menjadi pelampiasan kemarahan orang tuanya.
Ayahnya bahkan tidak mengatakan apa-apa. Pria itu hanya berdiri di sudut ruang tamu, dengan rokok di tangan, wajahnya kosong. Seperti biasanya. Diam adalah jawaban persetujuan. Yun Qi melangkah mundur pelan-pelan satu langkah, lalu dua. Menunggu. Berharap mungkin ibunya akan memanggilnya untuk kembali. Mungkin pintu akan terbuka lagi.
Tidak. Pintu itu tetap saja tertutup. Akhirnya Yun Qi membalikkan badan. Ia berjalan lesu tanpa tujuan. Hanya mengikuti arah trotoar membawanya pergi, menyusuri jalanan kota yang lebih sibuk. Orang-orang berlalu-lalang di bawah payung, sebagian berlari kecil, sebagian mengeluh karena terkena hujan.
Tidak ada yang melihatnya. Atau mungkin mereka melihat, tapi memilih tidak peduli. Perutnya perih. Sejak pagi ia belum makan apa-apa selain semangkuk nasi dingin. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena kaki kecilnya mulai pegal, tapi karena dadanya seperti diisi sesuatu yang terlalu besar untuk ditanggung.
Ia berhenti di bawah atap toko yang sudah tutup. Menempelkan punggung ke dinding dingin. Tangannya gemetar. Bukan hanya karena dingin, tapi karena takut. “Tenang,” gumamnya pada diri sendiri. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku bisa.” Ia sering mengatakan itu. Saat ibunya memarahinya. Saat ayahnya mengabaikannya. Saat adiknya menangis dan ia yang disalahkan.
Tapi malam itu, kota terasa terlalu besar. Hujan semakin dingin. Air merembes ke dalam sepatunya. Yun Qi merasa kepalanya ringan, pandangannya berkunang-kunang. Ia mencoba berjalan lagi, tapi langkahnya goyah. Trotoar licin. Ia tersandung. Tubuh kecilnya terhuyung ke depan, lalu jatuh bukan ke trotoar, melainkan ke badan jalan.